Minggu, 28 Agustus 2016

BALI dan FILOSOFI KEHIDUPANNYA

Om swasti astu...
Masih membahas tentang Bali yah. Maapkan susah move on-nya, soalnya saya itiu tipe orang setia yang susah move on (apalagi sama ekkim cone tanpa taburan apa-apa di atasnya). Masih banyak yang ingin saya sampaikan tentang Bali. Pleaseee, dengar penjelasan aku dulu. Ehh, ini koq malah buat adegan sinetron gak jelas sih. Okey focus!
Selama beberapa hari (berkualitas) di Bali kemarin, banyak hal yang saya dapatkan. Selain berkunjung ke daerah wisatanya yang udah terkenal ke seantero dunia dan jagat raya (yakalee ada alien yang pernah datang dan berjemur di Bali), saya juga berkesempatan mengorek informasi mengenai Bali dari orang Bali asli yang saya temui di sini. Mungkin saya berpengalaman menjadi intel yah, Indomie telur tapinya, hahaha. Mulai dari Mba Sari Agnezmo wanna be yang merupakan tour guide(nya rombongan maknyak di mana saya berhasil numpang) sampai bapak-bapak security hotel (nya rombongan maknyak di mana saya berhasil numpang, lagi). Sebenarnya cuma 2 orang itu sih, tapi saya pake kata sampai biar kesannya kek banyak gitu. Hahaha. Permainan kata.-
Point yang saya dapat bahwa, masyarakat Bali hidup dengan filosofi yang mereka anut. Mungkin itu kali yah saalah satu alasan Film The Philospher dibuat di Bali, hehe (mulai deh sotoynya). Setiap hal yang mereka lakukan memiliki tujuan dan apabila ada pelanggaran yang mereka lakukan pasti akan memiliki dampak buruk. Cekidott........


1.    Bunga Kamboja
Datang ke Bali pasti gak afdol rasanya kalo gak pake bunga di kuping kan? Ala-ala Hawaii gitu. Iyup, sepertinya dalam setiap kesempatan kita pasti akan melihat banyak bunga-bunga (gak usah nyanyi kek Syahrini yah), utamanya ditelinga wanita Bali ataupun wanita bule ataupun wanita bukan Bali bukan bule (maksudnya turis pribumi, seperti saya). Kenapa eh kenapa? Apakah dengan menggunakan bunga mereka lantas terlihat cantik dan anggun (C. Sasmi)? Sesungguhnya saudara-saudara, kecantikan yang abadi bukan yang terlihat oleh mata indah bola pingpong, namun terpancar dari hati yaitu kebaikan hati dari setiap wanita itu (salam super! Cocok gak sih? Hehe.). Tapi emang saya akui sih wanita Bali itu anggun-anggun loh (gubrak!!), lemah lembut, kalem, apalagi kalo udah pake bunga di kuping, hadeuuhh rasanya tuh adem banget lihatnya. Dibandingkan sama eike yang dari segi rambut aja udah kelihatan kek lion king versi keriting versi MANIS versi KECE (dilarang protes!) yang kalo ngomong kadang cablak banget (silahkan protes!) plus bikin tersinggung plus bikin sakit hati (pada bagian ini, dari hati yang paling dalam sedalam pantutukan saya tidak bermaksud bikin sakit hati loh, piss). Ibaratnya tuh ada yang lagi mabok darat dalam suatu perjalanan dengan kondisi jalan berbelok-belok, trus yang di playlist adalah lagu rock-nya Avril Lavigne, tapi pas ganti playlist ke lagunya Vierra langsung berhenti mabuknya. Hehehe.
So, back to bunga di kuping. Ternyata bagi orang Bali bunga itu adalah symbol dari gadis Bali. Bunga yang paling sering terlihat digunakan adalah Bunga Kamboja. Menggunakan bunga kamboja adalah symbol penghargaan kepada gadis Bali. Jadi, siapapun yang menggunakan bunga di kupingnya, entah itu laki-laki ataupun perempuan, artinya mereka respek terhadap gadis Bali. Nahh, kenapa harus bunga Kamboja? Secara di tempat lain, bunga Kamboja itu identik dengan tempat yang mistis karena kebanyakan di tanam di kuburan kan? Di Bali ini berbeda. Di setiap tempat kita akan menemui bunga kamboja di halaman rumah mereka.
Bunga kamboja adalah bunga yang mandiri. Bukan makan sendiri, masak sendiri, dan tidur pun sendiri yah, maap ini bukan lagu dangdut. Jadi bunga kamboja itu bisa tumbuh tanpa perlu perhatian yang berlebihan (tapi kalo aku butuh perhatian bang, eeaaa). Bunga ini gampang tumbuh, tinggal tanam bagian tubuhnya, siram sedikit, dan dia akan tumbuh, tapi gak berarti juga gak pernah di siram sampai bertahun-tahun yah, itu mah melanggar hak asasi bunga. Maksudnya adalah, bunga ini tidak perlu tanah khusus untuk tumbuh (seperti bunga anggrek misalnya), atau pada suhu tertentu (bunga edelweiss misalnya), atau pada tempat tertentu (bunga bank misalnya, *ehh). Nah dengan begitu bunga ini dijadikan sebagai symbol gadis Bali sehingga mereka dituntut menjadi perempuan yang mandiri, seperti bunga Kamboja. Mereka diharapkan menjadi perempuan yang tidak hanya bergantung kepada orang lain dan tidak bisa melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhannya. Bukan berarti mereka tidak butuh orang lain namun mereka diharapkan memiliki inisiatif untuk dapat bertahan hidup di tengah kerasnya dunia ini (apasih, keknya udah mulai meracau deh). Kece yah?
Bunga Kamboja

Sebenarnya harapan ini bukan hanya untuk perempuan Bali saja yah. Setiap perempuan di manapun berada juga diharapkan untuk bisa mandiri dalam kehidupannya, tidak bergantung sepenuhnya kepada orang lain karena biar bagaimanapun kita sebagai perempuan juga memiliki kebutuhan pribadi yang harus kita penuhi. Coba bayangin kalo orang yang kalian tempati bergantung (bukan gelantungan yah. hihi) sudah tidak mampu (atau TIDAK MAU) memenuhi kebutuhan kita? Mau mengais sampah? Mau meminta-minta? Mau nyolong? Saya mah ogah. Jadi para perempuan, tingkatkan kualitas hidup anda minimal dengan keterampilan yang anda miliki (kalo gak ada, ya belajar dong, karena hidup adalah tentang belajar *uhuk).
 Umm, ibu menteri yang terhormat, sekiranya anda butuh duta untuk memperjuangkan hak perempuan, maka saya BELUM SIAP bu. Jangan direkomendasikan dulu yah. Saya masih sedang berusaha memperjuangkan hak saya sendiri. Hehehe.
Penggunaan Bunga di Telinga

2.    Perempuan  Bali dan Tarian
Masih seputar perempuan yah ternyata. Umm tenang saja, tidak ada organisasi perempuan koq yang menyogok saya untuk menulis tentang perempuan, ini kebetulan aja ada hubungannya, jadi tolong goloknya gak usah di angkat-angkat gitu, simpan aja pliss. Ini tentang menari.  Mba Sari, sang guide super banyak omong itu (maksudnya banyak kasih informasi) memberitahukan kami (Oni Dassi Choir dan 1 orang parasit) bahwa bagi orang Bali, menari adalah sesuatu yang wajib. Menari adalah nafas hidup bagi orang Bali. Mungkin seperti kepercayaan orang Kristen bahwa Doa adalah nafas hidup orang percaya (ada amin sodara-sodara??). Tenang, saya tidak akan berkhotbah di sini. Lanjut. Masyarakat Bali sangat suka menari, mungkin ibaratnya sama seperti saya sangat suka sekali kamu *ehh sorry salah pokus. Nah, karena orang Bali sangat suka menari, maka dari kecil mereka sudah diajarkan untuk menari. Bisa dikatakan, semua orang Bali yang lahir dan besar di Pulau Bali bisa menari karena dari kecil mereka sudah diperkenalkan, bahkan di sekolah juga sudah dimasukkan ke dalam kurikulum, kalo gak salah dalam mata pelajaran muatan lokal. Kece yah? Saya sempat berpikir bahwa, berarti semua wanita Bali itu  rambutnya panjang-panjang, karna kan pakean adatnya kalo pas menari itu rambutnya di gulung-gulung trus di hiasai bunga. Wowww. The real women.
Salah satu tarian Bali yang sempat saya pelajari (yang hasilnya gagal total) adalah umm, sebenarnya gerakan dasarnya aja sih, hehehe. Egilee, gerakan dasar aja udah bikin saya encok, gimana mau pelajari tariannya, mending saya di suruh nyanyi 100 lagu deh (dikurang 99 tapinya) daripada di suruh menari. Tapi karena pengen tahu aja rasanya gimana, so saya minta di ajarin. Jadi, gerakan dasar dari tarian Bali itu adalah, pantat (bahasanya sopan gak sih? Atau harus bilang bokong yah?) dimontokkan ke belakang semakin montok anda, maka semakin bagus-, trus kaki di tekuk, tangan kiri diletakkan sejajar dengan mata (jadi telapak tangan itu di tarik dari sudut mata dengan posisi yang menghadap kedepan dan jari-jari terbuka), tangan kanan sejajar dengan pantat yang dimontokkan tadi dengan posisi telapak sama dengan tangan kiri, mata di melekkan semelek-meleknya (maka beruntunglah saya yang punya mata belo indah bola ping pong), kepala di angkat, dada dibusungkan (orang sombong pasti gak susah kalo gerakan yang ini, hihi), and thennn, goyangkan. Lirikan mata mengikuti gerakan tangan. Aarrrgghh pokoknya susah deh diuangkapkan dengan kata-kata, lihat aja videonya, tapi focus ke Mba Sari yah, jangan sama eike, hihihi. 


