Jumat, 22 Juli 2016

KAKAENG!!!!!! (Chapter 2 – ‘Gubuk’ Posko)

          Masih seputar Kakaeng. Oyah, saya belum bilang yah kenapa namanya malah Kakaeng bukan KKN (kakaen). Jadi di desa tempat kami melaksanakan KKN pada saat itu adalah sebuah desa yang sebagian besar masyarakatnya bersuku Makassar yang memiliki aksen bicara yang unik, salah satunya yaitu menambahkan beberapa huruf di belakang kata yang diucapkannya misalnya ‘makan’ menjadi ‘makang’, ‘teman’ menjadi ‘temang’, begitu pula ‘kakaen’ yang menjadi ‘kakaeng’. Gituhh, kisahnya.
          KKN. Sebenarnya saya speechles ya, gak tau mau ngomong apa tentang KKN ini. Tapi setelah dipikir-pikir, saya kan menulis (atau mengetik?), kenapa harus bingung mau ngomong apa yah? Kan gak ngomong. Hahaha, ada yang minta di kirimkan bom Molotov ini, otaknya lemot banget. Back to the topic,  emang beneran speechles dan bingung mau mulai cerita dari mana karna terlalu banyak hal mengesankan yang terjadi selama Kakaeng.
          Mulai dari pengumpulan dan mencari teman posko yah. Dari situ kita berasa jadi maba (mahasiswa batu, ehh baru maksudnya) lagi, kenalan dengan orang baru lagi, dan di situlah awal kamu mengawali hari-hari mu di posko selanjutnya, kecuali yang dari awal udah jaim yah. Hahaha. Di pengumpulan itu juga kami udah di bagi ke posko-posko yang ada. Jadi saat itu saya kan udah tau nama lokasinya, jadi kami langsung ngumpul dengan teman jurusan yang kebetulan 1 kecamatan (1 desa hanya 1 orang di jurusan saya). Kami langsung sharing-sharing lebay mengenai lokasi kami nantinya (yang udah KKN pasti pernah merasakan hal ini). Minta supaya sering-sering di kunjungi ke posko lah, minta supaya sering-sering di hubungi lah, bahkan salah satu berita terhoax tentang posko saya saat itu adalah, seorang teman mengatakan bahwa, posko saya adalah posko di kecamatan yang terjauh. Sinyal susah. Tidak ada angkot yang sampai ke sana, itupun kalau ada, itu hanya angkot yang supirnya tinggal di desa itu. Hoax yang bener-bener horor banget bagi kami yang gak tau apa-apa tentang lokasi KKN saat itu. Dan lebih parahnya, saya percaya-percaya aja. Ckckck, lugu memang. Dari keterangan itu, akhirnya saya jadi mempersiapkan segala kebutuhan selengkap mungkin (takutnya nanti malah kekurangan barang di tempat yang KATANYA jauh dan tidak bersinyal itu). Jadi saat berangkat KKN itu, saya membawa 1 buah koper dan 1 buah tas gede, udah kek pembantu minggat dari rumah majikannya aja. Hahaha. Kenyataan di lapangan? Boro-boro paling jauh, tinggal naik kendaraan doang sekitar 5 menit untuk bisa dapat angkot ke Makassar. Kampret momen banget gak sih?
          Moment dumba-dumba (deg-deg serrr) selanjutnya adalah saat kami dikumpulkan kembali di Kantor Bupati Takalar untuk pelepasan, di situlah perjalanan 7 minggu di mulai dan mulai say good bye dengan teman gengs. Oyah, ada 1 hal menjijikkan yang pernah kami lakukan saat berangkat Kakaeng. Saya dan 4 orang sahabat saya  saat itu menggunakan baju kembaran pas berangkat. Euhh, berasa kek girlband yah. Mungkin saat itu kami berpikir bahwa, saat salah satu dari kami hilang atau tercecer di jalan, baju yang lain akan memberikan sinyal karena kebetulan satu merk dan 1 tempat beli. Seperti ikatan batin gitu. Hahahaha.
          Lanjut ke perjalanan ke Desa masing-masing setelah pelepasan dari Kantor Kecamatan. Hal yang tidak bisa dipungkiri adalah pertanyaan di dalam diri mengenai, “gimana yah keadaan posko ku nanti?”, apalagi saat itu saya harus menerima kenyataan bahwa posko sist saya, Febi Toa (nama samaran) berada di belakang kantor kecamatan. Wewww, envy bo. Gimana enggak, mereka berada di pinggir jalan yang dekat banget sama akses kendaraan antar kabupaten. Pernah merasakan itu ga?  Haha.
          Posko kami? Desa Banggae, Kec. Mangarabombang, Kab. Takalar. Kami tiba pertama kali di rumah Pak Kepala Desa, Dg. Sibali, tapi bukan di rumahnya kami tinggal. Kami tinggal di sebuah rumah di belakang rumahnya yang dibangun khusus untuk mahasiswa yang datang KKN di Banggae. Desa itu ternyata sudah sering dijadikan sebagai lokasi KKN sehingga warganya juga sudah terbiasa dengan orang luar, dan kepala desa juga sudah membuatkan rumah tersendiri. Rumahnya seperti apa? Seperti rumah pada umumnya dengan 1 ruang tamu, 1 dapur merangkap ruang makan, 1 tempat cuci piring, 1 WC/KM, dan 1 kamar tidur. Semua serba satu sementara kami ada 10. Bisa bayangkan bagaimana kami hidup dalam rumah itu? Bisa dongg. 7 minggu malah.
          Ruangan yang paling sering kami gunakan adalah kamar tidur. Iyah, kami bersepuluh paling sering ngumpul di dalam kamar (tapi bukan kumpul kebo loh yah, kami manusia koq bukan kebo). Entah itu untuk tidur-tiduran (yaeyalah, namanya juga kamar tidur) atau mengisi buku harian KKN (diari ceritanya), atau nyanyi bareng, atau bikin video bareng, atau persiapan proker, bahkan terima tamu pun kami lakukan di kamar tidur. Kamar itu saksi bisu untuk setiap perbuatan maksi ehh maksudnya kegiatan-kegiatan luar biasa yang kami lakukan.

Kamar tidur juga merangkap jadi gudang penyimpanan, soalnya semua barang-barang di simpan di dalam kamar ini.  Mulai dari alat tidur, pakean, koper, tas, laptop, etc. Untung kompor, piring, dan mobil gak di simpan di kamar ini. Bayangkan saja semua barang milik pribadi dan milik bersama dikumpul dalam 1 kamar, dikali 10 orang gimana modelnya tuh. Belum lagi tempat tidur super gede yang nongkrong di dalam kamar. Akhirnya, karena tempat tidurnya gak bisa di bongkar dan di keluarkan maka yang mendapat kesempatan paling special untuk menempati tempat tidur adalah ketiga cowok itu. Jadi kalo lagi lengkap, formasinya itu, para cowok tidur di atas tempat tidur empuk berkasur, sementara cewek mengatur posisi tidur di sekeliling tempat tidur yang hanya beralaskan kasur tipis. Formasi yang luar biasa. Jadi sekiranya ada binatang buas yang masuk ke kamar, otomatis yang jadi korban pertama kali adalah si cowok (karena binatangnya temenan sama yg cewek jadi di lewati aja, hahaha).
Tempat tidur berkasur empuk

Emang segede apasih kamarnya sampe muat? Gede banget dong, sampai-sampai kami bisa bertahan hidup selama 7 minggu di kamar berukuran 8x6 meter itu. What?? Untuk sepuluh orang? Daebak. Bisa yah? Bisa dong. Bahkan kamar kami ini sudah di beri julukan ‘kamar 1x1 meter’ dari penghuni Posko Mangadu si Febi Toa, saking berkesannya kamar ini dilihat dari luasnya.
          Seminggu pertama kami menempati rumah ini bener-bener buth adaptasi. Dimulai dari orang baru yang masih (agak) jaim, mengatur posisi tempat tidur baru biar gak tumpang tindih, dan yang paling berasa saat itu adalah, memikirkan cara gimana supaya ruangan itu tidak panas. Iyup. Panas banget boo di dalam kamar, secara kan gak ada kipas angin padahal suhu Takalar saat itu warbiassaakk banget panasnya. Sampai pada akhirnya ada kipas angin di kamar kami, entahlah dari mana, saya lupa kisahnya.  
          Sehubungan dengan tempat tinggal di lokasi, banyak banget rumor yang beredar mengenai lokasi KKN teman kami yang lain. Ada yang jauh dari peradaban sampe susah sinyal lah, ada yang dekat banget dengan Kota Makassar jadi bisa bolak-balik tiap hari lah,, ada yang tinggal di  rumah gedong yang guuddeeee banget sampai di fasilitasi dengan alat fitness (yang bagian ini sumpah bikin envy, sampai saya bener-bener mendatangi posko itu). Ada posko yang berada tepat di pinggir sungai dan dan saat naik di rumahnya (rumah panggung) langsung ada bunyi yang menurut saya horror banget ‘ngik..ngik’ dan rumahnya agak-agak goyang. Omegat, rumahnya rapuh banget. Mungkin dibandingkan posko lain, posko kami yang paling kecil, tapi masih menyenangkan lah, at least gak goyang-goyang lah saat ditinggali.
          Satu hal yang paling saya ingat saat pertama kali datang yaitu, anak-anak kecil mengikuti mobil yang kami gunakan sambil bertepuk tangan dan berteriak, “kakaeng..(prokprok) kakaeng”. Berasa jadi topeng monyet yang ditontonin anak kecil loh. Beginikah rasanya si monyet itu hahaha. Kami jadi berasa artis desa deh, setiap lewat pasti mendapatkan pandangan tajam (setajam pisau roti) atau pandangan penasaran, atau pandangan mupeng dan senyum-senyum sh*t dari anak-anak kecil itu. Setiap lewat di depan rumah warga juga mereka pasti teriak, “sengka ki” yang artinya “mari singgah”. Ramah kan?? Iya dong, Banggae!!
          Ini adalah awal perjalanan 7 minggu kami di lokasi KKN yang menurut saya warbiassaakk dan menyenangkan banget. Mungkin memang ada yang merasa KKN nya tidak menyenangkan, tapi enjoy it. Nikmati 7 minggu itu dan jangan sia-siakan, at least kamu ada bahan cerita saat bertemu kembali nantinya dengan teman posko.
          Tunggu chapter selanjutnya, masih banyak kisah kami. 

Dahai, 220716

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts