Pagi itu terlihat siswa SMP Padang Alang berombongan
meninggalkan sekolah mereka sambil masing-masing membawa 1 ikat kayu
api, sebutan mereka untuk kayu bakar. Ternyata siswa dan guru SMP akan pergi
melayat dirumah seorang nenek yang meninggal kemarin pagi. Beginilah salah satu
tradisi di Padang Alang, Kec. Alor Selatan, NTT. Sama halnya dengan siswa SMP.
Siswa SD juga melakukan hal yang sama. Salah satu bentuk kebersamaan dan rasa
berbagi duka yang khas di salah satu titik di negeri ini.
Seluruh
warga rasanya sudah datang melayat di rumah duka, kami pun yang bekerja di
instansi pemerintah bidang kesehatan di dalam desa ini segera menuju ke rumah
duka setelah melaksanakan apel pagi. Teman-teman pegawai Puskesmas membawa
barang-barang berupa gula, kopi, dan the yang di masukkan ke dalam baskom lalu
baskomnya di tutup menggunakan kain. Barang-barang tersebut merupakan hasil
dari sumbangan pegawai Puskesmas lalu sisanya dimasukkan ke dalam amplop.
Mungkin karena kondisinya pada saat itu hanya ada 1 laki-laki di Puskesmas
sehingga bahan makanan tadi di bawa oleh teman-teman perempuan dan amplop di
bawa oleh teman laki-laki.
Melayat bersama Staff Puskesmas Padang Alang |
Sepanjang jalan menuju rumah duka, kami berpapasan
dengan siswa SD & SMP yang ternyata sudah kembali dari rumah duka. Semakin
dekat dengan rumah duka, warga yang berkumpul terlihat semakin banyak. Di
sebuah rumah gudang dekat rumah duka, terlihat kerumunan warga yang ternyata
sedang membuat peti mati dan memasang liang kubur yang sudah di semen.
Memasuki
pekarangan rumah duka, kami di sambut oleh keluarga yang menyalami kami satu
persatu dan kami dipersilahkan memasuki kamar tempat almarhumah berbaring.
Terlihat tubuh kaku almarhum terbaring di atas dipan dengan kain tenun khas NTT
menutupi tubuhnya dan beberapa kain dilipat rapi di samping mayat. Kerabat
dekat sudah duduk di sekeliling mayat sambil menggoyangkan sebuah tongkat
berujung ikatan plastic putih di depan wajah mayat untuk mengusir lalat. Kami
anak NS yang pada saat itu ada 4 orang ikut masuk duduk di dalam kamar sampai
sumbangan duka di serahkan kepada keluarga. Setelah duduk sejenak, kami keluar
dari kamar dan duduk di kursi yang sudah di susun di depan rumah sambil
menikmati teh/kopi & penganan yang sudah disediakan keluarga. Selayaknya
cara kami orang Toraja setiap kali melayat. Tiga puluh menit berselang, setelah
menghabiskan minum & kue yang disediakan, kami kembali ke Puskesmas dan
melaksanakan kegiatan seperti biasa. Melayani.
Prosesi
pemakaman akan langsung dilaksanakan sore itu. Menurut informasi dari
teman-teman di desa ini, orang yang sudah meninggal tidak boleh terlalu lama di
kubur, maksimal 2-3 hari maya sudah dikubur setelah meninggal, sehingga mayat
nenek ini akan segera dikuburkan sore ini kareng menunggu anaknya kembali dari
ibukota provinsi. Informasi yang kami dapatkan bahwa ibadah penguburan akan
dilaksanakan pada jam 3 sore itu.
Berpakaian
hitam, kami menuju kembali ke rumah duka untuk mengikuti ibadah penguburan.
Ketika tiba di rumah duka, sudah ada beberapa jemaat yang menempati kursi yang
telah disediakan. Dari luar juga sudah terlihat peti mati diletakkan di ruang
tamu rumah duka. Sebelum ibadah dimulai, ada beberapa acara yang dilaksanakan
seperti ucapan belasungkawa dari pemerintah, ungkapan terima kasih dari
keluarga, melayat terakhir di mana pelayat dapat melihat almarhum untuk
terakhir kalinya sebelum peti di paku, pembacaan riwayat hidup almarhumah, dan
kegiatan yang paling menguras emosi saya adalah ketika pei mati di paku. Suara
paku seakan membuat saya flashback dengan beberapa penguburan keluarga paling
emosional yang pernah saya ikuti sehingga pada prosesi tersebut air mata saya
tidak dapat dihentikan. Setelah prosesi
dilaksanakan, maka dimulailah ibadah lalu penguburan.
Ibadah Penguburan |
Prosesi Penguburan |
Prosesi Pemakaman |
Sementara liang di tutup, kami pikir
kegiatan sudah selesai sehingga berencana untuk kembali ke rumah namun ternyata
keluarga mengajak untuk kembali ke rumah duka untuk mengikuti ibadah ‘lepas
kubur’ yaitu semacam ibadah penghiburan terakhir bagi keluarga yang
ditinggalkan. Pelaksanaan Ibadah Lepas Kubur dilaksanakan tergantung keputusan
keluarga, kadang dilaksanakan langsung setelah penguburan atau beberapa hari
setelahnya. Kembali ke rumah duka dan kami disuguhkan dengan kopi dan penganan
sebelum memulai ibadah lepas kubur. Karena waktu untuk Shalat Maghrib
bertepatan dengan dimulainya ibadah, maka teman-teman kami yang beragama Muslim
kembali ke rumah untuk melakukan ibadah sementara kami tinggal di rumah duka
melanjutkan rangkaian kegiatan.
Ibadah penguburan berlangsung dalam
gelap malam Desa Padang Alang yang dibantu dengan cahaya lampu dari genset.
Bapak Pendeta menyampaikan Firman juga dibantu oleh senter yang sepertinya
sudah mulai soak, arrgghh. Ibadah selesai dan dilanjutkan dengan jamuan makan
dari keluarga yang dilaksanakan di Rumah Gudang, bangunan semacam saung beratap
ilalang kering khas NTT dengan bagian atas sebagai gudang hasil panen dan
bagian bawah seperti balai untuk berkumpul. Rumah Gudang ini tergolong rumah
gudang yang besar di desa ini dan atapnya juga berbeda dengan rumah lainnya.
Atapnya memiliki lambang berbentuk tangan dan tidak semua rumah gudang memiliki
lambang tersebut.
Rumah Gudang di Padang Alang |
Makan
malam di Rumah Gudang berlangsung dengan maknyus, hehehe. Keluarga menyediakan
makanan ‘khusus’ dan makanan ‘umum’. Berhubung saya sudah lama tidak makan
makanan ‘khusus’, jadi malam itu menjadi ajang pesta makan bagi saya, untung
gak malu-maluin, hehehe. Makan malam selesai, kami pamit untuk kembali ke
rumah, dengan (SEKALI LAGI) berjalan dalam kegelapan malam Padang Alang yang
tanpa penerangan sedikit pun, ehh ada bintang ding. Sebenarnya acara masih
lanjut dengan ‘Mete’ namun karena besok kami harus masuk kerja jadi kami gak
jadi join. Mete adalah kegiatan khas
NTT yaitu ajang bernyanyi dan berjoget sepanjang malam sampai subuh di rumah
duka yang dilakukan oleh pemuda pemudi. Kegiatan ini dilaksanakan setelah
penguburan atau selama ibadah ‘Lepas Kubur’ selesai dilaksanakan. Dan FYI,
‘Mete’ di rumah tersebut berlangsung sampai jam 5 pagi keesokan harinya.
Daebak!!
So, kurang lebih seperti itulah kegiatan
sehubungan dengan kedukaan di sebuah desa di Pedalaman NTT yang saya alami.
Sebuah budaya yang mungkin berbeda dengan budaya saya, namun menjadi pengalaman
yang luar biasa yang dapat saya alami. Saya semakin bangga bisa menjadi Puteri
Bangsa ini dan semakin meyakini bahwa Indonesia itu kaya akan tradisi adat
istiadat and many more.
Inilah sebagian kecil tentang desa kecil
bernama Padang Alang. Tunggu kisah selanjutnya. Ciaooooo!
Padang Alang, 21 November 2017
0 komentar:
Posting Komentar