Kurang lebih seperti itu gerakan tari Bali yang sempat saya lihat dan pelajari secara langsung, dan ternyata emang gak ada bakat sama sekali yah? Di saat mba Sari menari dengan sangat anggun dan luwes, saya jadi kek robot di transformer yang lagi tahan boker. Lebih luwes robot baru buatan Jepang itu keknya dibandingkan eike. Ulalala. Mungkin ahlinya Cuma menari mabadong aja kali yah. hahaha
                                        
3.    Sesajen
Menginjakkan kaki di Pulau Bali, anda akan disuguhkan dengan pemandangan sesajen di setiap tempat dan wangi dupa. Hal ini sangat wajar ditemui di sini karena setiap hari warga Bali, yang sebagian besar beragama Hindu, akan berdoa sambil meletakkan sesajen yang telah mereka rangkai, entah itu diletakkan di tempat sembayang, di depan rumah, di persimpangan jalan, ataupun di pinggir jalan. Pembuatan sesajen ini bukan bermaksud memberikan makan kepada makhluk halus atau semacamnya yah. Ada makna dibalik setiap pemberian tersebut. Kenapa harus menggunakan sesajen yang dirangkai setiap akan berdoa?
Kepercayaan Hindu Bali itu sangat suka seni. Segala sesuatu yang mereka lakukan pasti berseni. Entah itu ukirannya, tariannya, bentuk rumahnya, termasuk cara mereka mencintai Tuhan, adalah dengan seni. Sesajen yang dirangkai adalah salah satu bentuk seni. Sesajen adalah rasa syukur kepada Tuhan. Diibaratkan hubungan Tuhan dengan manusia adalah seperti hubungan cinta kasih. Hal ini juga berkaitan dengan isi sesajen tersebut. Isi sesajen pada umumnya berupa bunga, daun janur, dupa, dan air. Setiap komponen sesajen ini memiliki makna masing-masing.
Contoh Sesajen

Contoh Sesajen

Bunga diibaratkan sebagai lambang cinta kasih. Kenapa lambang cinta kasih? Contoh konkret aja yah. Kalo acara valentine, sebagian besar orang masih saling memberi bunga kan? Si cowok menunjukkan rasa sayangnya ke cewek melalui bunga. Atau, saat ada anak kecil yang memberikan setangkai bunga sederhana kepada ibunya, si anak merasa bahwa itu adalah bukti cintanya kepada ibu, sesederhana apapun bunga itu. Sama seperti manusia kepada Sang Pencipta. Mereka juga ingin menunjukkan cinta kasihnya kepada Sang Pencipta melalui penyerahan diri kepada Sang Pencipta.
Daun janur  (atau daun apa saja yang ada pada saat itu). Daun identik dengan pohon yang diibaratkan sebagai pemberi kesejukan / meneduhkan. Diharapkan setelah berserah diri kepada Tuhan, manusia bisa merasakan kesejukan di dalam hati. Artinya, setelah berdoa mereka dapat merasakan ketenangan dan kedamaian.
Dupa adalah sejenis lidi yang bisa dibakar sehingga mengeluarkan asap dan bau. Bagi orang Bali, lidi merupakan upah saksi. Saksi bahwa persembahan tersebut sudah diberikan kepada Sang Pencipta. Saksi diibaratkan sebagai asap. Asap hasil pembakaran lidi akan terlihat secara kasat mata yang tidak lama kemudian menghilang, namun pada saat asap tersebut menghilang, bau khas dupa tersebut masih bisa dirasakan wanginya. Sama seperti doa, yaitu pada saat diucapkan, doa masih ada di bumi namun setelah diucapkan tidak lantas menghilang tapi tetap kita rasakan keberadaannya.
Air (tirta /air suci) berfungsi membersihkan jasmani dan rohani (saya agak lupa penjelasan pada bagian ini).
Biscuit, permen, nasi, atau makanan apapun yang pada saat itu dimiliki. Komponen ini SEPERTINYA diletakkan pada sesajen yang diletakkan di bawah (correct me if I am wrong). Jadi, Hindu Bali percaya bahwa ada makhluk yang diciptakan di bawah dunia manusia yang mana mereka juga membutuhkan makanan sebagai sumber kehidupan. Makhluk tersebut berupa hewan, tumbuhan, termasuk adalah yang mungkin kebanyakan dari kita menyebutnya makhluk halus. Nah, pemberian komponen sesajen ini berdasarkan penjelasan dan kepercayaan Mba Sari- adalah untuk makhluk seperti tumbuhan dan hewan. Pada saat sesajen tersebut diletakkan, mungkin ada hewan yang membutuhkan. Mba Sari memberi contoh seperti mungkin ada Anjing, atau hewan lain di sekitarnya yang sedang dalam kondisi membutuhkan makanan sehingga makanan dalam sesajen itubisa menjadi penolong baginya. Mba Sari bahkan memberi contoh bahwa apabila ada semut yang sudah memakan roti yang diletakkan di dalam sesajennya maka semut sudah tidak akan mengambil bahan makanan di rumahnya karena mereka sudah diberikan  porsinya sendiri yang diambil dari sesajen yang dia buat. Untuk tumbuhan, melalui sesajen yang di buat itu juga dapat menjadi makanan bagi tumbuhan yang ada di sekitarnya, misalnya sisa sesajen yang notabene berasal dari bahan alami itu akan terkumpul dan menjadi kompos bagi tumbuhan tersebut. Intinya adalah bagaimana kita saling tolong menolong dan saling memberi manfaat sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Jadi itu makna dari tiap isi sesajen yang dibuat oleh masyarakat Hindu Bali.
Selain pemberian sesajen, saat sembayang, masyarakat Bali juga ada yang menggunakan beras. Beras yang digunakan saat sembayang disebut bija. Beras diibaratkan sebagai benih kebaikan. Beras tersebut diletakkan di dahi, pangkal lidah, dan dimakan. Maknanya yaitu, beras diletakkan di dahi sebagai lambang bahwa agar benih kebaikan tertanam di dalam pikiran. Benih diletakkan di pangkal lidah sebagai lambang bahwa agar benih kebaikan tertanam di lidah. Maksudnya adalah agar segala sesuatu yang diucapkan adalah perkataan yang baik. Benih kemudian di makan adalah sebagai lambang bahwa supaya perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang baik. Makna keseluruhannya adalah, berpikir baik, berkata baik, dan berbuat baik.
Ituhhh makna dari pemberian sesajen dan sedikit kegiatan persembayangan. Nahh, ada pertanyaan lagi, Di Bali saya sempat melihat posisi peletakan sesajen. Ada yang diletakkan di lantai namun ada juga yang diletakkan di tempat sembayang yang letaknya agak di atas. Ternyata ada makna juga dibalik letak sesajen tersebut. Sesajen yang diletakkan di bawah ditujukan kepada makhluk di alam buta (dunia di bawah alam manusia seperti hewan dan tumbuhan yg saya jelaskan sebelumnya) dan sesajen yang diletakkan di atas ditujukan untuk Tuhan atau Dewa. Masyarakat Hindu Bali percaya bahwa ada 3 alam di dunia ini yaitu alam Dewa atau Tuhan, alam manusia, dan alam buta. Manusia berada di antara kedua alam tersebut yang fungsinya sebagai penyeimbang. Artinya bahwa, manusia diharapkan dapat menjadi bijak, dapat melihat ke atas dan juga ke bawah.
Nahhh muncul lagi satu pertanyaan. Apakah sesajen itu boleh diinjak atau tidak? Dan apabila terinjak apa yang akan terjadi? Mungkin ada yang takut melewati sesajen di Bali karena berpikirnya di situ adalah tempat makan dewa yang jika dilewati akan mengganggu mereka yang makan apalagi kalau di injak. Tapi setelah membaca penjelasan di atas, semoga kita gak berpikir seperti itu lagi. Selama tidak disengaja, misalnya kita gak tau kalo di situ ada sesajen, tidak menjadi masalah. Selama itu tidak disengaja yah, lain lagi kalo disengaja. Lebih kepada bagaimana menghargai perasaan orang yang merangkai sesajen itu dengan sepenuh  hati tapi baru di pasang aja trus kita DENGAN SENGAJA langsung nendang sesajennya. Bayangin perasaan orang itu, pasti sedihhh rasanya. Itu mah sama aja lu minta di timpuk sandal (sendal berduri besi yang ujung-ujungnya udah dikasi racun mematikan, hehehe). 
Tempan sembahyang, tempat meletakkan sesajen


1.    Hukum Karma
Masyarakat Hindu Bali sangat percaya dengan hukum karma, ini berdasarkan hasil obrolan saya dengan Bapak Security hotel sih. Sedikit saya simpulkan saja dari hasil pembicaraan kami dan dengan melihat kehidupan sehari-hari masyarakat Bali yang sempat saya perhatikan. Beliau mengatakan bahwa hukum karma itu berlaku (kalau Kepercayaan Kristen mungkin seperti hukum tabur tuai), kalau tidak terjadi pada diri sendiri mungkin keturunannya yang akan mengalami. Mungkin itu yang membuat orang Bali terlihat berbeda dengan orang di daerah lain. Satu hal yang saya perhatikan sejak di Bali adalah orang-orangnya yang ramah. Setiap bertemu pasti mereka melemparkan senyum (gak kayak kamu yang melemparkan bom molotov ke hatiku, ehh). Keknya feel 5S nya itu dapat (senyum, salam, sapa, sopan, santun). Saya aja jalan sendiri di sana (gak ngenes kan kesannya?) merasa aman banget, dengan pakaian yang tergolong mini pula, yang kalo di tempat lain mungkin udah jadi sasaran empuk para penjahat kelamin. Umm, diluar insiden sok-jalan-sendiri-ke-tempat-makan-dekat-hotel-malam-malam- sampe digodain orang tidak dikenal (sumpah itu bagian paling horror di Bali kemarin. Horror kedua adalah ketinggalan pesawat. Hihi). Menurut pak security, keramahan seperti itu malah sudah berkurang. Katanya, dulu, setiap kali bertemu, orang Bali akan saling merapatkan tangan di depan dada dan saling hormat dengan menundukkan kepala. Wowww. Emejing men. Sekarang mah boro-boro kek gitu, yang kenal aja pura-pura gak kenal, apalagi yang beneran gak kenal.. Menurunnya kadar keramahtamahan itu salah satunya disebabkan karena sudah banyak pendatang dari luar sehingga mengkontaminasi penduduk local sih.
Selain ramah, salah satu bukti karma really exist di Bali adalah masyarakatnya yang tidak membuang sampah sembarangan (sebagian besar sih). Pokoke bersih dah jalan-jalannya. Dinas kebersihan kota juga keknya bekerja dengan baik. Daannn, saya gak pernah melihat sampah di bakar di sono (umm, ada sih satu kali itupun di pinggiran kota Denpasar, di tempat pembuangan sampah akhir). Menurut pak security, orang-orang takut asapnya mengganggu tetangga rumah. Menurutnya, dari dulu juga orang Bali tidak terbiasa dengan membakar sampah. Dahulu kala, kalo ada sampah, palingan cuma dikubur biar jadi kompos (soalnya dulu masih pake bahan alami). Wewww, kece parah.
Satu hal lagi yang saya perhatikan, setelah mendapatkan informasi dari orang-orang, yaitu bangunan di Bali tingginya tidak boleh melebihi pohon kelapa. Sepertinya sih begitu. Makanya kenapa di Bali jarang banget ada gedung pencakar langit. Trus disetiap bangunan pasti ada pohon, setidaknya pohon bunga kamboja yang mandiri itu loh yah. Mungkin itu salah satu yang membuat Bali sangat rindang yang kalo naik motor siang-siang gak bikin kulit serasa terbakar (baca disini). Saya gak tau ini ada hubungannya dengan karma really exist atau tidak sih. Tapi saya yakin pasti ada alasan dilakukannya seperti itu. Ada filosofinya.


Yahh, thats all about Bali dan Filosofi yang hidup berdampingan.
I hope someday I can be there again dan mencari informasi lagi mengenai filosofi kehidupannya yg kece.
Maybe thats all. Halamannya juga udah panjang banget, dan TERNYATA SUDAH SUBUH!!! Warbiazaakk. Hihihi.


Dahai, 28 Agustus 2016

1 komentar:

  1. Sangat jelas dan penyampainya tidak kaku, terimakasih kepada siapapun yang menulis ini... Semoga semakin banyak yang membaca artikel atau kisah kisah seperti ini.. Supaya tidak termakan hoax dan doktrin-doktrin palsu bahkan sampai menggunakan agama sebagai politik..

    Saya hindu dan saya berharap jawa dan dimanapun itu akan kembali ke bumi pertiwi semula seperti bali..

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts