Sabtu, 29 Oktober 2016

BANDARA DAN PESAWAT : Makna Sebuah Perjalanan

Anu     : Kamu udah libur lagi? Cepatnya.
Ane     : Iyah, aku kan jadwal kerjanya 8 : 2. Tiap 8 minggu kerja dapat jatah libur 2 minggu.
Anu     : Waww. Enak dong yah?
Ane     : Liburnya enak, kerjanya yaaa gitu deh. Lagian aku kerjanya kan senin sampe Minggu
Anu     : Ya tetep aja enak, bisa sering-sering pulang. Daripada kita cuma sehari liburnya.
Ane     : (sambil nyengir kuda nahan boker) iya aja deh (dalam hati: “kamu gak tau aja gimana tertekannya di lokasi, jadi libur segitu udah wajarlah, kurang malahan”)

Kalian yang baca percakapan di atas pasti juga berpikir bahwa kerjaan saya enak karena liburnya setiap 2 bulan kan? Saya gak heran sih, soalnya setiap pulkam (red: pulang kampung) pasti tanggapan orang lain yang bertanya kepada saya mengenai jadwal kerja akan sama seperti di atas, kecuali mungkin yang pernah merasakan atau minimal memiliki keluarga dekat yang bekerja di lokasi, utamanya seperti tambang dan Oil & Gas. Setiap pulang, saya harus ngurut dada setiap kali ada pertanyaan dan tanggapan seperti itu (pengennya sih langsung sewa tukang urut yah). Bilangnya yaudahlah, diIYAkan saja. Padahal dalam hati teriak, “Hellaawwww. Liburnya emang enak, tapi bayangkan kerjaannya men. Kamu harus berada di lokasi selama 8 minggu berturut-turut dengan jadwal kerja Senin – Minggu, dengan keadaan karyawan yang luar biasa gak bisa di defenisikan, dengan ketemu orang-orang yang sama terus, dengan berbagai tuntutan klien dan atasan, plus anak buah yang susah dikasi tau. Rasain dulu baru kamu bisa bilang libur 2 minggu itu enak apa tidak.” Hufftthh, demikianlah Curahan Hati Seorang Karyawan Lokasi (CHSKL), jadi sinetron bisa kali yah. Saya siap jadi pemeran utamanya koq (kalo pengen semua penontonnya langsung muntah sih pas lagi nonton, hihihi).
Saya seorang karyawan sebuah perusahaan jasa yang berlokasi kerja di daerah eksplorasi. Nah, berdasarkan PERMEN No. 15 Th. 2005 Tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Pertambangan Umum pada Daerah Operasi Tertentu Pasal 2 ayat 1(b) mengatakan  “periode kerja  maksimal 10 (sepuluh) minggu berturut-turut bekerja, dengan 2 (dua) minggu berturut-turut istirahat, dan setiap 2 (dua) minggu dalam periode kerja diberikan 1 (satu) hari istirahat”. Hadeuh, mainannya sekarang sama Peraturan Pemerintah yah?? Hihi. Saya rasa sudah jelas yah kenapa tiap 2 bulan saya menginjakkan kaki di tanah kelahiran alias setor muka ke mamak sama bapak alias mengobati rindu, walaupun sering juga kurang dari seminggu di rumah. Hehehe.
Jadwal kerja seperti ini secara tidak langsung ‘memaksa’ saya menjadi seseorang yang terbiasa dengan berbagai alat transportasi, entah itu darat, laut, maupun udara. Artinya bahwa saya sering melakukan travelling. Travelling itu bukan hanya jalan-jalan loh yah. Travelling adalah kegiatan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan kerja, rekreasi, ataupun liburan. Yeah. That’s what I do every 2 months. Apalagi biaya trasportasi dibayarkan perusahaan jadi sayang aja kalo gak dimanfaatkan, gak di pake juga gak bisa diuangkan, jadi inilah saya, mencoba menikmati setiap perjalanan yang saya lalui.
Sehubungan lokasi kerja saya berbeda pulau dengan kampung halaman maka salah satu transportasi yang paling sering saya gunakan untuk menyebrangi pulau adalah pesawat, yang artinya akan sering-sering mengunjungi bandara (kata-kata Rangga langsung menari di otak, “kita terpisahkan oleh bandara dan udara” eeaaa). Pesawat menjadi salah satu transportasi favorit saya karena tidak adanya asap rokok yang lalu lalang di dalam (kedua setelah bus kece di Toraja dong, yang kursinya bahkan lebih nyaman dari pesawat). Menggunakan pesawat adalah salah satu impian saya sejak kecil. Membayangkan bagaimana rasanya terbang menggunakan pesawat adalah hal yang menyenangkan. Bahkan, saat ada kerabat yang sudah bepergian menggunakan pesawat, saya sudah merasa bahwa mereka itu cool banget, hehehe. Akhirnya kesampaian juga saya naik pesawat, bahkan setahun bisa selusin kali saya ‘menjenguk’ bandara dan menaiki pesawat, apalagi kalo saya lagi pengen memanjangkan kaki ke daerah lain sekedar untuk liburan singkat. Welcome holiday!! Ehh, holiday masiih lama yah, fokusss.
Sunrise on Ngurah Rai Airport

