Om swasti astu...
Masih membahas tentang Bali yah. Maapkan
susah move on-nya, soalnya saya itiu
tipe orang setia yang susah move on
(apalagi sama ekkim cone tanpa taburan apa-apa di atasnya). Masih banyak yang
ingin saya sampaikan tentang Bali. Pleaseee,
dengar penjelasan aku dulu. Ehh, ini koq malah buat adegan sinetron gak jelas
sih. Okey focus!
Selama beberapa hari (berkualitas) di
Bali kemarin, banyak hal yang saya dapatkan. Selain berkunjung ke daerah
wisatanya yang udah terkenal ke seantero dunia dan jagat raya (yakalee ada
alien yang pernah datang dan berjemur di Bali), saya juga berkesempatan
mengorek informasi mengenai Bali dari orang Bali asli yang saya temui di sini.
Mungkin saya berpengalaman menjadi intel yah, Indomie telur tapinya, hahaha.
Mulai dari Mba Sari ‘Agnezmo wanna be’ yang merupakan tour guide(nya rombongan maknyak di mana saya berhasil numpang)
sampai bapak-bapak security hotel (nya rombongan maknyak di mana saya berhasil
numpang, lagi). Sebenarnya cuma 2 orang itu sih, tapi saya pake kata ‘sampai’
biar kesannya kek banyak gitu. Hahaha. Permainan kata.-
Point yang saya dapat
bahwa, masyarakat Bali hidup dengan filosofi yang mereka anut. Mungkin itu kali
yah saalah satu alasan Film The Philospher dibuat di Bali, hehe (mulai deh
sotoynya). Setiap hal yang mereka lakukan memiliki tujuan dan apabila ada
pelanggaran yang mereka lakukan pasti akan memiliki dampak buruk. Cekidott........
1.
Bunga Kamboja
Datang ke Bali pasti gak
afdol rasanya kalo gak pake bunga di kuping kan? Ala-ala Hawaii gitu. Iyup, sepertinya dalam setiap kesempatan
kita pasti akan melihat banyak bunga-bunga (gak usah nyanyi kek Syahrini yah),
utamanya ditelinga wanita Bali ataupun wanita bule ataupun wanita bukan Bali bukan
bule (maksudnya turis pribumi, seperti saya). Kenapa eh kenapa? Apakah dengan
menggunakan bunga mereka lantas terlihat cantik dan anggun (C. Sasmi)?
Sesungguhnya saudara-saudara, kecantikan yang abadi bukan yang terlihat oleh
mata indah bola pingpong, namun terpancar dari hati yaitu kebaikan hati dari
setiap wanita itu (salam super! Cocok gak sih? Hehe.). Tapi emang saya akui sih
wanita Bali itu anggun-anggun loh (gubrak!!), lemah lembut, kalem, apalagi kalo
udah pake bunga di kuping, hadeuuhh rasanya tuh adem banget lihatnya. Dibandingkan
sama eike yang dari segi rambut aja udah kelihatan kek lion king versi keriting versi MANIS versi KECE (dilarang protes!) yang
kalo ngomong kadang cablak banget (silahkan protes!) plus bikin tersinggung
plus bikin sakit hati (pada bagian ini, dari hati yang paling dalam sedalam
pantu’tukan saya tidak bermaksud bikin sakit
hati loh, piss). Ibaratnya tuh ada yang lagi mabok darat dalam suatu perjalanan
dengan kondisi jalan berbelok-belok, trus yang di playlist adalah lagu rock-nya Avril Lavigne, tapi pas ganti
playlist ke lagunya Vierra langsung berhenti mabuknya. Hehehe.
So,
back to bunga di kuping.
Ternyata bagi orang Bali bunga itu adalah symbol dari gadis Bali. Bunga yang
paling sering terlihat digunakan adalah Bunga Kamboja. Menggunakan bunga
kamboja adalah symbol penghargaan kepada gadis Bali. Jadi, siapapun yang
menggunakan bunga di kupingnya, entah itu laki-laki ataupun perempuan, artinya
mereka respek terhadap gadis Bali. Nahh, kenapa harus bunga Kamboja? Secara di
tempat lain, bunga Kamboja itu identik dengan tempat yang mistis karena
kebanyakan di tanam di kuburan kan? Di Bali ini berbeda. Di setiap tempat kita
akan menemui bunga kamboja di halaman rumah mereka.
Bunga kamboja adalah bunga
yang mandiri. Bukan makan sendiri, masak sendiri, dan tidur pun sendiri yah,
maap ini bukan lagu dangdut. Jadi bunga kamboja itu bisa tumbuh tanpa perlu
perhatian yang berlebihan (tapi kalo aku butuh perhatian bang, eeaaa). Bunga
ini gampang tumbuh, tinggal tanam bagian tubuhnya, siram sedikit, dan dia akan
tumbuh, tapi gak berarti juga gak pernah di siram sampai bertahun-tahun yah,
itu mah melanggar hak asasi bunga. Maksudnya adalah, bunga ini tidak perlu
tanah khusus untuk tumbuh (seperti bunga anggrek misalnya), atau pada suhu
tertentu (bunga edelweiss misalnya), atau pada tempat tertentu (bunga bank
misalnya, *ehh). Nah dengan begitu bunga ini dijadikan sebagai symbol gadis
Bali sehingga mereka dituntut menjadi perempuan yang mandiri, seperti bunga
Kamboja. Mereka diharapkan menjadi perempuan yang tidak hanya bergantung kepada
orang lain dan tidak bisa melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhannya. Bukan
berarti mereka tidak butuh orang lain namun mereka diharapkan memiliki
inisiatif untuk dapat bertahan hidup di tengah kerasnya dunia ini (apasih,
keknya udah mulai meracau deh). Kece yah?
Bunga Kamboja |
Sebenarnya harapan ini bukan
hanya untuk perempuan Bali saja yah. Setiap perempuan di manapun berada juga
diharapkan untuk bisa mandiri dalam kehidupannya, tidak bergantung sepenuhnya
kepada orang lain karena biar bagaimanapun kita sebagai perempuan juga memiliki
kebutuhan pribadi yang harus kita penuhi. Coba bayangin kalo orang yang kalian tempati
bergantung (bukan gelantungan yah. hihi) sudah tidak mampu (atau TIDAK MAU)
memenuhi kebutuhan kita? Mau mengais sampah? Mau meminta-minta? Mau nyolong? Saya
mah ogah. Jadi para perempuan, tingkatkan kualitas hidup anda minimal dengan
keterampilan yang anda miliki (kalo gak ada, ya belajar dong, karena hidup
adalah tentang belajar *uhuk).
Umm, ibu menteri yang terhormat, sekiranya
anda butuh duta untuk memperjuangkan hak perempuan, maka saya BELUM SIAP bu. Jangan
direkomendasikan dulu yah. Saya masih sedang berusaha memperjuangkan hak saya
sendiri. Hehehe.
Penggunaan Bunga di Telinga |
2. Perempuan Bali dan Tarian
Masih seputar perempuan yah
ternyata. Umm tenang saja, tidak ada organisasi perempuan koq yang menyogok
saya untuk menulis tentang perempuan, ini kebetulan aja ada hubungannya, jadi
tolong goloknya gak usah di angkat-angkat gitu, simpan aja pliss. Ini tentang
menari. Mba Sari, sang guide super banyak omong itu (maksudnya
banyak kasih informasi) memberitahukan kami (Oni Dassi Choir dan 1 orang parasit) bahwa bagi orang Bali, menari
adalah sesuatu yang wajib. Menari adalah nafas hidup bagi orang Bali. Mungkin seperti
kepercayaan orang Kristen bahwa “Doa adalah nafas hidup orang percaya”
(ada amin sodara-sodara??). Tenang, saya tidak akan berkhotbah di sini. Lanjut.
Masyarakat Bali sangat suka menari, mungkin ibaratnya sama seperti saya sangat
suka sekali kamu *ehh sorry salah pokus. Nah, karena orang Bali sangat suka
menari, maka dari kecil mereka sudah diajarkan untuk menari. Bisa dikatakan, semua
orang Bali yang lahir dan besar di Pulau Bali bisa menari karena dari kecil
mereka sudah diperkenalkan, bahkan di sekolah juga sudah dimasukkan ke dalam
kurikulum, kalo gak salah dalam mata pelajaran muatan lokal. Kece yah? Saya
sempat berpikir bahwa, berarti semua wanita Bali itu rambutnya panjang-panjang, karna kan pakean
adatnya kalo pas menari itu rambutnya di gulung-gulung trus di hiasai bunga.
Wowww. The real women.
Salah satu tarian Bali yang
sempat saya pelajari (yang hasilnya gagal total) adalah umm, sebenarnya gerakan
dasarnya aja sih, hehehe. Egilee, gerakan dasar aja udah bikin saya encok,
gimana mau pelajari tariannya, mending saya di suruh nyanyi 100 lagu deh
(dikurang 99 tapinya) daripada di suruh menari. Tapi karena pengen tahu aja rasanya
gimana, so saya minta di ajarin. Jadi, gerakan dasar dari tarian Bali itu
adalah, pantat (bahasanya sopan gak sih? Atau harus bilang bokong yah?) dimontokkan
ke belakang –semakin montok anda, maka semakin bagus-,
trus kaki di tekuk, tangan kiri diletakkan sejajar dengan mata (jadi telapak tangan
itu di tarik dari sudut mata dengan posisi yang menghadap kedepan dan jari-jari
terbuka), tangan kanan sejajar dengan pantat yang dimontokkan tadi dengan
posisi telapak sama dengan tangan kiri, mata di melekkan semelek-meleknya (maka
beruntunglah saya yang punya mata belo ‘indah bola ping pong’),
kepala di angkat, dada dibusungkan (orang sombong pasti gak susah kalo gerakan
yang ini, hihi), and thennn, goyangkan. Lirikan mata mengikuti gerakan tangan.
Aarrrgghh pokoknya susah deh diuangkapkan dengan kata-kata, lihat aja videonya,
tapi focus ke Mba Sari yah, jangan sama eike, hihihi.
Kurang lebih seperti itu
gerakan tari Bali yang sempat saya lihat dan pelajari secara langsung, dan
ternyata emang gak ada bakat sama sekali yah? Di saat mba Sari menari dengan
sangat anggun dan luwes, saya jadi kek robot di transformer yang lagi tahan
boker. Lebih luwes robot baru buatan Jepang itu keknya dibandingkan eike.
Ulalala. Mungkin ahlinya Cuma menari ma’badong aja kali yah. hahaha
3.
Sesajen
Menginjakkan kaki di Pulau
Bali, anda akan disuguhkan dengan pemandangan sesajen di setiap tempat dan
wangi dupa. Hal ini sangat wajar ditemui di sini karena setiap hari warga Bali,
yang sebagian besar beragama Hindu, akan berdoa sambil meletakkan sesajen yang
telah mereka rangkai, entah itu diletakkan di tempat sembayang, di depan rumah,
di persimpangan jalan, ataupun di pinggir jalan. Pembuatan sesajen ini bukan
bermaksud memberikan makan kepada makhluk halus atau semacamnya yah. Ada makna
dibalik setiap pemberian tersebut. Kenapa harus menggunakan sesajen yang
dirangkai setiap akan berdoa?
Kepercayaan Hindu Bali itu
sangat suka seni. Segala sesuatu yang mereka lakukan pasti berseni. Entah itu
ukirannya, tariannya, bentuk rumahnya, termasuk cara mereka mencintai Tuhan,
adalah dengan seni. Sesajen yang dirangkai adalah salah satu bentuk seni. Sesajen
adalah rasa syukur kepada Tuhan. Diibaratkan hubungan Tuhan dengan manusia
adalah seperti hubungan cinta kasih. Hal ini juga berkaitan dengan isi sesajen
tersebut. Isi sesajen pada umumnya berupa bunga, daun janur, dupa, dan air.
Setiap komponen sesajen ini memiliki makna masing-masing.
Contoh Sesajen |
Contoh Sesajen |
Bunga
diibaratkan sebagai
lambang cinta kasih. Kenapa lambang cinta kasih? Contoh konkret aja yah. Kalo
acara valentine, sebagian besar orang masih saling memberi bunga kan? Si cowok
menunjukkan rasa sayangnya ke cewek melalui bunga. Atau, saat ada anak kecil
yang memberikan setangkai bunga sederhana kepada ibunya, si anak merasa bahwa
itu adalah bukti cintanya kepada ibu, sesederhana apapun bunga itu. Sama
seperti manusia kepada Sang Pencipta. Mereka juga ingin menunjukkan cinta
kasihnya kepada Sang Pencipta melalui penyerahan diri kepada Sang Pencipta.
Daun
janur (atau daun apa saja yang ada pada saat itu).
Daun identik dengan pohon yang diibaratkan sebagai pemberi kesejukan /
meneduhkan. Diharapkan setelah berserah diri kepada Tuhan, manusia bisa
merasakan kesejukan di dalam hati. Artinya, setelah berdoa mereka dapat merasakan
ketenangan dan kedamaian.
Dupa
adalah sejenis lidi
yang bisa dibakar sehingga mengeluarkan asap dan bau. Bagi orang Bali, lidi
merupakan upah saksi. Saksi bahwa persembahan tersebut sudah diberikan kepada
Sang Pencipta. Saksi diibaratkan sebagai asap. Asap hasil pembakaran lidi akan
terlihat secara kasat mata yang tidak lama kemudian menghilang, namun pada saat
asap tersebut menghilang, bau khas dupa tersebut masih bisa dirasakan wanginya.
Sama seperti doa, yaitu pada saat diucapkan, doa masih ada di bumi namun
setelah diucapkan tidak lantas menghilang tapi tetap kita rasakan
keberadaannya.
Air
(tirta /air suci)
berfungsi membersihkan jasmani dan rohani (saya agak lupa penjelasan pada
bagian ini).
Biscuit,
permen, nasi, atau makanan apapun
yang pada saat itu dimiliki. Komponen ini SEPERTINYA diletakkan pada sesajen
yang diletakkan di bawah (correct me if I
am wrong). Jadi, Hindu Bali percaya bahwa ada makhluk yang diciptakan di
bawah dunia manusia yang mana ‘mereka’ juga
membutuhkan makanan sebagai sumber kehidupan. Makhluk tersebut berupa hewan,
tumbuhan, termasuk adalah yang mungkin kebanyakan dari kita menyebutnya ‘makhluk
halus’. Nah, pemberian komponen sesajen ini –berdasarkan penjelasan dan kepercayaan Mba Sari- adalah
untuk makhluk seperti tumbuhan dan hewan. Pada saat sesajen tersebut
diletakkan, mungkin ada hewan yang membutuhkan. Mba Sari memberi contoh seperti
mungkin ada Anjing, atau hewan lain di sekitarnya yang sedang dalam kondisi
membutuhkan makanan sehingga makanan dalam sesajen itubisa menjadi penolong
baginya. Mba Sari bahkan memberi contoh bahwa apabila ada semut yang sudah
memakan roti yang diletakkan di dalam sesajennya maka semut sudah tidak akan
mengambil bahan makanan di rumahnya karena mereka sudah diberikan porsinya sendiri yang diambil dari sesajen
yang dia buat. Untuk tumbuhan, melalui sesajen yang di buat itu juga dapat
menjadi ‘makanan’ bagi
tumbuhan yang ada di sekitarnya, misalnya sisa sesajen yang notabene berasal
dari bahan alami itu akan terkumpul dan menjadi kompos bagi tumbuhan tersebut. Intinya
adalah bagaimana kita saling tolong menolong dan saling memberi manfaat sebagai
makhluk ciptaan Tuhan.
Jadi itu makna dari tiap isi
sesajen yang dibuat oleh masyarakat Hindu Bali.
Selain pemberian sesajen,
saat sembayang, masyarakat Bali juga ada yang menggunakan beras. Beras yang
digunakan saat sembayang disebut bija.
Beras diibaratkan sebagai benih kebaikan. Beras tersebut diletakkan di dahi,
pangkal lidah, dan dimakan. Maknanya yaitu, beras diletakkan di dahi sebagai lambang
bahwa agar benih kebaikan tertanam di dalam pikiran. Benih diletakkan di
pangkal lidah sebagai lambang bahwa agar benih kebaikan tertanam di lidah.
Maksudnya adalah agar segala sesuatu yang diucapkan adalah perkataan yang baik.
Benih kemudian di makan adalah sebagai lambang bahwa supaya perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan yang baik. Makna keseluruhannya adalah, berpikir baik, berkata baik, dan berbuat
baik.
Ituhhh makna dari pemberian
sesajen dan sedikit kegiatan persembayangan. Nahh, ada pertanyaan lagi, Di Bali
saya sempat melihat posisi peletakan sesajen. Ada yang diletakkan di lantai
namun ada juga yang diletakkan di tempat sembayang yang letaknya agak di atas.
Ternyata ada makna juga dibalik letak sesajen tersebut. Sesajen yang diletakkan
di bawah ditujukan kepada makhluk di alam buta
(dunia di bawah alam manusia seperti hewan dan tumbuhan yg saya jelaskan
sebelumnya) dan sesajen yang diletakkan di atas ditujukan untuk Tuhan atau
Dewa. Masyarakat Hindu Bali percaya bahwa ada 3 alam di dunia ini yaitu alam
Dewa atau Tuhan, alam manusia, dan alam buta. Manusia berada di antara kedua
alam tersebut yang fungsinya sebagai penyeimbang. Artinya bahwa, manusia
diharapkan dapat menjadi bijak, dapat melihat ke atas dan juga ke bawah.
Nahhh muncul lagi satu
pertanyaan. Apakah sesajen itu boleh diinjak atau tidak? Dan apabila terinjak
apa yang akan terjadi? Mungkin ada yang takut melewati sesajen di Bali karena
berpikirnya di situ adalah tempat makan dewa yang jika dilewati akan mengganggu
‘mereka’ yang
makan apalagi kalau di injak. Tapi setelah membaca penjelasan di atas, semoga
kita gak berpikir seperti itu lagi. Selama tidak disengaja, misalnya kita gak
tau kalo di situ ada sesajen, tidak menjadi masalah. Selama itu tidak disengaja
yah, lain lagi kalo disengaja. Lebih kepada bagaimana menghargai perasaan orang
yang merangkai sesajen itu dengan sepenuh
hati tapi baru di pasang aja trus kita DENGAN SENGAJA langsung nendang
sesajennya. Bayangin perasaan orang itu, pasti sedihhh rasanya. Itu mah sama
aja lu minta di timpuk sandal (sendal berduri besi yang ujung-ujungnya udah
dikasi racun mematikan, hehehe).
Tempan sembahyang, tempat meletakkan sesajen |
1.
Hukum Karma
Masyarakat Hindu Bali sangat
percaya dengan hukum karma, ini berdasarkan hasil obrolan saya dengan Bapak
Security hotel sih. Sedikit saya simpulkan saja dari hasil pembicaraan kami dan
dengan melihat kehidupan sehari-hari masyarakat Bali yang sempat saya
perhatikan. Beliau mengatakan bahwa hukum karma itu berlaku (kalau Kepercayaan
Kristen mungkin seperti ‘hukum tabur tuai’),
kalau tidak terjadi pada diri sendiri mungkin keturunannya yang akan mengalami.
Mungkin itu yang membuat orang Bali terlihat berbeda dengan orang di daerah
lain. Satu hal yang saya perhatikan sejak di Bali adalah orang-orangnya yang
ramah. Setiap bertemu pasti mereka melemparkan senyum (gak kayak kamu yang
melemparkan bom molotov ke hatiku, ehh). Keknya feel 5S nya itu dapat (senyum, salam, sapa, sopan, santun). Saya
aja jalan sendiri di sana (gak ngenes kan kesannya?) merasa aman banget, dengan
pakaian yang tergolong mini pula, yang kalo di tempat lain mungkin udah jadi
sasaran empuk para penjahat kelamin. Umm, diluar insiden –sok-jalan-sendiri-ke-tempat-makan-dekat-hotel-malam-malam- sampe
digodain orang tidak dikenal (sumpah itu bagian paling horror di Bali kemarin.
Horror kedua adalah ketinggalan pesawat. Hihi). Menurut pak security, keramahan seperti itu malah sudah
berkurang. Katanya, dulu, setiap kali bertemu, orang Bali akan saling
merapatkan tangan di depan dada dan saling hormat dengan menundukkan kepala.
Wowww. Emejing men. Sekarang mah boro-boro kek gitu, yang kenal aja pura-pura
gak kenal, apalagi yang beneran gak kenal.. Menurunnya kadar keramahtamahan itu
salah satunya disebabkan karena sudah banyak pendatang dari luar sehingga
mengkontaminasi penduduk local sih.
Selain ramah, salah satu
bukti “karma really exist” di Bali adalah masyarakatnya yang tidak
membuang sampah sembarangan (sebagian besar sih). Pokoke bersih dah
jalan-jalannya. Dinas kebersihan kota juga keknya bekerja dengan baik. Daannn,
saya gak pernah melihat sampah di bakar di sono (umm, ada sih satu kali itupun
di pinggiran kota Denpasar, di tempat pembuangan sampah akhir). Menurut pak
security, orang-orang takut asapnya mengganggu tetangga rumah. Menurutnya, dari
dulu juga orang Bali tidak terbiasa dengan membakar sampah. Dahulu kala, kalo
ada sampah, palingan cuma dikubur biar jadi kompos (soalnya dulu masih pake
bahan alami). Wewww, kece parah.
Satu hal lagi yang saya
perhatikan, setelah mendapatkan informasi dari orang-orang, yaitu bangunan di
Bali tingginya tidak boleh melebihi pohon kelapa. Sepertinya sih begitu.
Makanya kenapa di Bali jarang banget ada gedung pencakar langit. Trus disetiap
bangunan pasti ada pohon, setidaknya pohon bunga kamboja yang mandiri itu loh
yah. Mungkin itu salah satu yang membuat Bali sangat rindang yang kalo naik
motor siang-siang gak bikin kulit serasa terbakar (baca disini). Saya gak tau ini ada hubungannya dengan “karma
really exist”
atau tidak sih. Tapi saya yakin pasti ada alasan dilakukannya seperti itu. Ada
filosofinya.
Yahh,
that’s all about Bali dan Filosofi yang hidup
berdampingan.
I
hope someday I can be there again dan mencari informasi lagi mengenai filosofi
kehidupannya yg kece.
Maybe
that’s all. Halamannya juga udah panjang
banget, dan TERNYATA SUDAH SUBUH!!! Warbiazaakk. Hihihi.
Dahai,
28 Agustus 2016
Sangat jelas dan penyampainya tidak kaku, terimakasih kepada siapapun yang menulis ini... Semoga semakin banyak yang membaca artikel atau kisah kisah seperti ini.. Supaya tidak termakan hoax dan doktrin-doktrin palsu bahkan sampai menggunakan agama sebagai politik..
BalasHapusSaya hindu dan saya berharap jawa dan dimanapun itu akan kembali ke bumi pertiwi semula seperti bali..