Pertambahan
usia merupakan salah satu moment yang beberapa tahun belakangan ini merupakan
hal yang sangat special bagiku. Istimewanya itu mulai terasa ketika saya
merayakan ulang tahun ke-22 pada tahun 2014 yang bertepatan dengan Yudisium
S1-ku. Surprise demi surprise ku alami, dan inilah yang
membuatku merasa sangat bersyukur untuk setiap orang-orang hebat di sekitarku.
Tahun berlalu, suasana berbeda, tempat
berbeda, dan surprise yang berbeda
pula. Walaupun mungkin bagi orang lain hal itu bukanlah sesuatu yang bisa
dianggap sebagai sebuah surprise tapi
saya selalu melihat adanya hal surprise
dalam setiap pertambahan usia yang kumiliki, yang seharusnya sangat ku syukuri.
Ada-ada saja hal baru dan unpredictable
yang terjadi dari tahun ke tahun. Itu jugalah yang membuatku sangat bangga
dengan sebutan ‘3-angka-genap-pertama’ yang merupakan tanggal dan bulan lahirku
– 246. Kece kan?
Tahun ini, Juni 2018, hal-hal luar
biasa dan gak di sangka-sangka kembali terjadi. Malam itu, 23 Juni 2018,
beberapa jam sebelum pergantian hari in
to my kece day, kami sedang
berkumpul di rumah our head office of
Puskesmas Padang Alang, sebut saja dia dengan ‘nyobes’ which is abbreviation of ‘nyonya besar’, soalnya she is a madam so we call her ‘nyonya’ and literally she is big, dari segi
body, suara, dan tingkat kepedean, dan tingkat egois, semuanya big, kecuali
satu hal. Sometimes we call her ‘nyai dari singgasana atas’ soalnya dia
tinggal di dataran paling atas di kompleks mess, menguasai semua sumber mata
air, dan sok berkuasa seperti layaknya seorang ‘nyai’. Back to my H-1.
Malam itu sedang ada sembayang di
rumah Nyobes dalam rangka ulang tahun dokter yang tugas di Puskesmas kami.
Beberapa keluarga dokter dari ibukota kabupaten datang ke lokasi untuk
persiapan acara dan beberapa warga kampung sini di panggil untuk ikut serta
dalam sembayang tersebut, which is mean
ada banyak orang yang berkumpul di tempat tersebut. Beberapa menit sebelum
acara di mulai, ternyata ada kondisi darurat. Kami dapat informasi bahwa seorang
ibu hamil (yang kebetulan adalah istri Kepala Desa) di Desa Maikang -desa
tetangga yang jaraknya 2 jam jalan kaki sambil mendaki gunung- sudah mulai
merasa mulas yang kemungkinan merupakan tanda-tanda akan melahirkan. Ibu
tersebut termasuk ibu yang beresiko melahirkan karena beberapa factor sehingga
dokter mengambil keputusan untuk menjemput beliau dari desa tersebut supaya
melahirkan di Puskesmas. Kondisi pada saat itu sudah sekitar pukul 8 malam.
Saat itu saya hanya tinggal berdua dengan Butet di mess karena yang lain sedang
cuti lebaran. Berhubung Butet adalah seorang bidan jadi tentunya dia bakalan ke
Desa tersebut. Nah, saat itu saya memutuskan bahwa saya juga harus ikut kalo si
Butet keluar dari rumah ini apalagi bermalam di desa itu. Saya belum sampai
pada level berani tinggal sendiri di mess yang kalo lampu nyala aja masih
berasa sepi dan gelap gulita, apalagi kalo jam 10 lampu udah mati, bisa-bisa
bikin shooting Uka-Uka secara live di
situ. Bahasa sederhananya, gak berani tinggal sendiri.
Kami sepakat berangkat setelah
sembayang dan makan malam, kebetulan kami juga belum makan malam, maklum jiwa
anak kos masih sangat kuat, yang mana kalo ada acara dekat rumah kami langsung
gantung panci (padahal sendirinya gak pernah jadi anak kost). Ibadah selesai
dengan hikmat, Curly selesai basa basi dengan emak-emak yang di undang ke
acara, driver ambulans sudah ganti
pakaian, dan mengisi kekosongan perut pun selesai. Persiapan menuju lokasi juga
sudah siap yang dilalui dengan drama berkas yang disiapkan gak tau simpannnya di
mana, drama lupa bawa kunci puskesmas padahal kunci ruangan dokter udah di
tangan, bahkan sampai drama minta izin yang mana nyobes udah memberikan izin
untuk berangkat dengan tambahan bumbu kata-kata, “oiyah, biar Curly berangkat
juga, kasihan dia tinggal sendiri di rumah”. Semuanya sudah clear.
Jam 10, we think everything is clear, sampai muncullah drama paling gak
penting malam itu. Kebetulan sebelum berangkat driver ambulans ngomong ke saya kalau beliau dapat informasi dari
dokter bahwa solar untuk bisa bolak balik Padang Alang-Maikang kurang 10 liter,
jadi kalau gak mau pulangnya nanti kita dorong mobil di medan yang lebih tepat
di sebut kali kering daripada jalanan itu, lebih baik isi solar dulu.
Okaylahhh. Actually, saya bingung
sih, koq minta solarnya sama saya yah? Mungkin tampang saya kayak tukang isi
solar di tempat isi bensin kali yah? Padahal pindahin minyak tanah dari jergen
ke kompor aja gak becus, gimaina mau jadi karyawan pom bensin, ckckck. Kuterima
nasib ini, ‘permisi, tukang isi bensin lewat.”
Saat itu saya langsung meminta bensin
sama bendahara, yang kebetulan sedang ada di dapur. Bukannya bendahara itu
punya kerjaan sampingan sebagai penjual solar eceran yah, tapi kan siapa tahu
beliau tahu tempat simpan solar cadangan untuk keperluan operasional ambulans,
lagian kan kalau emang gak ada bisa langsung keluarin kas untuk beli solar.
Tapi e tapi, dianya juga gak tahu. Eike di suruh tanya ke nyobes yang saat itu
lagi sibuk ngobrol di luar bareng tamu-tamu lain. Karena saya sangsi untuk
mengganggu nyobes, jadilah ibu bendahara maju untuk minta solar. Maka dari
detik itu dimulailah drama paling gak penting sedunia. Semuanya terjadi begitu
cepat dan sangat tiba-tiba, seperti jatuh cinta saja, ehh.
Tiba-tiba si nyobes ngomong, “Curly
gak usah ikut, 2 orang bidan aja yang ikut. Dia gak ada kepentingan apa-apa ke
sana. Bikin sesak ambulans aja” (dikiranya saya punyaa cadangan tabung oksigen yang bisa di bawa kemana-mana dan harus diisi ulang sewaktu-waktu sehingga
menyebabkan kadar oksigen di sekitar ku akan menurun drastis). Itupun
penyampaiannya sambil marah-marah teriak gak jelas, mana banyak orang lagi,
bikin malu diri sendiri aja. Sebagai pihak yang ibaratnya tiba-tiba putus
kontrak secara sepihak, kaget dong saya. Tapi itu bukan masalah yah, intinya
selama Butet berangkat, saya juga bakalan berangkatlah.
Saya belum mau jadi
artis Uka-Uka malam itu yah, catat. Drama berlanjut dengan Butet ngomong ke
nyobes dan keputusan tetap Butet pergi, dengan di tambah bumbu teriak-teriak
gak jelas seperti orang kesurupan. Di tambah teriakan kata-kata tidak senonoh
yang tidak seharusnya di keluarkan oleh seorang pemimpin di tempat ramai
seperti itu, belakangan saya dengar dari emak-emak yang ada di TKP saat itu.
Tuh kan, masih rame aja sudah ada yang kesurupan, apalagi kalau eike sendiri
nantinya, hehe, tapi kalau dia sih (read: Nyobes) kesurupannya bisa
sewaktu-waktunya, kapan pun dan di mana pun.
Kesimpulannya saya akan tetap
berangkat, soalnya Butet berangkat. Walaupun si nyobes gak setuju. Lah, orang
mau bantu berangkat pelayanan koq marah-marah gak jelas gitu sih. Bukannya
ngasih restu, malah teriak-teriak kek orang gila. Kan malu di lihat seluruh
dunia. Poor dokter yang punya hajatan
saat itu. Actually, saya merasa risih
yah. Gara-gara saya semua harus kena marah, harus ada perdebatan, apalagi mau
berangkat malam dengan perjalanan yang gak bisa di bilang gampang. But, life must go on. Setelah keliling kampung
cari solar (heran deh, harusnya kan barang seperti itu stand by di puskesmas, untuk keadaan emergency seperti ini, ada anggarannya loh. Poor management, poor system) akhirnya kami berangkat pukul 10.30
malam ketika sudah ada info bahwa air ketuban ibu sudah pecah.
Dari om driver mengatakan bahwa
estimasi waktu menuju Desa Maikang adalah 2 jam (soalnya kami harus melewati
jalan berputar), dengan rincian 1,5 jam menuju pertigaan di puncak dan setengah
jam dari pertigaan untuk tiba di Desa Maikang.
So, here we go, berangkat dengan sebuah lagu (yang dinyanyikan
asing-masing di dalam hati) plus beberapa dengan kondisi bad mood. Saya? Feeling sad
sih. I ask to myself, “emang saya
salah apa yah sampai harus kejadian seperti ini? Whats wrong with me? Whats
wrong with the devil called ‘nyobes’?” Galau yah istilahnya? Hehehe.
Perjalanan ke Desa Maikang gak bisa
dikatakan enak. Kalau kalian pernah lihat kotak arisan yang di kocok saat akan menentukan
pemenang arisan bulan itu, nah seperti itu rasanya. Bedanya kertas arisan di
kocok gak sampai 5 menit, lah kami harus
merasakan di kocok selama kurang lebih 1 jam, sekalinya dapat jalan mulus harus
meliuk-liuk yang bikin mual. Kami bertiga yang duduk di ambulans bagian
belakang harus terima nasib. 1 jam pertama masih bisa ngobrol seru di tengah
guncangan mobil (bayangkan Minion yang lagi duduk di kursi pijat, kurang lebih
kami seperti itu) akhirnya satu persatu mulai diam yang menandakan isi perut
mulai bergejolak, memaksa diri untuk menahan segala sesuatu yang kemungkinan
bisa keluar dari bawah sana. Pergantian formasi mulai dilakukan, yang sudah gak
tahan berpindah ke dekat jendela supaya dapat angin, posisi awal duduk sudah
tepar, dan saya harus bertahan dengan duduk menghadap ke depan terus.
Perjalanan serasa semakin menyiksa
ketika saya menyadari estimasi waktu yang dijanjikan oleh om driver tidak
sesuai yang sudah di sampaikan.
15 menit pertama melewati pertigaan
“15 menit lagi kita sampai om”, teriak
ku memberi semangat
5 menit kemudian
“kalau sesuai perkiraan Om Aris, 10
menit lagi kita tiba om.”, ucapku sambil melihat ke belakang dan dokter sudah
runtuh tepar di ranjang.
“eh, jalan cor, sudah dekat kampong
kalau begini,” kata salah satu teman sesame penghuni kabin-belakang-ambulans.
“sekalinya jalan cornya hanya
setengah,” bantah ku.
Dan benar saja, jalanan cor hanya
beberapa meter, hanya di tanjakan saja yang kembali ke jalan tanah merah
berbatu.
10 menit kemudian (which mean sudah 30 menit dari
persimpangan), belum ada tanda-tanda ambulans akan berhenti, belum ada
tanda-tanda lampu dari sebuah desa.
Mungkin
gak pas 30 menit sih, lebih 10 menit masih bisa di tolerir lah, ucapku
dalam hati menyemangati diri sendiri sementara isi perut mulai gak bisa di ajak
bekerjasama dan kepala udah mulai pusing. Jalanan? Jangan di Tanya, masih sibuk
kocok arisan.
10 menit kemudian
“keknya perkiraan om Aris meleset
deh”, entah di dengar oleh siapa karena kedua lelaki di dalam mobil itu sudah
tumbang.
Perjalanan dilanjutkan dengan beberapa
komentar yang keluar dari mulutku.
“Maikang…kamu di mana? Kenapa jauh
sekali?”
“Eh, ada cahaya. Itu apa? Motor? Eh
bukan. Ternyata panser. Malam-malam begini?”
“Kalau dapat jalan cor lagi, pasti itu
sudah dekat.” Sekali dapat masih jalan cor untuk jalanan tanjakan. Welcome back jalanan tanah.
“Eh, ada rumah warga! Welcome Maikang!!!” ternyata kami melewati
salah satu dusun di Desa Sidabui dan kembali memasuki hutan-hutan tanpa ada
tanda-tanda jalan cor berikut dan tanda-tanda adanya perkampungan. Jauh amat
yahhhhhh.
Dan satu hal paling luar biasa yang
kulakukan dalam perjalanan itu adalah, saya tertidur sambil duduk di tengah
guncangan mobil sampai tiba di depan rumah Kepala Desa. Wowww, daebak!! Saya seakan menemukan kekuatanku
yang salaam ini tersembunyi dengan rapat, kalau dalam Avatar the Legend of Ang mungkin saya akan mrnjadi pengendali
‘tidur-dalam-guncangan’.
Saya memeriksa jam tangan dan ternyata
kami tiba 1,5 jam dari persimpangan, wawww jauh dari perkiraan yang katanya
hanya 30 menit yah. Total perjalanan kami dari Desa Padang Alang adalah 3 jam.
Maikang saat itu menunjukkan pukul 01.30 dinihari.
Tidak buang-buang waktu, 2 orang bidan
siaga itu langsung masuk ke rumah. Ternyata bayinya sudah lahir jam 2 jam lalu
tepatnya pukul 11.30, tapi ari-ari belum keluar. Kami langsung menuju kamar
ibu, dan menemui 2 orang mama dukun yang membantu persalinan, ibu yang sudah
lemas, dan seorang bayi yang di bungkus kain sarung sedang tertidur di dekat
kaki ibunya. 2 bidan langsung melaksanakan tugasnya. 1 bidan mengurus si bayi
yang nyaris Hipotermia karena walaupun sudah sudah di selimuti dengan sarung,
ternyata sarungnya basah terkena air di ranjang, mana suhu di desa itu dingin
banget lagi, sekitar 25 derajat Celcius. Bidan Butet langsung mengurusi si mama
yang ari-arinya belum keluar.
Saat itu dokter dan bidan melaksanakan
tugasnya mengeluarkan ari-ari, memeriksa tekanan darah, mengintruksikan ibu
untuk tidak tidur, memasang infus, sampai ari-ari keluar dan membersihkan
Rahim. Sementara itu, saya ngapain? Saya gak hanya berdiri ternganga melihat proses
itu kali. Saya berinisiatif untuk menjadi berguna dalam setiap kondisi di mana
saya berada, nah karena kebetulan di tempat itu penerangan sangat minim,
jadilah saya menjalankan misi sebagai ‘lighting
crew’! Keren yah namanya. Jadi jobdesknya itu, saya memegang senter di
tangan kiri untuk menerangi pemasangan infus ibu, dan senter HP di tangan kanan
untuk menerangi proses pengeluaran ari-ari. Yahhh, bahasa sederhananya ‘tukang
senter’ sih, hehehe. Dan sebagai perempuan yang selalu berusaha profesional
dalam setiap misi yang di jalankan, saya memegang motto yaitu ‘be a light’ as a Lighting Crew. Gue ada
gunanya juga yah ke sini.
30 menit berlalu dan semuanya selesai.
Bayi lahir sehat, ibu selamat. Ciaahhh. Sementara Butet membersihkan bekas
darah di tempat tidur, dia tiba-tiba bertanya,
“Cur, udah jam berapa?”
“Jam 2,” jawabku sambil fokus
memberikan penerangan maksimal kepada mereka yang membutuhkan.
“Cukkae!”
“Eh? Gomawo.”
Saya mulai ngeh, dan semuanya mulai
ngeh.
Heii, I am officially 26 meeennnnn. Lebih tepatnya sejak 2 jam lalu! Dalam
perjalanan kocokan arisan menuju Desa Maikang. Thanks
God!
Saat itu di rumah tersebut ada Bapa
Pendeta, dan kebetulan proses lahiran sudah selesai jadi Bapa Pendeta akan
berdoa untuk keluarga. Sementara itu, kami duduk di luar bersama-sama dan si
dokter ngomong, “Harusnya kamu bersyukur Cur, di ulang tahunmu kamu melakukan
pelayanan seperti ini, menyelamatkan bukan hanya 1 nyawa tapi 2 nyawa. Congratulation!”
Really?
Am I do that thing? Saya cuma pegang senter kali,
tanya ku dalam hati.
Setelah mikir sebentar, akhirnya saya
sadar bahwa, hei, this is an
unpredictable thing on my special day. Something surprise on my birthday.
Bermodalkan senter dari HP, akhirnya
saya tiup lilin, eh tiup senter ding. Anggap aja sebagai penutup misi sebagai lighting crew. This is the real birthday celebration for me. Di sebuah desa yang
sangat dingin, dengan penerangan seadanya dari pelita (lampu minyak), bersama
rekan kerja dalam misi melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat. Sederhana
namun berarti. Hadiah luar biasa tahun ini yang Tuhan sediakan. Pengalaman yang
luar biasa yang gak bisa di beli dengan apapun. Kapan lagi coba bisa berpindah
usia di atas ambulans dengan jalanan yang gak banget.
Serasa tantangannya belum selesai. Masih
ada drama pengen terima telpon dari orang-orang tapi HP Nokia senter ku gak
bisa tangkap sinyal di desa itu jadinya hanya bisa mati total (HP-nya jenis yang kalo gak ada sinyal cuma bisa mati
nyala sampai lowbat), sementara HP
android yang bisa dapat sinyal malah nomer yang gak di ketahui orang lain.
Nasib. Plus drama gak bisa tidur
karena kedinginan dan harus bangun lebih cepat karena tahan pipis, trus lanjut
menghangatkan diri di dalam dapur kayu rumah bapak desa. Plus drama HP yang gak
mau nyala kalau kedua SIM dimasukkan ke dalamnya, arrgghhh. Pengen langsung
balik Padang Alang deh. Hehehe.
Sebelum jam 7 kami kembali ke Padang
Alang dengan formasi duduk yang berbeda. Kali ini saya yang duduk di kursi
dekat jendela demi untuk bisa duduk sambil sandar dengan pertimbangan dari kami
bertiga, sayalah yang waktu tidurnya paling sebentar, hanya 1 jam. Yes! Cewek
gak pernah salah yah. Di Padang Alang, misi lain menanti yaitu masak daging
babi yang sudah kami (saya dan Butet) rencanakan beberapa hari sebelumnya.
Lanjuttttt. Tanpa istirahat, lanjut masak untuk kemudian di makan untuk makan
malam. Luar biasa! What an amazing
birthday.
Simple
birthday without cake, candle, birthday song, but kind people around me who
teach me to be a better person day by day.
Tahun ini, di tempat yang berbeda
dengan tahun lalu, suasana yang berbeda, orang-orang sekitar yang berbeda.
Kadang saya bertanya kenapa harus ditempatkan di tempat ini, yang kadang
kebanyakan bikin emosi tapi lebih banyak serunya. Dipertemukan dengan
orang-orang yang sepertinya gak tahu sama sekali dengan defenisi ‘profesionalitas
kerja’ dan Kamseupay-nya sudah kelewat batas bahkan mencapai stadium 4. Saya
kembali memahami bahwa, dimana pun saya ditempatkan, just do the best. Enjoy your life, and laugh for every thing that
happened on your life.
Happy 26 years old, Curly. All the best wishes for me. (mengucapkan selamat ulang tahun kepada diri sendiri gak salah kan?)
Padang Alang, Juli 2018
0 komentar:
Posting Komentar