Bagi saya, bandara adalah suatu tempat umum yang memiliki kekuatan magis dimana di sanalah pintu gerbang kamu akan ‘berpisah’ untuk sementara dengan daratan, tempat kamu berpijak selama ini. Bagi saya, bandara menjadi saksi bisu atas berbagai kejadian antimainstream yang saya alami sebelum naik pesawat. Misalnya, awal-awal kerja dulu setiap kali ke bandara, pasti gak pernah absen untuk jogging, selain karena saya suka olahraga jogging jadi kapanpun dan dimanapun bisa dilakukan, alasan lainnya juga adalah biar gak ketinggalan pesawat, hehehe, kebiasaan ngaret sih. Yahh, walaupun kadang ujung-ujungnya pesawatnya di delay juga sih, jadi tetap aja masih nunggu. Beberapa bandara menjadi saksi bisu lari-lari saya. Bandara Sepinggan Balikpapan misalnya, menjadi saksi saat saya adalah orang yang check in paling terakhir karena telat tiba di bandara sehingga harus memohon kepada petugas check in supaya masih bisa masuk pesawat, dan akhirnya, berhasil..berhasil...berhasil hore (!!!), yang setelah itu kemampuan lari dipertaruhkan dengan lari sekuat hati dan tenaga ke gate paling ujung sambil membawa tentengan kanan kiri (adegan Cinta banget gak sih??). Bandara Hasanuddin menjadi saksi bisu saya lari-lari dari gate ujung pukul ujung karena perubahan gate secara tiba-tiba (cinta datang kepadakku, ehh), atau ketemu orang yang salah gate sampai harus mengumpat sepenuh hati karena ternyata dia udah hampir ketinggalan pesawat dan harus lari-lari lagi ke gate ujung dengan tentengan banyak banget (gue bangeett), atau udah standby di bandara dari jam 05.30 padahal flightnya 10.10 karena kapok nanti lari-lari lagi. Bandara Syamsudin Noor Banjarbaru misalnya, menjadi saksi untuk pertama kalinya saya menggunakan pesawat kecil (yg dipesankan kantor) dan pada saat yang sama harus menerima berita bahwa pesawatnya akan ditunda penerbangannya selama 2 jam, mana transit lagi pesawatnya, dan petugas pesawatnya masih sempat nanya, “gimana mba? Gapapa kan?” dan saya menjawab dengan muka TERPAKSA dimanis-maniskan sambil bilang “iyah gapapa,” padahal dalam hati teriak, “menurut loe??? Emang saya mau gimana lagi kalo penerbangannya udah di tunda??”. Sementara itu, Bandara Juanda Surabaya  memiliki pengalaman antimainstreamnya sendiri dimana saat itu, pagi-pagi benar saat matahari belum terbit (tepatnya berangkat jam 4 karena penerbangan pertama pkl 05.30), saya udah tiba di bandara di antar oleh supir anjem (baca: antar jemput) teman, tapi karena keasyikan ngobrol dan di berikan petuah, akhirnya harus lari-lari juga ke gate lantai 2 paling ujung. Kejadian antimainstream paling parah sampai saat ini yang saya alami di bandara adalah pada saat di Bandara Ngurah Rai Bali, habis liburan saya akan kembali ke Makassar dan harus menerima kenyataan bahwa saya ketinggalan pesawat, sekali lagi sodara-sodara, SAYA KETINGGALAN PESAWAT, karena alasan konyol yaitu saya pergi nonton dulu di XXI dan saya tiba di tempat check in 10 menit setelah check in di tutup. Meeennnn, gila aja kan. First time on my life ditinggalkan pesawat, kacau banget rasanya, makanya kamu jangan ninggalin aku yah *ehh. Sialnya lagi, saat itu tiket pesawat yang saya beli 3 kali lipat harga normal karena saya harus pulang hari itu dan saya beli tiketnya beberapa jam sebelum berangkat, dan itu hangus begitu saja tanpa meninggalkan bekas bahkan debu juga gak ada, rugi bandar meennn. Tapi sejak saat itu saya sudah kapok telat ke bandara, saya bersyukur aja bisa mendapatkan pengalaman seperti itu. Travelling give us so much experience, right?
Keseringan bepergian juga membuat saya harus berani mengambil keputusan-keputusan kecil yang dulu gak pernah terpikirkan. Memutuskan, untuk nunggu waktu check in yang kadang masih lama, apakah saya harus nginap di rumah keluarga yang dekat bandara, atau ke penginapan murah sekitar bandara, atau menunggu di kantor travel dengan resiko gak bisa tidur, atau mau langsung ke bandara aja (dengan resiko gak bisa tidur juga, hehehe). Memutuskan harus makan di mana, makan apa, harus pake baju apa biar ga rempong, harus menyusun pakean sedemikian rupa ke dalam tas biar gak terlalu banyak bawaan di bandara, dan banyaaakkk lagi. Namun keputusan paling luar biasa yang saya ambil sampai saat ini sehubungan dengan pengalaman travelling saya adalah, harus menerima kenyataan ditinggal pesawat di Bali dan harus mengambil keputusan nginap di hotel teman atau cari hotel dekat bandara. Panik iyah. Sambil duduk di lantai bandara bersama beberapa orang yang sepertinya ketinggalan pesawat juga (bedanya mereka bertiga, lah saya sendirii, di kampung orang pula), akhirnya saya memutuskan untuk mencari hotel sesuai harga kantong di dekat bandara, dan mengurung diri seharian demi untuk merenungi nasib. Hahaha. What a life! Hal simple seperti itu yang gak pernah saya dapat sebelumnya dan bersyukur bisa saya dapatkan saat travelling.

A teenager girl who travel alone from Banjar to Lombok
Kabin pesawat juga memiliki kisah tersendiri selama pengalaman perjalanan saya. Bepergian artinya kamu akan bertemu dengan orang lain, mengenal budaya lain, mengenal kebiasaan lain, dan membuat dirimu terbiasa untuk memilih jenis interaksi apa yang sebaiknya kamu terapkan saat bertemu orang asing. Seperti kata Ika Natassa dalam novelnya yang berjudul ‘Critical Eleven’, “Travel is a remarkable thing, right? Di pesawat, di bus, di kereta api, berjalan kaki, it somehow brings you to a whole other dimension more than just the physical destination. It’s the simple chance of reinventing ourselves at new place where we are nobody but a stranger.” Kamu akan bertemu orang asing yang akan menjadi orang terdekatmu, literally, selama 1-2 jam kedepan sampai akhirnya kamu tiba kembali menapakkan kaki di tanah (kuntilanak kali ahh). Sebelum naik pesawat atau selagi menunggu pesawat, kadang saya berpikir, “siapa lagi penghuni kursi sebelah saya nanti?”. Apakah sekelompok pemuda yang lagi liburan bareng? Atau seorang anak SMA yang sedang travelling sendiri? Atau sebuah keluarga kecil dengan anak cewek yang cerewet sepanjang perjalanan? Atau bapak-bapak yang sedang dalam perjalanan dinas dan ternyata satu kampung dengan kita? Atau om-om genit yang ngajak ngobrol dan ujung-ujungnya ngajak pulang bareng? Atau mungkin seorang pemuda yang dari take off sampai landing hanya mengunjungi alam mimpi alias tidur? Yeahhh, I ever felt all of that. Kejadian paling horror yaa ‘om-om genit’ itu, eeuuhhhh. Disini saya belajar untuk membangun komunikasi dengan mereka, tapi juga tetap self protection, apalagi saya seorang perempuan yang kemungkinan mengalami tindakan kejahatan di alat transportasi umum lebih besar dibandingkan laki-laki. Cemumuthhhh wanita!!!  Be setronggg.
"Mommy, where are we going??" ask the kid.
Melakukan penerbangan juga artinya kamu akan siap dengan segudang pesan masuk di handphone setelah beberapa jam dinonaktifkan sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan. Masih dari buku Ika Natassa mengatakan bahwa “Travel is deciding who will be the last call before you take off and the first call after you landed” (Maapkan yah, saya masih belum move on dari buku kece ini, yang bicara juga tentang travelling). Iyuhuuuu, hal ini yang paling sering saya alami soalnya, utamanya dari the one and only mamak that too much worry about doing travelling, apalagi kalo anaknya yang jadi pemeran utamanya, hahaha. Jadi pernah sekali yah, pesawat udah parkir dengan benar, saya udah mengatakan “Terima kasih Tuhan atas penyertaan-Mu selama perjalanan”, udah siap-siap turun pesawat, saya aktifkan HP, and tadaaaaaa, sedetik kemudian dia bordering dan bergetar dan ada tulisan MAMAK di layarnya. Ohhhmegatt, beneran kuat yah feeling seorang ibu. Emejing kan mamak saya? Salah satu bentuk perhatiannya adalah kekhawatirannya kepada kami, hihihi.
Saya lumayan suka jepret-jepret (pengen bilang suka fotografi tapi belum se-expert itu, aku mah apa atuh) dan salah satu tempat photogenic yang saya sukai (selain pasar, jalanan, dan langit) adalah di bandara dan pesawat. Entah kenapa bandara dan pesawat selalu kelihatan indah di mata saya, dan selalu ingin saya masukkan ke galeri saya (IG itu udah termasuk galeri kan??). Mungkin karena jarang ditemui atau gimana, tapi setiap kali ke tempat tersebut bawaannya selalu pengen mengambil foto, dan buat caption “dipisahkan oleh bandara dan udara” *ehhh tuh kan masih belum move on dari Rangga AADC 2. Selain konstruksi bangunannya yang kece, atau pesawatnya yang kece minta di foto banget, satu hal yang membuat saya suka jepret-jepret di bandara adalah ‘kelakuan’ calon penumpang pesawat yang kadang lucu untuk diperhatikan. Entah itu mereka sedang dengar music, duduk di lantai ruang tunggu, telponan sambil memberi laporan ke lawan bicaranya, ngemil, ngurusin pekerjaan di handphone, atau malah bengong melihat kelakuan orang yang sudah nyaring ketinggalan pesawat di sampingnya. Lucu aja untuk diperhatikan, dan pasti otak langsung teriak, “foto!! Foto cepetan!!” Hehh!! 
Penampakan di Bandara Syamsuddin Noor Banjarbaru

Last but not least, I wanna say thatTraveling is about waiting”. Kalo quote ini murni dari otak saya loh yah. Percaya aja yah, biar saya kelihatan bisa mikir gitu, hehe. Yeahh. Travelling itu memang tentang menunggu, bagaimana kamu sabar menunggu pesawat, menunggu bus, menunggu apapun itu, daannnn yang paling penting adalah apa yang kamu bisa lakukan untuk mengisi waktu-waktu kosong itu. Mungkin ada yang telpon pacar (ciee), telpon ortu (anak baik biasa kek gini), telpon teman (biasanya ini ngegosip), ngupil (kalo ada yg gini, kelaut aja lu gak usah terbang), ngemil, becanda bareng anak, ngobrol dengan orang di samping (PDKT mungkin), tidur-tiduran, atau  bahkan bengong (ini tidak disarankan karena berpotensi menyebabkan kesurupan). Saya memiliki cara tersendiri untuk mengisi kekosongan hati ini, ehh maksudnya kekosongan waktu sselama menunggu (kamu), *ehh ahhsudahlahh. Karena saya gak punya pacar jadi gak mungkin telponan sama pacar dan gak mungkin gangguin pacar orang karena saya belum berpengalaman dalam hal tikung-menikung jadilah saya mengisi waktu menunggu dengan membaca buku, bukan membaca pikiran kamu yahh. Alasan lain saya membaca buku di bandara adalah because I think it was cool (maksudnya cool-tu buku. Hehehe). Kesannya itu, “menemukan diam dalam bising” (quote dalam Novel Petir by Dee Lestari). Walaupun bising, tapi sebenarnya gak bising-bising banget, apalagi kalo bandara kecil. Selain itu tempatnya yang adem emang bikin betah untuk baca. Intinya adalah, bagaimana kita memanfaatkan waktu menunggu kita dengan hal berguna, misalnya untuk meng-upgrade diri sendiri.
Reading is a best way for waiting


Begitu banyak hal yang bisa saya pelajari berawal dari bandara dan pesawat. Hal yang setahun belakangan ini menjadi teman saya tiap 2 bulan. Simple, tapi sebenarnya mengajarkan begitu banyak hal. And I am so thankfull buat buku Ika Natassa yang melalui bukunya yang berjudul Critical Eleven yang memberikan inspirasi untuk kembali mengunjungi blog ini setelah sebulan dicuekin. Mata saya terbuka mengenai makna sebuah perjalanan berawal dari bandara dan pesawat. So, saya mencoba belajar dari hal-hal simple, dan ternyata hal simple itu sebenarnya berpengaruh bagi kehidupan kita. Mencoba mempelajari hal-hal baru, dan membagikan apa yang bisa saya bagikan, tapi kalo hati saya gak bisa di bagi-bagi, cukup untuk kamu seorang. Ehhh, apacihhh. Mulai ngawur deh.
Okehh, sekian tulisan saya tentang bandara dan pesawat. Just leave a comment or suggest about my post or by e-mail on ekaismaliliany@gmail.com , karena saya mencoba terbuka dengan setiap masukan dan kritikan. Tapi kalo tanya perasaan ku jangan lewat komen yah. Ahhhhsudahlah, STOP IT!! J
Thanks for reading. Bye!

Dahai 291016


3 komentar:

  1. Curlytozz..aku padamu..wkwkwkwkkk

    Ciee..yg promosi :p

    BalasHapus
  2. baru sempat ku baca....ehhmmmm lumayan la hahah

    BalasHapus
  3. baru sempat ku baca....ehhmmmm lumayan la hahah

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts