Ngomong soal jalanan, kita ngomong
tentang fasilitas suatu wilayah. Ditempatkan di Desa Padang Alang, Kec. Alor
Selatan, Kab. Alor, Prov. NTT ini, membuat saya sangat bersyukur karena bisa
belajar sekaligus praktek berbagai jenis alat transportasi beserta sarana
transportasi yang ada di Indonesia sampai detik ini.
Sejauh ini ada beberapa jenis alat
transportasi yang akrab dengan saya selama berhubungan dengan Puskesmas Padang
Alang di Alor.
1.
Kaki
Sebelum berangkat ke sini, kami sudah
diberitahukan bahwa kami akan lebih banyak berjalan kaki di lokasi kerja.
Ternyata emang bener, bukan lebih banyak lagi. SEMUA kegiatan dilakukan dengan
jalan kaki, mulai dari bangun pagi sampai tidur lagi. Dari kamar ke WC jalan
kaki, dari WC ke dapur jalan kaki, dari dapur ke teras jalan kaki, dari teras
ke Puskesmas jalan kaki (lokasinya kan di depan mess), dari Puskesmas ke rumah
warga jalan kaki, dari dusun satu ke dusun lain jalan kaki. Masih biasa? Yang
antimainstream bagi saya adalah untuk ke posyandu di desa pelayanan yang
jaraknya jauh pun tidak luput dari jalan kaki. Sehat kan?
Sebulan pertama di lokasi, saya merasakan alat transportasi yang bernama “kaki”. Kalau selama ini mungkin saya agak tidak menaruh perhatian pada kaki, di sini saya betul-betul bersyukur sudah punya kaki yang untungnya kuat untuk melangkah dari satu Posyandu ke Posyandu lainnya, dari satu desa ke desa lainnya, untungnya bukan dari Puskesmas ke Puskesmas lainnya, haha, mungkin saya sudah angkat bendera putih atau melambaikan tangan ke kamera kalo harus seperti itu. Puskesmas kami, Puskesmas Padang Alang, memiliki wilayah pelayanan yang mencakup 4 Desa. Keempat desa itu jaraknya dekat, kalo bisa ber-apparate (Potter mania tahu nih) alias ilmu menghilang, hehe. Namun karena terkendala transportasi yang tidak ada, itupun kalo ada kami harus sewa ojek yang otomatis bayarnya agak menguras kantong karena, katanya, perjalanannya yang ekstrim jadi biayanya juga lumayan mahal. Tapi ada juga desa yang tidak dapat dilalui oleh trasportasi darat karena memang aksesnya yang belum ada, baru ini saja sedang dilakukan pembukaan jalan ke desa tersebut (Desa Kiraman). Jalur laut ada sih, pake sampan. Mau pake ambulans? Terlalu banyak pertimbangan, dananya gak cukuplah, medannya gak sesuai dengan kondisi mobillah, gue cakeplah, gue kecelah, pokoke banyak. Jadi pilihan terbaik dan tidak banyak neko-neko adalah dengan berjalan kaki.
Perjalanan kaki saya sejauh ini baru
mencapai 2 desa, yaitu Desa Maikang dan Desa Kiraman. Desa Maikang saat itu
kami tempuh selama kurang lebih 2 jam dengan medan yang menanjak karena desa
ini berada di daerah pegunungan. Kami melewati hutan kemiri dan kenari di kiri
kanan jalan. Hingga saat ini saya sudah 2 kali mengunjungi desa ini di 2 musim
yang berbeda yaitu musim kering dan dan hujan, jadi otomatis tantangannya
berbeda. Ketika musim kering, disepanjang jalan banyak dedaunan kering yang
licin apalagi kalo pas penurunan, tapi di saat musim hujan, sungai yang biasanya
kering jadi meluap jadi kami harus menunggu saat ketika air di sungai tidak
terlalu banyak supaya bisa menyebrang. Karena kami melewati hutan jadi harus
hati-hati dengan bahaya ular dan kalajengking, artis papan atasnya Padang
Alang, hehe.
Desa kedua yang sudah saya kunjungi
yaitu Desa Kiraman yang lokasinya tepat di pinggir pantai, dan berhadapan langsung
dengan laut lepas berbatasan dengan daratan Timor. Karena lokasinya yang berada
di pantai jadi ketika berangkat lebih banyak menurun sampai kaki nyaris gak
bisa di tekuk. Selama 45 menit kami melalui penurunan berupa jalanan yang sudah
di beton sampai ke Kelebana dan lanjut malalui jalan setapak melewati pesisir
pantai, perkebunan warga, menyebrang sungai, sampai tiba di Desa Kiraman, total
perjalanan kami yaitu 2,5 jam.
2. Ojek (Jalur Darat)
Ojek motor adalah salah satu pilihan
transportasi Padang Alang – Kalabahi (Ibukota Kabupaten Alor). Bermodalkan
150-200 ribu maka armada ojek akan mengantarkan ke tempat tujuan di Kalabahi.
Mahal yah? Menurut saya tidak sebanding sih dengan medannya, harusnya lebih
mahal. Medan yang dilalui adalah jalanan yang sepertinya lebih tepat disebut
got besar dibandingkan jalanan.
Selama 2 bulan ini saya sudah 2 kali menggunakan jasa ojek ketika akan berangkat dari Padang Alang menuju Kalabahi, dan 2 kali juga itu masa pemulihan badan dari rasa capek yang luar biasa lumayan lama. Bagaimana tidak, ketika jalanan kering saja yang saat itu ditempuh selama 3,5 jam (itupun karena beberapa kali berhenti karena bannya kempes, mungkin kalo gak ada halangan bisa ditempuh selama 2,5 jam kali yah) sudah bikin tulang-tulang rasanya rontok semua, apalagi kalo jalanan basah, alamak, rasanya sukses jadi lumpuh layu dah. Rasanya semua jenis medan untuk motor cross ada di jalur ini, kecuali beberapa kilometer jalanan dengan aspal hitam mulus seperti paha Nicky Minaj, selebihnya aspal coklat kasar, aspal merah kasar, aspal putih robek, (yang penting namanya Aspal kalo dipertanggungjawabkan di pusat). Kenapa pemerintah sini gak buka lomba motor cross aja yah? Jalurnya kan sudah ada, lumayan panjang lagi -_-.
Sebagian besar perjalanan dengan ojek
ini bikin tahan nafas sih, sampai nyaris kehabisan nafas, hehe. Ketika keluar
dari Desa Padang Alang, ojek langsung di sambut dengan turunan batu-batu curam,
kemudian turunan jalan beton curam banget, trus nyebrang sungai kecil, disambut
dengan tanah lumpur yang kalo musim hujan setengah badan motor tenggelam di
dalam lumpur yang artinya penumpang harus jalan kaki selama beberapa meter
untuk sampai di Desa Kalunan yang artinya (lagi) perjalanan menyusuri pantai
selama beberapa kilometer. Pemadangannya kece pake banget sih, hanya gak bisa
terlalu focus lihat pemandangan karena otak lagi mikir untuk memilih antara
menjadikan besi belakang motor sebagai pegangan atau memegang pundak om ojeknya,
plus mata yang harus stand by melihat
perjalanan supaya kalo ada batu atau lubang bisa siap-siap angkat bokong demi
mengurangi resiko sakit badan saat sampai di tujuan.
Itu baru 15 menit pertama, meninggalkan daerah
pantai, menurut saya inilah perjalanan sebenarnya yaitu melewati jalanan yang
lebih tepatnya di sebut got dengan tanah merah bercampur batu kerikil dengan
medan tanjakan curam, sesekali ada jalanan yang sudah di beton tapi beberapa
meter saja lalu kembali berganti dengan jalur motorcross. Perjalanan agak menyedihkan lagi kalo jalanan basah,
licinnya minta ampun sampai motor kami sempat berhenti di tengah tanjakan atau
bahkan motor tiba-tiba masuk di got di tengah jalan yang membuat nyaris bobo
cantik di tanah merah, dan saya harus sigap melompat dari motor demi selamatnya
motor om ojek dan selamatnya kaki saya dari terjepit rantai motor. Hidup gini
amat yah, full of challenge.
Belum lagi kalo harus melewati tanjakan yang tanahnya becek banget jadi om ojeknya perlu konsentrasi lebih untuk membawa motor melewati lumpur merah yang super licin. Semua perhatian hanya tertuju ke motor dan jalanan, jadi penumpang harus turun karena sudah tidak dapat jatah perhatian. Yah, demi keselamatan penumpang tiba di tempat tujuan. Di akhir jalanan neraka itu (merah identik dengan neraka kan yah? hehe), akhirnya kita melalui jalanan yang lumayan SEDIKIT bagus yaitu jalanan aspal robek, untungnya langsung disuguhi dengan pemandangan pegunungan kece di kiri kanan jalan, adeeemmmmm.
Bukitnya seperti Bukit Teletubbies yang dengan batu besar di punggungnya, plus alang-alang, usyalalalaaa. Pemandangan seperti ini bertahan sampai bertemu dengan sungai yang airnya dingin banget untuk memasuki wilayah Desa Kamaifui yang artinya “Welcome Aspal mulus!!!”. Nah, ada 2 pilihan jalan ketika sudah bertemu dengan aspal mulus yaitu tetap melalui jalur beraspal melewati Desa Taman Mataru dengan waktu yang agak lama atau melalui jalan potong yang lebih singkat tapi harus siap terguncang di atas motor karena jalurnya yang tanjakan, batu, beton rusak, dan semacamnya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata saking speechlees-nya (ini aja nulisnya sambil urut jidat, pijat punggung, dan mata berkaca-kaca, kalo boleh lebay). Keduanya sudah pernah saya lewati. Jalan aspal mulus memang agak lama tapi pemandangannya lebih kece, kalo tadi bukit telettubies, yang ini gunung hijau teletubbies plus air terjun (sayangnya saat lewat kemarin sudah mulai gelap jadi gak sempat singgah foto-foto).
Trusss kalo lewat jalan shortcut ini harus siap sakit badan apalagi kalo om ojeknya mengemudi motor kek di jalan tol, jalanan yang rasanya semua hambatan malah dianggap tidak ada hambatan saking terbiasanya. Ketika melewati jalanan ini saya rasanya seperti kertas arisan yang di kocok di dalam botol, sumpahhhh memasuki jalanan mulus saya rasanya masih terguncang di atas motor, mungkin ini rasanya jadi Tom yang kepalanya nabrak pohon trus muncul bintang-bintang di kepalanya yah? I know how you feel, Tom.
Medannya luar biasa gak sih? Medan seperti yang saya ceritakan di atas harus
dilalui selama 3-5 jam, tergantung kondisi jalan (licin atau tidak), kondisi
motor (bocor ban atau bensin habis), dan kondisi om ojeknya (masih muda atau
sudah tua, sudah berpengalaman atau belum, milih jalan panjang atau jalan shortcut). Hebatnya motor orang-orang
yang biasanya ngojek ini sudah bertahun-tahun, sampai sudah ada yang mulai
rusak tapi belum sempat diperbaiki, kendala dana sih. Perjalanan ini lumayan
mempertaruhkan nyawa sih, hiks, nyawa om ojek, nyawa penumpang, dan nyawa
motor. Pernah sekali waktu saya naik ojek, om ojeknya ngomong gini,
“Jalanannya jelek yah bu?”
“Iya sih, tapi jalanan jelek ini sudah jalanan
terbaik karena tidak ada pilihan lain, kecuali lewat laut,” jawabanku agak
menghibur padahal dalam hati berharap supaya omnya gak usah ngomong, focus ke
jalanan aja. Tapi memang sih, ini adalah pilihan terbaik di antara tidak ada
pilihan. Miris.
3.
Perahu Motor (Jalur Laut)
Kapal Motor Parkir di Pelabuhan Kalabahi |
"lebih baik naik kapal motor daripada ojek soalnya kalo naik ojek trus jatuh langsung benjol kena tanah, kalo jatuh dari kapal motor kan jatuhnya paling di air".
PALING DI AIR??
PALING???? Yaolohh, koq aku mau pingsan yah dengar alasan semacam itu. Apa cuma
saya di dataran Alor ini yang gak bisa berenang yah? Selain itu, kapal motor menjadi pilihan yang
lebih masuk akal ketika membawa barang bawaan yang banyak karena bisa muat di
kapal. Tapi kadang ada juga yang gak sanggup naik kapal motor dengan alasan
mabuk laut jadi naik motor, dan kalo punya barang banyak dititip aja di kapal
motor lalu membayar biaya sesuai jumlah barangnya.
Warga
Padang Alang yang ingin naik kapal motor harus ke Pelabihan Eibeki dulu yang
terletak di Desa Kalunan, sekitar 15 menit naik motor tapi warga asli kadang
hanya jalan kaki apalagi kalo tidak membawa barang bawaan yang berat (saking
terbiasanya tanpa kendaraan). Kapal motor dengan trayek Eibeki - Kalabahi ini
hanya dimiliki oleh Om Yanto, begitu sapaan akrabnya, dengan nama KM Nusa
Kenari. Jadwal KM Nusa Kenari mengarungi lautan yaitu hari Selasa & Sabtu
dari Kalabahi - Eibeki, lalu Senin & Kamis dari Eibeki - Kalabahi. Kapal
biasanya sudah berangkat sekitar jam 6 atau 7 pagi.
Selama penempatan Alor, saya sudah 2 kali naik
kapal motor, keduanya saat akan balik dari Kalabahi ke Padang Alang dengan
alasan 'ketepaksaan saja'. Alasan pertama karena saya dan teman punya bawaan
kardus yang gak mungkin di bawa pake ojek jadi terpaksa naik kapal motor, alasan
kedua bukan karena kardus soalnya cuma bawa 1 carrier tapiiii karena gak bisa naik ojek gegara perang suku (baku
panah, katanya) dan hari itu adalah jadwal terakhir kapal berlayar sampai tahun
baru jadi terpaksa naik kapal motor (lagi). Terpaksa yah? Tapi mungkin karena
terpaksa maka kejadian-kejadian luar biasa saya alami selama di kapal motor.
Ada-ada ajaa.
Pertama
kali naik kapal motor itu rasanya gimanaaa gitu, mana saya takut laut lagi,
maklum ‘anggun’ alias anak gunung. Karena tuntutan tanggung jawab di gereja
sebagai guru Sekolah Minggu yang bawa keperluan penampilan Sekolah Minggu di
natal nanti (padahal ujung-ujungnya hilang juga kardusnya di kapal, hiks) dan
juga karena sudah kena damprat dari 'Big Boss Nyai' gegara gak balik-balik ke
puskesmas (padahal baru juga 3 hari di kota, sementara yang lain sudah hampir
sebulan gak di kejar-kejar, eyuhhh), maka baliklah kami naik kapal motor dengan
jadwal berangkat yang tidak seperti biasanya yaitu jam 3 subuh. Katanya untuk
menghindari gelombang yang terlalu tinggi. Dengan waktu berangkat sesubuh itu,
ayam aja baru mulai mimpi, maka sebagian
besar penumpang memilih untuk tidur di kapal motor. Nah, saya dan teman
se-berangkat-an jadi bingung mau gimana, tidur di kapal motor rasanya gak
sanggup, tapi takut ditinggal juga sama kapalnya kalo telat ke pelabuhan.
Untungnya, suami salah satu staff puskesmas yang adalah manusia paling kreatif,
inovatif, dan inspiratif sekota Kalabahi (tapi belle') langsung ngajak Om Yanto
si pemilik kapal untuk tidur di kamar kosan teman kami yang cowok.
"Langsung
pegang pemilik kapalnya," gitu katanya "kapal gak jalan kalo bosnya
gak ada."
Cerdas
memang manusia satu ini, hihihi ✌✌.
Masalah
1 selesai, lalu masalah kedua nongol. Karena saat itu adalah jadwal terakhir
kapal motor, dan semua orang ngejar untuk bisa Natal di kampung halaman, maka
penumpng kapal membludag..dag..dag. Kami yang duduk di geladak jadi sempit
banget, kaki gak bisa di luruskan trus gabung sama barang macam-macam di dalam,
mulai dari ransel, ayam, sound system,
beras, sampai orang sakit juga ada, pokoke kapal jadi full maksimal. Karena kapal sudah kelebihan muatan, beberapa karung
beras terpaksa diturunkan kembali untuk mengurangi muatan, sampai-sampai 2
teman kami juga ikutan gak melanjutkan perjalanan dengan alasan 'full banget'.
Nah, ininih yang gak sopan, Curly si manusia parno laut harus diperhadapkan
dengan kenyataan seperti itu, apalagi kapalnya sempat miring, belum lagi candaan
seorang penumpang yang ngomong sambil teriak jadi tambah bikin horror,
"Kalian
tidur saja, kalo kapal tenggelam kalian pikir ada yang mau bangunkan?"
"Kalian
jangan menumpuk semua di situ, ini kapal ada miring! Kalian bisa berenang
ko?"
Sepertinya
saya butuh bantuan tabung oksigen selama perjalanan, terlalu banyak hal yang
bikin bengek. Etapi tabung oksigen berat yah? Galon kosong aja deh, lumayan
pengganti pelampung, hehe.
Alhasil
kapal berangkat setengah lima yang setengah perjalanannya di lalui dengan
gelombang membabi buta di tengah perjalanan yang masih gelap dan hujan deras
pulak. Hampir gila deh melihat air laut sudah loncat-loncat aja masuk lewat
jendela dan pintu kiri kanan kapal, ditambah lagi air bocor pula dari atas, dan
anak buah kapal lagi sibuk keluarkan air dari kapal, perfect. Kata-kata "Yesus tolong" juga semakin banyak
bersahut-sahutan di dalam kapal. Yang mabok udah tidur lesu kek cucian abis
diperas, yang gak mabok mulai kunyah pinang entah untuk apa, mungkin
menghindari mabok laut. Pinang meenn. Tak ada pisau, gigi pun jadi, hehe.
Untungnya perjalanan bikin hipertensi yang berkolaborasi dengan gagal jantung tadi di balas dengan pemandangan luar biasa setelah saya tertidur dan bangun dengan kondisi laut sudah mulai bersahabat. Kalo kondisi air sudah tenang gini, lebih baik duduk di haluan kapal. As always, waktunya hunting foto, sekalian ngobrol sama Om Yanto, si pemilik kapal.
"Kalo
mabok tidak, Om. Hanya saya ngeri gelombangnya, bikin takut."
"Oo,
biasa itu. Kalo musim begini kadang lebih tinggi lagi gelombangnya sampai mesin
kapal di matikan di tengah laut."
"Astaga!
Saya tidak usah ke Kalabahi kalo begitu sampai selesai musim gelombang."
"Sekitar
bulan 4, Ibu."
Yawwlloohhhhhh
(telan ludah).
Satu
hal yang saya tunggu-tunggu setelah pengalaman pertama kali menggunakan kapal
motor adalah pemandangannya ituloh. Kalo kapal berangkat subuh dari Pelabuhan
Kalabahi, maka kalau sesuai jadwal sekitar jam 9 sudah sampai di daerah
pemandangan kece (saya masih belum tahu namanya). Kita akan disuguhi dengan
pemandangan perpaduan birunya laut dan hijaunya tanaman yang menyelimuti tebing
batu yang seakan tertanam langsung menuju laut biru (ini beneran biru tua yang
kece dan bikin adem).
Keceee parah. Kek langsung dihipnotis lihat
pemandangannya. Anak-anak yang sudah duluan duduk di kapal langsung komen, “gagah
e!'. Selain itu, kita bisa menikmati atraksi anak-anak di kampung pesisir yang
menangkap ikan dengan menggunakan sebatang bambu dengan cara melompat dari
tebing kemudian ikannya di tombak. Atau pemandangan warga kampung pesisir yang
sedang bermain sampan di tengah birunya laut.
Saya juga sempat melihat pemandangan sunrise dari atas perahu motor ketika
harus berangkat jam 12 malam dari Pelabuhan Kalabahi. Ituloh, karena gak bisa naik
ojek gegara perang suku jadi terpaksa naik kapal motor. Nahh, berdasarkan pengalaman
sebelumnya yang mana saya stress melihat air tumpeh-tumpeh ke dalam geladak
kapal jadi saya memilih untuk duduk di belakang nakhoda bersama beras dan bahan
makanan lain yang bertebaran manja di dalamnya.
Kata Om Yanto (lagi),
kalo berangkat jam segitu gak bakalan dapat gelombang karena kita jalannya
malam (dan dengar-dengar waktu
keberangkatan ini illegal karena mengambil jalur kapal lain yang harusnya lewat
jam segitu, ulala). Entahlah gelombangnya besar atau tidak, yang jelas saya gak
lihat air lompat-lompat lagi masuk kapal. Gantinya, punggung harus kepanasan
karena saya tidur tepat di atas posisi mesin. Daebak! Untungnya kami berangkat
malam jadi panas dari mesin lumayan bias menghangatkan tubuh. Konspirasi alam
semesta, hihi. Kembali ke pemandangan sunrise,
sekitar jam 5 saya terbangun dan sinar orange dari ujung timur sudah mulai
muncul plus siluet Pulau Timor yang terlihat lebih jelas. Kece banget mah, kita
bisa melihat daratan Timor, menurut Om Yanto itu adalah daerah Atambua
(perbatasan Indonesia-Timor Leste). Jadi dapat kesempatan untuk catching sunrise dehh.
Satu
lagi hal yang juga bikin sport jantung kalo naik kapal motor adalah, setibanya
di pelabuhan kalo air laut lagi surut, otomatis kapal gak bias sandar kan, nah
tebakk gimana cara ke daratan. Tidak di suruh berenang ke pinggir koq, tenang aja,
paling di jorokin ke laut. Haha gak lah. Jadi, kalo kondisinya air lagi surut
dan kapal tidak bisa bersandar, maka harus di sambung dengan naik sampan yang
kecilnya minta ampun itu. AS-TA-GA! Ini beneran sport jantungnya parah.
Jaraknya itu gak dekat loh, sekitar 10-20 meter dari bibir pantai dan kami
harus merasakan perjuangan ABK mengayuh sampan sampai ke bibir pantai, belum
lagi kalo di terjang ombak.
Tapi,
sampan yang kelihatan kecil ini sudah berpengalaman membawa barang-barang
seperti ransel, karung beras, bahkan sound
system pun pernah di transfer. Cara duduk di sampan juga beda, gak boleh
selonjoran, bersila, apalagi pake sofa karena gak ada sofa. Jadi caranya adalah
duduk bertelut atau berlutut gitu kalo kek lagi mau berdoa. Tapi, memang sudah
makan garam sih yah, jadi kami tiba di pantai tanpa kekurangan satu apapun, yaa
paling basah dikit. Tapi ini beneran bikin sport jantung lebih sering tarik
napas plus tahan napas. Hufftthhh.
Jadi
inilah salah satu moda transportasi yang saya kenal di daerah ini, Kapal Motor.
Pengalaman pertama saya naik perahu motor selama jadi NS ini agak-agak
memalukan karna untuk pertama kalinya saya harus nangis mewek dihadapkan
perjalanan luar biasa ekstrim seperti itu. Hehe, namanya juga manusia bukan
bidadari.
* * *
Itulah 3 transportasi yang harus bersahabat
dengan saya selama di penempatan terpencil ini. Kadang saya pikir, perjalanan
itu terlalu berat untuk di lalui tapi kalo focus sama capeknya, kapan kita
nikmati keindahannya kan? Perjalanan yang mungkin kelihatan berat banget
ini sebenarnya jika dinikmati bakalan menyenangkan juga. Pemandangan melewati
hutan lebat, pohon tumbang, tanjakan zig-zag, pesisir pantai, turunan curam
yang sukses bikin kaki tremor, gelombang laut yang bikin parno tambah gila,
sampan yang miringnya bikin jantung nyaris copot, jalanan tanah yang bikin
bokong tangan kram karena megang besi belakang motor sekian lama, dan semua
hal-hal melelahkan itu kalo dinikmati juga akan memperlihatkan sisi indahnya,
bukit teletubbies, eksotisnya hutan, dinding tebing terjal ke laut, padang
ilalang, sunrise kece, dan masih
banyak lagi sebagai balasannya. So, nikmati aja perjalanannya yah?
Inilah Alor, terkhusus Padang Alang. Orang-orangnya
ramah, transportasinya ekstrim, pemandangannya kece, kurang apa coba. Kurang
kamu sih, iyah kamu. :D
Padang Alang, 040118
0 komentar:
Posting Komentar