Jumat, 13 Juli 2018

Lighting Crew Servicing on 26

Pertambahan usia merupakan salah satu moment yang beberapa tahun belakangan ini merupakan hal yang sangat special bagiku. Istimewanya itu mulai terasa ketika saya merayakan ulang tahun ke-22 pada tahun 2014 yang bertepatan dengan Yudisium S1-ku. Surprise demi surprise ku alami, dan inilah yang membuatku merasa sangat bersyukur untuk setiap orang-orang hebat di sekitarku.

Tahun berlalu, suasana berbeda, tempat berbeda, dan surprise yang berbeda pula. Walaupun mungkin bagi orang lain hal itu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sebagai sebuah surprise tapi saya selalu melihat adanya hal surprise dalam setiap pertambahan usia yang kumiliki, yang seharusnya sangat ku syukuri. Ada-ada saja hal baru dan unpredictable yang terjadi dari tahun ke tahun. Itu jugalah yang membuatku sangat bangga dengan sebutan ‘3-angka-genap-pertama’ yang merupakan tanggal dan bulan lahirku – 246. Kece kan?

Tahun ini, Juni 2018, hal-hal luar biasa dan gak di sangka-sangka kembali terjadi. Malam itu, 23 Juni 2018, beberapa jam sebelum pergantian hari in to my kece day, kami sedang berkumpul di rumah our head office of Puskesmas Padang Alang, sebut saja dia dengan ‘nyobes’ which is abbreviation of ‘nyonya besar’, soalnya she is a madam so we call her ‘nyonya’ and literally she is big, dari segi body, suara, dan tingkat kepedean, dan tingkat egois, semuanya big, kecuali satu hal.  Sometimes we call her ‘nyai dari singgasana atas’ soalnya dia tinggal di dataran paling atas di kompleks mess, menguasai semua sumber mata air, dan sok berkuasa seperti layaknya seorang ‘nyai’. Back to my H-1.

Malam itu sedang ada sembayang di rumah Nyobes dalam rangka ulang tahun dokter yang tugas di Puskesmas kami. Beberapa keluarga dokter dari ibukota kabupaten datang ke lokasi untuk persiapan acara dan beberapa warga kampung sini di panggil untuk ikut serta dalam sembayang tersebut, which is mean ada banyak orang yang berkumpul di tempat tersebut. Beberapa menit sebelum acara di mulai, ternyata ada kondisi darurat. Kami dapat informasi bahwa seorang ibu hamil (yang kebetulan adalah istri Kepala Desa) di Desa Maikang -desa tetangga yang jaraknya 2 jam jalan kaki sambil mendaki gunung- sudah mulai merasa mulas yang kemungkinan merupakan tanda-tanda akan melahirkan. Ibu tersebut termasuk ibu yang beresiko melahirkan karena beberapa factor sehingga dokter mengambil keputusan untuk menjemput beliau dari desa tersebut supaya melahirkan di Puskesmas. Kondisi pada saat itu sudah sekitar pukul 8 malam. 

Saat itu saya hanya tinggal berdua dengan Butet di mess karena yang lain sedang cuti lebaran. Berhubung Butet adalah seorang bidan jadi tentunya dia bakalan ke Desa tersebut. Nah, saat itu saya memutuskan bahwa saya juga harus ikut kalo si Butet keluar dari rumah ini apalagi bermalam di desa itu. Saya belum sampai pada level berani tinggal sendiri di mess yang kalo lampu nyala aja masih berasa sepi dan gelap gulita, apalagi kalo jam 10 lampu udah mati, bisa-bisa bikin shooting Uka-Uka secara live di situ. Bahasa sederhananya, gak berani tinggal sendiri.

Kami sepakat berangkat setelah sembayang dan makan malam, kebetulan kami juga belum makan malam, maklum jiwa anak kos masih sangat kuat, yang mana kalo ada acara dekat rumah kami langsung gantung panci (padahal sendirinya gak pernah jadi anak kost). Ibadah selesai dengan hikmat, Curly selesai basa basi dengan emak-emak yang di undang ke acara, driver ambulans sudah ganti pakaian, dan mengisi kekosongan perut pun selesai. Persiapan menuju lokasi juga sudah siap yang dilalui dengan drama berkas yang disiapkan gak tau simpannnya di mana, drama lupa bawa kunci puskesmas padahal kunci ruangan dokter udah di tangan, bahkan sampai drama minta izin yang mana nyobes udah memberikan izin untuk berangkat dengan tambahan bumbu kata-kata, “oiyah, biar Curly berangkat juga, kasihan dia tinggal sendiri di rumah”. Semuanya sudah clear.

Jam 10, we think everything is clear, sampai muncullah drama paling gak penting malam itu. Kebetulan sebelum berangkat driver ambulans ngomong ke saya kalau beliau dapat informasi dari dokter bahwa solar untuk bisa bolak balik Padang Alang-Maikang kurang 10 liter, jadi kalau gak mau pulangnya nanti kita dorong mobil di medan yang lebih tepat di sebut kali kering daripada jalanan itu, lebih baik isi solar dulu. Okaylahhh. Actually, saya bingung sih, koq minta solarnya sama saya yah? Mungkin tampang saya kayak tukang isi solar di tempat isi bensin kali yah? Padahal pindahin minyak tanah dari jergen ke kompor aja gak becus, gimaina mau jadi karyawan pom bensin, ckckck. Kuterima nasib ini, ‘permisi, tukang isi bensin lewat.”

Saat itu saya langsung meminta bensin sama bendahara, yang kebetulan sedang ada di dapur. Bukannya bendahara itu punya kerjaan sampingan sebagai penjual solar eceran yah, tapi kan siapa tahu beliau tahu tempat simpan solar cadangan untuk keperluan operasional ambulans, lagian kan kalau emang gak ada bisa langsung keluarin kas untuk beli solar. Tapi e tapi, dianya juga gak tahu. Eike di suruh tanya ke nyobes yang saat itu lagi sibuk ngobrol di luar bareng tamu-tamu lain. Karena saya sangsi untuk mengganggu nyobes, jadilah ibu bendahara maju untuk minta solar. Maka dari detik itu dimulailah drama paling gak penting sedunia. Semuanya terjadi begitu cepat dan sangat tiba-tiba, seperti jatuh cinta saja, ehh.

Tiba-tiba si nyobes ngomong, “Curly gak usah ikut, 2 orang bidan aja yang ikut. Dia gak ada kepentingan apa-apa ke sana. Bikin sesak ambulans aja” (dikiranya saya punyaa cadangan tabung oksigen yang bisa di bawa kemana-mana dan harus diisi ulang sewaktu-waktu sehingga menyebabkan kadar oksigen di sekitar ku akan menurun drastis). Itupun penyampaiannya sambil marah-marah teriak gak jelas, mana banyak orang lagi, bikin malu diri sendiri aja. Sebagai pihak yang ibaratnya tiba-tiba putus kontrak secara sepihak, kaget dong saya. Tapi itu bukan masalah yah, intinya selama Butet berangkat, saya juga bakalan berangkatlah. 

Saya belum mau jadi artis Uka-Uka malam itu yah, catat. Drama berlanjut dengan Butet ngomong ke nyobes dan keputusan tetap Butet pergi, dengan di tambah bumbu teriak-teriak gak jelas seperti orang kesurupan. Di tambah teriakan kata-kata tidak senonoh yang tidak seharusnya di keluarkan oleh seorang pemimpin di tempat ramai seperti itu, belakangan saya dengar dari emak-emak yang ada di TKP saat itu. Tuh kan, masih rame aja sudah ada yang kesurupan, apalagi kalau eike sendiri nantinya, hehe, tapi kalau dia sih (read: Nyobes) kesurupannya bisa sewaktu-waktunya, kapan pun dan di mana pun.

