Rabu, 31 Januari 2018

KEDUKAAN DI PADANG ALANG

Pagi itu terlihat siswa SMP Padang Alang berombongan meninggalkan sekolah mereka sambil masing-masing membawa 1 ikat kayu api, sebutan mereka untuk kayu bakar. Ternyata siswa dan guru SMP akan pergi melayat dirumah seorang nenek yang meninggal kemarin pagi. Beginilah salah satu tradisi di Padang Alang, Kec. Alor Selatan, NTT. Sama halnya dengan siswa SMP. Siswa SD juga melakukan hal yang sama. Salah satu bentuk kebersamaan dan rasa berbagi duka yang khas di salah satu titik di negeri ini.

          Seluruh warga rasanya sudah datang melayat di rumah duka, kami pun yang bekerja di instansi pemerintah bidang kesehatan di dalam desa ini segera menuju ke rumah duka setelah melaksanakan apel pagi. Teman-teman pegawai Puskesmas membawa barang-barang berupa gula, kopi, dan the yang di masukkan ke dalam baskom lalu baskomnya di tutup menggunakan kain. Barang-barang tersebut merupakan hasil dari sumbangan pegawai Puskesmas lalu sisanya dimasukkan ke dalam amplop. Mungkin karena kondisinya pada saat itu hanya ada 1 laki-laki di Puskesmas sehingga bahan makanan tadi di bawa oleh teman-teman perempuan dan amplop di bawa oleh teman laki-laki.
Melayat bersama Staff Puskesmas Padang Alang
Sepanjang jalan menuju rumah duka, kami berpapasan dengan siswa SD & SMP yang ternyata sudah kembali dari rumah duka. Semakin dekat dengan rumah duka, warga yang berkumpul terlihat semakin banyak. Di sebuah rumah gudang dekat rumah duka, terlihat kerumunan warga yang ternyata sedang membuat peti mati dan memasang liang kubur yang sudah di semen.
            Memasuki pekarangan rumah duka, kami di sambut oleh keluarga yang menyalami kami satu persatu dan kami dipersilahkan memasuki kamar tempat almarhumah berbaring. Terlihat tubuh kaku almarhum terbaring di atas dipan dengan kain tenun khas NTT menutupi tubuhnya dan beberapa kain dilipat rapi di samping mayat. Kerabat dekat sudah duduk di sekeliling mayat sambil menggoyangkan sebuah tongkat berujung ikatan plastic putih di depan wajah mayat untuk mengusir lalat. Kami anak NS yang pada saat itu ada 4 orang ikut masuk duduk di dalam kamar sampai sumbangan duka di serahkan kepada keluarga. Setelah duduk sejenak, kami keluar dari kamar dan duduk di kursi yang sudah di susun di depan rumah sambil menikmati teh/kopi & penganan yang sudah disediakan keluarga. Selayaknya cara kami orang Toraja setiap kali melayat. Tiga puluh menit berselang, setelah menghabiskan minum & kue yang disediakan, kami kembali ke Puskesmas dan melaksanakan kegiatan seperti biasa. Melayani.
            Prosesi pemakaman akan langsung dilaksanakan sore itu. Menurut informasi dari teman-teman di desa ini, orang yang sudah meninggal tidak boleh terlalu lama di kubur, maksimal 2-3 hari maya sudah dikubur setelah meninggal, sehingga mayat nenek ini akan segera dikuburkan sore ini kareng menunggu anaknya kembali dari ibukota provinsi. Informasi yang kami dapatkan bahwa ibadah penguburan akan dilaksanakan pada jam 3 sore itu.
            Berpakaian hitam, kami menuju kembali ke rumah duka untuk mengikuti ibadah penguburan. Ketika tiba di rumah duka, sudah ada beberapa jemaat yang menempati kursi yang telah disediakan. Dari luar juga sudah terlihat peti mati diletakkan di ruang tamu rumah duka. Sebelum ibadah dimulai, ada beberapa acara yang dilaksanakan seperti ucapan belasungkawa dari pemerintah, ungkapan terima kasih dari keluarga, melayat terakhir di mana pelayat dapat melihat almarhum untuk terakhir kalinya sebelum peti di paku, pembacaan riwayat hidup almarhumah, dan kegiatan yang paling menguras emosi saya adalah ketika pei mati di paku. Suara paku seakan membuat saya flashback dengan beberapa penguburan keluarga paling emosional yang pernah saya ikuti sehingga pada prosesi tersebut air mata saya tidak dapat  dihentikan. Setelah prosesi dilaksanakan, maka dimulailah ibadah lalu penguburan.
Ibadah Penguburan
 Waktu menunjukkan sekitar pukul 5 sore ketika peti mati diangkat oleh para pemuda dari rumah duka menuju liang lahat yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Suasana berbeda dengan yang pernah saya alami ketika di kampung adalah pengangkatan peti jenasah dilakukan dalam keadaan diam, berbeda dengan di kampung saya yang mengarak jenasah sambil berteriak (Toraja: Meoli) dan melompat-lompat. Sesampainya di liang lahat, peti langsung dimasukkan bersama pakaian jenazah, ibadah terakhir lalu menutup liang lahat dengan semen. Pemandangan yang sangat berbeda dengan yang sering saya alami dimana dalam penguburan, jeritan tangis keluarga tidak pernah terelakkan. 
Prosesi Penguburan

Prosesi Pemakaman

Sementara liang di tutup, kami pikir kegiatan sudah selesai sehingga berencana untuk kembali ke rumah namun ternyata keluarga mengajak untuk kembali ke rumah duka untuk mengikuti ibadah ‘lepas kubur’ yaitu semacam ibadah penghiburan terakhir bagi keluarga yang ditinggalkan. Pelaksanaan Ibadah Lepas Kubur dilaksanakan tergantung keputusan keluarga, kadang dilaksanakan langsung setelah penguburan atau beberapa hari setelahnya. Kembali ke rumah duka dan kami disuguhkan dengan kopi dan penganan sebelum memulai ibadah lepas kubur. Karena waktu untuk Shalat Maghrib bertepatan dengan dimulainya ibadah, maka teman-teman kami yang beragama Muslim kembali ke rumah untuk melakukan ibadah sementara kami tinggal di rumah duka melanjutkan rangkaian kegiatan.
Ibadah penguburan berlangsung dalam gelap malam Desa Padang Alang yang dibantu dengan cahaya lampu dari genset. Bapak Pendeta menyampaikan Firman juga dibantu oleh senter yang sepertinya sudah mulai soak, arrgghh. Ibadah selesai dan dilanjutkan dengan jamuan makan dari keluarga yang dilaksanakan di Rumah Gudang, bangunan semacam saung beratap ilalang kering khas NTT dengan bagian atas sebagai gudang hasil panen dan bagian bawah seperti balai untuk berkumpul. Rumah Gudang ini tergolong rumah gudang yang besar di desa ini dan atapnya juga berbeda dengan rumah lainnya. Atapnya memiliki lambang berbentuk tangan dan tidak semua rumah gudang memiliki lambang tersebut.
Rumah Gudang di Padang Alang

 Makan malam di Rumah Gudang berlangsung dengan maknyus, hehehe. Keluarga menyediakan makanan ‘khusus’ dan makanan ‘umum’. Berhubung saya sudah lama tidak makan makanan ‘khusus’, jadi malam itu menjadi ajang pesta makan bagi saya, untung gak malu-maluin, hehehe. Makan malam selesai, kami pamit untuk kembali ke rumah, dengan (SEKALI LAGI) berjalan dalam kegelapan malam Padang Alang yang tanpa penerangan sedikit pun, ehh ada bintang ding. Sebenarnya acara masih lanjut dengan ‘Mete’ namun karena besok kami harus masuk kerja jadi kami gak jadi join. Mete adalah kegiatan khas NTT yaitu ajang bernyanyi dan berjoget sepanjang malam sampai subuh di rumah duka yang dilakukan oleh pemuda pemudi. Kegiatan ini dilaksanakan setelah penguburan atau selama ibadah ‘Lepas Kubur’ selesai dilaksanakan. Dan FYI, ‘Mete’ di rumah tersebut berlangsung sampai jam 5 pagi keesokan harinya. Daebak!!
So, kurang lebih seperti itulah kegiatan sehubungan dengan kedukaan di sebuah desa di Pedalaman NTT yang saya alami. Sebuah budaya yang mungkin berbeda dengan budaya saya, namun menjadi pengalaman yang luar biasa yang dapat saya alami. Saya semakin bangga bisa menjadi Puteri Bangsa ini dan semakin meyakini bahwa Indonesia itu kaya akan tradisi adat istiadat and many more.
Inilah sebagian kecil tentang desa kecil bernama Padang Alang. Tunggu kisah selanjutnya. Ciaooooo!

Padang Alang, 21 November 2017 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts