Anu :
Kamu udah libur lagi? Cepatnya.
Ane :
Iyah, aku kan jadwal kerjanya 8 : 2. Tiap 8 minggu kerja dapat jatah libur 2
minggu.
Anu :
Waww. Enak dong yah?
Ane : Liburnya enak, kerjanya yaaa gitu deh.
Lagian aku kerjanya kan senin sampe Minggu
Anu :
Ya tetep aja enak, bisa sering-sering pulang. Daripada kita cuma sehari
liburnya.
Ane : (sambil nyengir kuda nahan boker) iya aja
deh (dalam hati: “kamu gak tau aja gimana tertekannya di lokasi, jadi libur
segitu udah wajarlah, kurang malahan”)
Kalian yang baca percakapan di atas pasti juga
berpikir bahwa kerjaan saya enak karena liburnya setiap 2 bulan kan? Saya gak
heran sih, soalnya setiap pulkam (red: pulang kampung) pasti tanggapan orang
lain yang bertanya kepada saya mengenai jadwal kerja akan sama seperti di atas,
kecuali mungkin yang pernah merasakan atau minimal memiliki keluarga dekat yang
bekerja di lokasi, utamanya seperti tambang dan Oil & Gas. Setiap pulang, saya harus ngurut dada setiap kali
ada pertanyaan dan tanggapan seperti itu (pengennya sih langsung sewa tukang
urut yah). Bilangnya yaudahlah, diIYAkan saja. Padahal dalam hati teriak, “Hellaawwww.
Liburnya emang enak, tapi bayangkan kerjaannya men. Kamu harus berada di lokasi
selama 8 minggu berturut-turut dengan jadwal kerja Senin – Minggu, dengan keadaan
karyawan yang luar biasa gak bisa di defenisikan, dengan ketemu orang-orang yang
sama terus, dengan berbagai tuntutan klien dan atasan, plus anak buah yang
susah dikasi tau. Rasain dulu baru kamu bisa bilang libur 2 minggu itu enak apa
tidak.” Hufftthh, demikianlah Curahan Hati Seorang Karyawan Lokasi (CHSKL), jadi
sinetron bisa kali yah. Saya siap jadi pemeran utamanya koq (kalo pengen semua
penontonnya langsung muntah sih pas lagi nonton, hihihi).
Saya seorang karyawan sebuah perusahaan jasa
yang berlokasi kerja di daerah eksplorasi. Nah, berdasarkan PERMEN No. 15 Th.
2005 Tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Pertambangan Umum pada
Daerah Operasi Tertentu Pasal 2 ayat 1(b) mengatakan “periode kerja maksimal 10 (sepuluh) minggu berturut-turut
bekerja, dengan 2 (dua) minggu berturut-turut istirahat, dan setiap 2 (dua) minggu dalam
periode kerja diberikan 1 (satu) hari istirahat”. Hadeuh, mainannya sekarang
sama Peraturan Pemerintah yah?? Hihi. Saya rasa sudah jelas yah kenapa tiap 2
bulan saya menginjakkan kaki di tanah kelahiran alias setor muka ke mamak sama
bapak alias mengobati rindu, walaupun sering juga kurang dari seminggu di
rumah. Hehehe.
Jadwal kerja seperti
ini secara tidak langsung ‘memaksa’ saya menjadi seseorang yang terbiasa dengan
berbagai alat transportasi, entah itu darat, laut, maupun udara. Artinya bahwa
saya sering melakukan travelling. Travelling itu bukan hanya jalan-jalan
loh yah. Travelling adalah kegiatan berpindah
dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan kerja, rekreasi, ataupun liburan.
Yeah. That’s what I do every 2 months.
Apalagi biaya trasportasi dibayarkan perusahaan jadi sayang aja kalo gak
dimanfaatkan, gak di pake juga gak bisa diuangkan, jadi inilah saya, mencoba
menikmati setiap perjalanan yang saya lalui.
Sehubungan lokasi
kerja saya berbeda pulau dengan kampung halaman maka salah satu transportasi
yang paling sering saya gunakan untuk menyebrangi pulau adalah pesawat, yang
artinya akan sering-sering mengunjungi bandara (kata-kata Rangga langsung
menari di otak, “kita terpisahkan oleh bandara dan udara” eeaaa). Pesawat menjadi
salah satu transportasi favorit saya karena tidak adanya asap rokok yang lalu
lalang di dalam (kedua setelah bus kece di Toraja dong, yang kursinya bahkan
lebih nyaman dari pesawat). Menggunakan pesawat adalah salah satu impian saya
sejak kecil. Membayangkan bagaimana rasanya terbang menggunakan pesawat adalah
hal yang menyenangkan. Bahkan, saat ada kerabat yang sudah bepergian
menggunakan pesawat, saya sudah merasa bahwa mereka itu cool banget, hehehe. Akhirnya kesampaian juga saya naik pesawat,
bahkan setahun bisa selusin kali saya ‘menjenguk’ bandara dan menaiki pesawat,
apalagi kalo saya lagi pengen memanjangkan kaki ke daerah lain sekedar untuk
liburan singkat. Welcome holiday!! Ehh,
holiday masiih lama yah, fokusss.
Sunrise on Ngurah Rai Airport |
Bagi saya, bandara
adalah suatu tempat umum yang memiliki kekuatan magis dimana di sanalah pintu
gerbang kamu akan ‘berpisah’ untuk sementara dengan daratan, tempat kamu
berpijak selama ini. Bagi saya, bandara menjadi saksi bisu atas berbagai
kejadian antimainstream yang saya alami sebelum naik pesawat. Misalnya, awal-awal
kerja dulu setiap kali ke bandara, pasti gak pernah absen untuk jogging, selain karena saya suka
olahraga jogging jadi kapanpun dan
dimanapun bisa dilakukan, alasan lainnya juga adalah biar gak ketinggalan
pesawat, hehehe, kebiasaan ngaret sih. Yahh, walaupun kadang ujung-ujungnya
pesawatnya di delay juga sih, jadi
tetap aja masih nunggu. Beberapa bandara menjadi saksi bisu lari-lari saya. Bandara
Sepinggan Balikpapan misalnya, menjadi saksi saat saya adalah orang yang check in paling terakhir karena telat
tiba di bandara sehingga harus memohon kepada petugas check in supaya masih bisa masuk pesawat, dan akhirnya,
berhasil..berhasil...berhasil hore (!!!), yang setelah itu kemampuan lari
dipertaruhkan dengan lari sekuat hati dan tenaga ke gate paling ujung sambil membawa tentengan kanan kiri (adegan Cinta
banget gak sih??). Bandara Hasanuddin menjadi saksi bisu saya lari-lari dari
gate ujung pukul ujung karena perubahan gate secara tiba-tiba (cinta datang
kepadakku, ehh), atau ketemu orang yang salah gate sampai harus mengumpat sepenuh hati karena ternyata dia udah
hampir ketinggalan pesawat dan harus lari-lari lagi ke gate ujung dengan tentengan banyak banget (gue bangeett), atau udah
standby di bandara dari jam 05.30
padahal flightnya 10.10 karena kapok nanti lari-lari lagi. Bandara Syamsudin
Noor Banjarbaru misalnya, menjadi saksi untuk pertama kalinya saya menggunakan
pesawat kecil (yg dipesankan kantor) dan pada saat yang sama harus menerima
berita bahwa pesawatnya akan ditunda penerbangannya selama 2 jam, mana transit
lagi pesawatnya, dan petugas pesawatnya masih sempat nanya, “gimana mba? Gapapa
kan?” dan saya menjawab dengan muka TERPAKSA dimanis-maniskan sambil bilang
“iyah gapapa,” padahal dalam hati teriak, “menurut loe??? Emang saya mau gimana
lagi kalo penerbangannya udah di tunda??”. Sementara itu, Bandara Juanda
Surabaya memiliki pengalaman antimainstreamnya
sendiri dimana saat itu, pagi-pagi benar saat matahari belum terbit (tepatnya
berangkat jam 4 karena penerbangan pertama pkl 05.30), saya udah tiba di
bandara di antar oleh supir anjem (baca: antar jemput) teman, tapi karena
keasyikan ngobrol dan di berikan petuah, akhirnya harus lari-lari juga ke gate lantai 2 paling ujung. Kejadian
antimainstream paling parah sampai saat ini yang saya alami di bandara adalah
pada saat di Bandara Ngurah Rai Bali, habis liburan saya akan kembali ke
Makassar dan harus menerima kenyataan bahwa saya ketinggalan pesawat, sekali
lagi sodara-sodara, SAYA KETINGGALAN PESAWAT, karena alasan konyol yaitu saya
pergi nonton dulu di XXI dan saya tiba di tempat check in 10 menit setelah check
in di tutup. Meeennnn, gila aja kan. First
time on my life ditinggalkan pesawat, kacau banget rasanya, makanya kamu
jangan ninggalin aku yah *ehh. Sialnya lagi, saat itu tiket pesawat yang saya
beli 3 kali lipat harga normal karena saya harus pulang hari itu dan saya beli
tiketnya beberapa jam sebelum berangkat, dan itu hangus begitu saja tanpa
meninggalkan bekas bahkan debu juga gak ada, rugi bandar meennn. Tapi sejak
saat itu saya sudah kapok telat ke bandara, saya bersyukur aja bisa mendapatkan
pengalaman seperti itu. Travelling give
us so much experience, right?
Keseringan bepergian
juga membuat saya harus berani mengambil keputusan-keputusan kecil yang dulu
gak pernah terpikirkan. Memutuskan, untuk nunggu waktu check in yang kadang masih lama, apakah saya harus nginap di rumah
keluarga yang dekat bandara, atau ke penginapan murah sekitar bandara, atau
menunggu di kantor travel dengan resiko gak bisa tidur, atau mau langsung ke
bandara aja (dengan resiko gak bisa tidur juga, hehehe). Memutuskan harus makan
di mana, makan apa, harus pake baju apa biar ga rempong, harus menyusun pakean
sedemikian rupa ke dalam tas biar gak terlalu banyak bawaan di bandara, dan
banyaaakkk lagi. Namun keputusan paling luar biasa yang saya ambil sampai saat
ini sehubungan dengan pengalaman travelling saya adalah, harus menerima
kenyataan ditinggal pesawat di Bali dan harus mengambil keputusan nginap di
hotel teman atau cari hotel dekat bandara. Panik iyah. Sambil duduk di lantai
bandara bersama beberapa orang yang sepertinya ketinggalan pesawat juga
(bedanya mereka bertiga, lah saya sendirii, di kampung orang pula), akhirnya
saya memutuskan untuk mencari hotel sesuai harga kantong di dekat bandara, dan
mengurung diri seharian demi untuk merenungi nasib. Hahaha. What a life! Hal simple seperti itu yang
gak pernah saya dapat sebelumnya dan bersyukur bisa saya dapatkan saat
travelling.
A teenager girl who travel alone from Banjar to Lombok |
![]() |
"Mommy, where are we going??" ask the kid. |
Melakukan penerbangan
juga artinya kamu akan siap dengan segudang pesan masuk di handphone setelah beberapa jam dinonaktifkan sesuai dengan
peraturan keselamatan penerbangan. Masih dari buku Ika Natassa mengatakan bahwa
“Travel is deciding who will be the last
call before you take off and the first call after you landed” (Maapkan yah,
saya masih belum move on dari buku
kece ini, yang bicara juga tentang travelling). Iyuhuuuu, hal ini yang paling
sering saya alami soalnya, utamanya dari the
one and only mamak that too much worry
about doing travelling, apalagi kalo anaknya yang jadi pemeran utamanya,
hahaha. Jadi pernah sekali yah, pesawat udah parkir dengan benar, saya udah
mengatakan “Terima kasih Tuhan atas penyertaan-Mu selama perjalanan”, udah
siap-siap turun pesawat, saya aktifkan HP, and tadaaaaaa, sedetik kemudian dia bordering
dan bergetar dan ada tulisan MAMAK di layarnya. Ohhhmegatt, beneran kuat yah
feeling seorang ibu. Emejing kan mamak saya? Salah satu bentuk perhatiannya
adalah kekhawatirannya kepada kami, hihihi.
Saya lumayan suka
jepret-jepret (pengen bilang suka fotografi tapi belum se-expert itu, aku mah apa atuh) dan salah satu tempat photogenic yang saya sukai (selain
pasar, jalanan, dan langit) adalah di bandara dan pesawat. Entah kenapa bandara
dan pesawat selalu kelihatan indah di mata saya, dan selalu ingin saya masukkan
ke galeri saya (IG itu udah termasuk galeri kan??). Mungkin karena jarang ditemui
atau gimana, tapi setiap kali ke tempat tersebut bawaannya selalu pengen mengambil
foto, dan buat caption “dipisahkan oleh bandara dan udara” *ehhh tuh kan masih
belum move on dari Rangga AADC 2. Selain konstruksi bangunannya yang kece, atau
pesawatnya yang kece minta di foto banget, satu hal yang membuat saya suka
jepret-jepret di bandara adalah ‘kelakuan’ calon penumpang pesawat yang kadang lucu
untuk diperhatikan. Entah itu mereka sedang dengar music, duduk di lantai ruang
tunggu, telponan sambil memberi laporan ke lawan bicaranya, ngemil, ngurusin
pekerjaan di handphone, atau malah bengong melihat kelakuan orang yang sudah
nyaring ketinggalan pesawat di sampingnya. Lucu aja untuk diperhatikan, dan
pasti otak langsung teriak, “foto!! Foto cepetan!!” Hehh!!
![]() |
Penampakan di Bandara Syamsuddin Noor Banjarbaru |
Last but not least, I wanna say that “Traveling is about waiting”. Kalo quote ini murni dari otak saya
loh yah. Percaya aja yah, biar saya kelihatan bisa mikir gitu, hehe. Yeahh. Travelling itu memang tentang menunggu,
bagaimana kamu sabar menunggu pesawat, menunggu bus, menunggu apapun itu,
daannnn yang paling penting adalah apa yang kamu bisa lakukan untuk mengisi
waktu-waktu kosong itu. Mungkin ada yang telpon pacar (ciee), telpon ortu (anak
baik biasa kek gini), telpon teman (biasanya ini ngegosip), ngupil (kalo ada yg
gini, kelaut aja lu gak usah terbang), ngemil, becanda bareng anak, ngobrol
dengan orang di samping (PDKT mungkin), tidur-tiduran, atau bahkan bengong (ini tidak disarankan karena
berpotensi menyebabkan kesurupan). Saya memiliki cara tersendiri untuk mengisi
kekosongan hati ini, ehh maksudnya kekosongan waktu sselama menunggu (kamu),
*ehh ahhsudahlahh. Karena saya gak punya pacar jadi gak mungkin telponan sama
pacar dan gak mungkin gangguin pacar orang karena saya belum berpengalaman
dalam hal tikung-menikung jadilah saya mengisi waktu menunggu dengan membaca
buku, bukan membaca pikiran kamu yahh. Alasan lain saya membaca buku di bandara
adalah because I think it was cool (maksudnya
cool-tu buku. Hehehe). Kesannya itu, “menemukan diam dalam bising” (quote dalam
Novel Petir by Dee Lestari). Walaupun bising, tapi sebenarnya gak bising-bising
banget, apalagi kalo bandara kecil. Selain itu tempatnya yang adem emang bikin
betah untuk baca. Intinya adalah, bagaimana kita memanfaatkan waktu menunggu
kita dengan hal berguna, misalnya untuk meng-upgrade diri sendiri.
![]() |
Reading is a best way for waiting |
Begitu banyak hal
yang bisa saya pelajari berawal dari bandara dan pesawat. Hal yang setahun
belakangan ini menjadi teman saya tiap 2 bulan. Simple, tapi sebenarnya
mengajarkan begitu banyak hal. And I am
so thankfull buat buku Ika Natassa yang melalui bukunya yang berjudul Critical Eleven yang memberikan inspirasi
untuk kembali mengunjungi blog ini setelah sebulan dicuekin. Mata saya terbuka
mengenai makna sebuah perjalanan berawal dari bandara dan pesawat. So, saya mencoba
belajar dari hal-hal simple, dan ternyata hal simple itu sebenarnya berpengaruh
bagi kehidupan kita. Mencoba mempelajari hal-hal baru, dan membagikan apa yang bisa
saya bagikan, tapi kalo hati saya gak bisa di bagi-bagi, cukup untuk kamu
seorang. Ehhh, apacihhh. Mulai ngawur deh.
Okehh, sekian
tulisan saya tentang bandara dan pesawat. Just
leave a comment or suggest about my post or by e-mail on ekaismaliliany@gmail.com , karena saya mencoba terbuka dengan
setiap masukan dan kritikan. Tapi kalo tanya perasaan ku jangan lewat komen
yah. Ahhhhsudahlah, STOP IT!! J
Thanks for reading. Bye!
Dahai 291016
Curlytozz..aku padamu..wkwkwkwkkk
BalasHapusCiee..yg promosi :p
baru sempat ku baca....ehhmmmm lumayan la hahah
BalasHapusbaru sempat ku baca....ehhmmmm lumayan la hahah
BalasHapus