Kesimpulannya saya akan tetap berangkat, soalnya Butet berangkat. Walaupun si nyobes gak setuju. Lah, orang mau bantu berangkat pelayanan koq marah-marah gak jelas gitu sih. Bukannya ngasih restu, malah teriak-teriak kek orang gila. Kan malu di lihat seluruh dunia. Poor dokter yang punya hajatan saat itu. Actually, saya merasa risih yah. Gara-gara saya semua harus kena marah, harus ada perdebatan, apalagi mau berangkat malam dengan perjalanan yang gak bisa di bilang gampang. But, life must go on. Setelah keliling kampung cari solar (heran deh, harusnya kan barang seperti itu stand by di puskesmas, untuk keadaan emergency seperti ini, ada anggarannya loh. Poor management, poor system) akhirnya kami berangkat pukul 10.30 malam ketika sudah ada info bahwa air ketuban ibu sudah pecah.

Dari om driver mengatakan bahwa estimasi waktu menuju Desa Maikang adalah 2 jam (soalnya kami harus melewati jalan berputar), dengan rincian 1,5 jam menuju pertigaan di puncak dan setengah jam dari pertigaan untuk tiba di Desa Maikang. 

So, here we go, berangkat dengan sebuah lagu (yang dinyanyikan asing-masing di dalam hati) plus beberapa dengan kondisi bad mood. Saya? Feeling sad sih. I ask to myself, “emang saya salah apa yah sampai harus kejadian seperti ini? Whats wrong with me? Whats wrong with the devil called ‘nyobes’?” Galau yah istilahnya? Hehehe.

Perjalanan ke Desa Maikang gak bisa dikatakan enak. Kalau kalian pernah lihat kotak arisan yang di kocok saat akan menentukan pemenang arisan bulan itu, nah seperti itu rasanya. Bedanya kertas arisan di kocok gak sampai 5 menit, lah kami  harus merasakan di kocok selama kurang lebih 1 jam, sekalinya dapat jalan mulus harus meliuk-liuk yang bikin mual. Kami bertiga yang duduk di ambulans bagian belakang harus terima nasib. 1 jam pertama masih bisa ngobrol seru di tengah guncangan mobil (bayangkan Minion yang lagi duduk di kursi pijat, kurang lebih kami seperti itu) akhirnya satu persatu mulai diam yang menandakan isi perut mulai bergejolak, memaksa diri untuk menahan segala sesuatu yang kemungkinan bisa keluar dari bawah sana. Pergantian formasi mulai dilakukan, yang sudah gak tahan berpindah ke dekat jendela supaya dapat angin, posisi awal duduk sudah tepar, dan saya harus bertahan dengan duduk menghadap ke depan terus.

Perjalanan serasa semakin menyiksa ketika saya menyadari estimasi waktu yang dijanjikan oleh om driver tidak sesuai yang sudah di sampaikan.

15 menit pertama melewati pertigaan
“15 menit lagi kita sampai om”, teriak ku memberi semangat

5 menit kemudian
“kalau sesuai perkiraan Om Aris, 10 menit lagi kita tiba om.”, ucapku sambil melihat ke belakang dan dokter sudah runtuh tepar di ranjang.

“eh, jalan cor, sudah dekat kampong kalau begini,” kata salah satu teman sesame penghuni kabin-belakang-ambulans.

“sekalinya jalan cornya hanya setengah,” bantah ku.

Dan benar saja, jalanan cor hanya beberapa meter, hanya di tanjakan saja yang kembali ke jalan tanah merah berbatu.

10 menit kemudian (which mean sudah 30 menit dari persimpangan), belum ada tanda-tanda ambulans akan berhenti, belum ada tanda-tanda lampu dari sebuah desa.

Mungkin gak pas 30 menit sih, lebih 10 menit masih bisa di tolerir lah, ucapku dalam hati menyemangati diri sendiri sementara isi perut mulai gak bisa di ajak bekerjasama dan kepala udah mulai pusing. Jalanan? Jangan di Tanya, masih sibuk kocok arisan.

10 menit kemudian
“keknya perkiraan om Aris meleset deh”, entah di dengar oleh siapa karena kedua lelaki di dalam mobil itu sudah tumbang.

Perjalanan dilanjutkan dengan beberapa komentar yang keluar dari mulutku.

“Maikang…kamu di mana? Kenapa jauh sekali?”

“Eh, ada cahaya. Itu apa? Motor? Eh bukan. Ternyata panser. Malam-malam begini?”

“Kalau dapat jalan cor lagi, pasti itu sudah dekat.” Sekali dapat masih jalan cor untuk jalanan tanjakan. Welcome back jalanan tanah.

“Eh, ada rumah warga! Welcome Maikang!!!” ternyata kami melewati salah satu dusun di Desa Sidabui dan kembali memasuki hutan-hutan tanpa ada tanda-tanda jalan cor berikut dan tanda-tanda adanya perkampungan. Jauh amat yahhhhhh.

Dan satu hal paling luar biasa yang kulakukan dalam perjalanan itu adalah, saya tertidur sambil duduk di tengah guncangan mobil sampai tiba di depan rumah Kepala Desa. Wowww, daebak!! Saya seakan menemukan kekuatanku yang salaam ini tersembunyi dengan rapat, kalau dalam Avatar the Legend of Ang mungkin saya akan mrnjadi pengendali ‘tidur-dalam-guncangan’.

Saya memeriksa jam tangan dan ternyata kami tiba 1,5 jam dari persimpangan, wawww jauh dari perkiraan yang katanya hanya 30 menit yah. Total perjalanan kami dari Desa Padang Alang adalah 3 jam. Maikang saat itu menunjukkan pukul 01.30 dinihari.

Tidak buang-buang waktu, 2 orang bidan siaga itu langsung masuk ke rumah. Ternyata bayinya sudah lahir jam 2 jam lalu tepatnya pukul 11.30, tapi ari-ari belum keluar. Kami langsung menuju kamar ibu, dan menemui 2 orang mama dukun yang membantu persalinan, ibu yang sudah lemas, dan seorang bayi yang di bungkus kain sarung sedang tertidur di dekat kaki ibunya. 2 bidan langsung melaksanakan tugasnya. 1 bidan mengurus si bayi yang nyaris Hipotermia karena walaupun sudah sudah di selimuti dengan sarung, ternyata sarungnya basah terkena air di ranjang, mana suhu di desa itu dingin banget lagi, sekitar 25 derajat Celcius. Bidan Butet langsung mengurusi si mama yang ari-arinya belum keluar.

Saat itu dokter dan bidan melaksanakan tugasnya mengeluarkan ari-ari, memeriksa tekanan darah, mengintruksikan ibu untuk tidak tidur, memasang infus, sampai ari-ari keluar dan membersihkan Rahim. Sementara itu, saya ngapain? Saya gak hanya berdiri ternganga melihat proses itu kali. Saya berinisiatif untuk menjadi berguna dalam setiap kondisi di mana saya berada, nah karena kebetulan di tempat itu penerangan sangat minim, jadilah saya menjalankan misi sebagai ‘lighting crew’! Keren yah namanya. Jadi jobdesknya itu, saya memegang senter di tangan kiri untuk menerangi pemasangan infus ibu, dan senter HP di tangan kanan untuk menerangi proses pengeluaran ari-ari. Yahhh, bahasa sederhananya ‘tukang senter’ sih, hehehe. Dan sebagai perempuan yang selalu berusaha profesional dalam setiap misi yang di jalankan, saya memegang motto yaitu ‘be a light’ as a Lighting Crew. Gue ada gunanya juga yah ke sini.

30 menit berlalu dan semuanya selesai. Bayi lahir sehat, ibu selamat. Ciaahhh. Sementara Butet membersihkan bekas darah di tempat tidur, dia tiba-tiba bertanya,

“Cur, udah jam berapa?”

“Jam 2,” jawabku sambil fokus memberikan penerangan maksimal kepada mereka yang membutuhkan.

“Cukkae!”

“Eh? Gomawo.”

Saya mulai ngeh, dan semuanya mulai ngeh.

Heii, I am officially 26 meeennnnn. Lebih tepatnya sejak 2 jam lalu! Dalam perjalanan kocokan arisan menuju Desa Maikang.  Thanks God!
Saat itu di rumah tersebut ada Bapa Pendeta, dan kebetulan proses lahiran sudah selesai jadi Bapa Pendeta akan berdoa untuk keluarga. Sementara itu, kami duduk di luar bersama-sama dan si dokter ngomong, “Harusnya kamu bersyukur Cur, di ulang tahunmu kamu melakukan pelayanan seperti ini, menyelamatkan bukan hanya 1 nyawa tapi 2 nyawa. Congratulation!”

Really? Am I do that thing? Saya cuma pegang senter kali, tanya ku dalam hati.
Setelah mikir sebentar, akhirnya saya sadar bahwa, hei, this is an unpredictable thing on my special day. Something surprise on my birthday.

Bermodalkan senter dari HP, akhirnya saya tiup lilin, eh tiup senter ding. Anggap aja sebagai penutup misi sebagai lighting crew. This is the real birthday celebration for me. Di sebuah desa yang sangat dingin, dengan penerangan seadanya dari pelita (lampu minyak), bersama rekan kerja dalam misi melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat. Sederhana namun berarti. Hadiah luar biasa tahun ini yang Tuhan sediakan. Pengalaman yang luar biasa yang gak bisa di beli dengan apapun. Kapan lagi coba bisa berpindah usia di atas ambulans dengan jalanan yang gak banget.

Serasa tantangannya belum selesai. Masih ada drama pengen terima telpon dari orang-orang tapi HP Nokia senter ku gak bisa tangkap sinyal di desa itu jadinya hanya bisa mati total (HP-nya  jenis yang kalo gak ada sinyal cuma bisa mati nyala sampai lowbat), sementara HP android yang bisa dapat sinyal malah nomer yang gak di ketahui orang lain. Nasib. Plus drama gak bisa tidur karena kedinginan dan harus bangun lebih cepat karena tahan pipis, trus lanjut menghangatkan diri di dalam dapur kayu rumah bapak desa. Plus drama HP yang gak mau nyala kalau kedua SIM dimasukkan ke dalamnya, arrgghhh. Pengen langsung balik Padang Alang deh. Hehehe.

Sebelum jam 7 kami kembali ke Padang Alang dengan formasi duduk yang berbeda. Kali ini saya yang duduk di kursi dekat jendela demi untuk bisa duduk sambil sandar dengan pertimbangan dari kami bertiga, sayalah yang waktu tidurnya paling sebentar, hanya 1 jam. Yes! Cewek gak pernah salah yah. Di Padang Alang, misi lain menanti yaitu masak daging babi yang sudah kami (saya dan Butet) rencanakan beberapa hari sebelumnya. Lanjuttttt. Tanpa istirahat, lanjut masak untuk kemudian di makan untuk makan malam. Luar biasa! What an amazing birthday.

Simple birthday without cake, candle, birthday song, but kind people around me who teach me to be a better person day by day.

Tahun ini, di tempat yang berbeda dengan tahun lalu, suasana yang berbeda, orang-orang sekitar yang berbeda. Kadang saya bertanya kenapa harus ditempatkan di tempat ini, yang kadang kebanyakan bikin emosi tapi lebih banyak serunya. Dipertemukan dengan orang-orang yang sepertinya gak tahu sama sekali dengan defenisi ‘profesionalitas kerja’ dan Kamseupay-nya sudah kelewat batas bahkan mencapai stadium 4. Saya kembali memahami bahwa, dimana pun saya ditempatkan, just do the best. Enjoy your life, and laugh for every thing that happened on your life.

Happy 26 years old, Curly. All the best wishes for me. (mengucapkan selamat ulang tahun kepada diri sendiri gak salah kan?) 

Padang Alang, Juli 2018

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts