Rabu, 31 Agustus 2016

DIBALIK HESTEG #pictureoftheday (Episode: Kantor dan Saunanya)

I call it "Kantor"

Hellaaww. Di balik hesteg hari ini tentang sebuah gedung yang di foto itu, yang kelihatannya dari luar lebih mirip rumah pembantaian dibandingkan “kantor”, namun kenyataannya ya kek gitu. Yes, that is my (our) office in site. Sore ini saya baru menemukan angle yang (lumayan) tepat untuk mengambil gambar gedung tua tempat kami berkantor ini.
Sore yang bener-bener menguras tenaga banget karena pada saat itu sebenarnya saya sedang melakukan inspeksi bulanan di area dan kebetulan yang sedang kami inspeksi letaknya di belakang kantor. Hari yang bener-bener full of job banget karena bertepatan dengan akhir bulan (yang notabene perampungan laporan semakin dekat), loading bahan makanan yang seabrek dan banyak banget itu, dan inspeksi bulanan (yang notabene objek inspeksinya lebih detail dan buanyakk karena sekali sebulan). So, sukseslah saya hari itu kebanyakan berdiri dengan sepatu safety yang kalo di pake gampar nenek-nenek bisa rontok giginya plus otak sedikit bergeser. Hahaha. Dan dibalik kelelahan kaki dan keroncongan perut (suka seni juga yah perut eike) itu saya menemukan angle ini. Yup angle gedung kantor kami.
Tepat sekali, itu kantor. Bukan kos-kosan pinggiran kota Jakarta (kek gitu sih bahasanya atasan kami saat berkunjung ke lokasi ini dan memasuki breadtoast eh maksudnya kantor ini). Kelihatannya memang dari luar agak-agak gimanaa gitu karena merupakan bangunan lama peninggalan perusahaan sebelumnya di tempat ini. Bahan utama bangunannya yang dari kayu juga mempertegas betapa lamanya bangunan ini, tapi jangan salah, ini kayu bukan sembarang kayu. Kayunya khusus kayu dari Kalimantan yang tahan lama banget kalo dirawat baek-baek (yaheyalahhh). Haha. Sebagian besar bangunan di Kalimantan memang menggunakan kayu ini (kayu ulin) untuk membangun rumah karena sifatnya yang tahan lama dan tahan air (tapi mungkin gak tahan kalo digantungin, hehe).
Kantor kami ini sama halnya dengan kantor lainnya, tapiiii memasuki ruangannya yang saya sebut sebagai breadtoaster ini yang membedakannya dengan kantor lain (mungkin). Iyah, breadtoaster alias pemanggang roti. Jadi saya merasa jadi roti yang siap dibakar setiap kali masuk ruangan di kantor ini, dan semakin sempurna karena ruangan saya adalah salah satu ruangan breadtoaster dengan tingkat kepanasan yang optimal apalagi kalo udah siang. Mau buat roasted chicken di ruangan ini bisa kali yah. Kadang kalo udah lewat jam makan siang dan matahri sedang terik-teriknya, kami lebih memilih pindah tempat kerja. Pindah ke mana aja asalkan gak terbakar, biasanya saya pindah ke kamar sih. Hahaha, modus dong.
Ruangan saya itu adalah salah satu ruangan langganan jadi temuan tiap kali ada inspeksi dari klien. Temuan karena suhunya yang bisa bikin orang gemuk kek roti sobek berubah jadi roti canai kering siap santap, saking panasnya. Jendela sih ada, tapi di tutup rapat dan gak bisa dibuka karena alasan ada AC di ruangan tersebut. Kalian gak salah baca koq, itu memang AC, Air Condition, antimainstream tapinya. Kalo AC lainnya meniupkan udara yang dingin, segar, dan bisa bilang “sayonara panas”, AC di ruangan saya ini saking antimainstreamnya mungkin gak ada yang mampu beli kalo dijual di pasaran. Gak mampu dengan baunya maksudnya. Yup. ACnya bermasalah di bau. AC ini tergolong AC yang dermawan karena tubuhnya dijadikan sebagai rumah bagi hewan-hewan yang butuh tempat tinggal di luar sana, dan di pinggir hutan seperti di sini kelelawar adalah salah satu hewan yang butuh tempat berlindung dari derasnya hujan dan panasnnya matahari. Iyuhuuu, AC ini kadang gak mau nyala karena gak tahu kabel apanya lagi yang tersenggol kelelawar tidur pada siang hari. Setiap kali menyalakan AC, pasti bau semerbak yang bisa langsung bikin bengek itu langsung tertiup dan terhirup hidung. Namun, karena udah gak ada pilihan ruangan lain lagi (karena emang udah gak ada ruangan, kan gak mungkin tiduran di parkiran sambil kerja), ya TERPAKSA kami bertahan di ruangan itu. Kadang wangi semerbak indehoinya gak tercium sih (entah emang gak tercium atau hidung kami yang sudah resisten, huhuhu). Poor us. Belum periksa fungsi hidung dan paru-paru aja ini, jangan sampai dah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya menjadi tempat tinggal hewan lain yang udah bosan tinggal di AC. Amit-amit.
Bukan hanya bau, si binatang itu juga kadang meninggalkan jejak yang gak banget di ruangan yaitu semacam produk akhir hasil metabolism tubuh (silahkan cari tahu sendiri namanya, gak perlu saya jelaskan). Luar biasanya, tempat pembuangannya itu ya di AC itu yang menuju ruangan saya. Sempurnalah penderitaan fisik dan batin di sana. Hulalala. Kadang saya mau mengibarkan bendera putih, tapi susah dapat bendera putih di sini makanya belum kesampean.
Berharapnya ada tindakan perbaikan sih dari si pemilik gedung. Mengingat kondisi kami yang sangat memprihatinkan di ruangan tersebut, yang hanya bermodalkan air minum botol menghindari dehidrasi berkepanjangan akibat menahan panas dan bau yang sukses bikin bengek. Hihihi. Tapi kalo ada yang minat sauna gretong plus aromaterapi antimainstream, silahkan datang. pleas contact us. hehehe.
.

.
.
Dahai, 31 Agustus 2016

Selasa, 30 Agustus 2016

DIBALIK hesteg #sceneryoftheday & #bicaranyajicurly (Episode: Sunset & Lapangan Basket)

            Judul apa lagi ini? Mungkin ada yang repot-repot bertanya? Kalo gak ada yang bertanya seperti itu, plisssss, dari hati yang paling dalam, ku mohon bertanyalah, jangan membiarkan harapan ku bertepuk sebelah hati. Hehe. So, sebelum melangkah lebih jauh, mungkin sebaiknya saya memperkenalkan tentang judul ini soalnya tidak kenal makan tidak sayang, tidak sayang maka tidak suka, tidak suka maka tidak nembak, tidak nembak maka tidak jadian, tidak jadian maka tidak cuek-cuekan, tidak cuek-cuekan maka tidak marahan, dan tidak marahan maka tidak putus. So, silahkan simpulkan sendiri. Egilee, pembukaan aja bertele-tele banget yah kek gini. Bukan Curly namanya kalo tidak bertele-tele. Hihi.
So, belakangan saya agak-agak suka sama fotografi. Entahlah yah itu latah atau gimana, yang jelasnya suka aja. Abis itu di posting di instagram eike dengan nama akun @ekaismaliliany. Dari situ saya mulai belajar tentang fotografi, dari cari tahu aplikasi editing, cara edit gambar, cara melihat angle, dan belajar melihat situasi yang menarik untuk di ambil gambarnya, bukan hatinya loh yah. Itu semua masih yang bertaraf handphone biasa  yang harganya gak mahal dan kamera dengan pixel kecil (kamera belakang 5MP dan kamera depan 2MP). Nahh, dari situ saya malah niat beli handphone dengan kamera yang lebih bagus bahkan pengen kamera professional, padahal duit aja belum ada, nabung aja belum niat. Tapi untungnya kekhilafan saya di disadarkan oleh postingan artis Dion Wiyoko, salah satu artis yang saya ikuti akunnya di IG karena foto-fotonya kece banget, dan dia mengatakan bahwa, gambar yang bagus itu bukan dari jenis kamera yang digunakan tapi dari taste si fotografer, jadi biarpun punya kamera bagus tapi gak punya taste yah sama aja. Wowww... langsung dapat angin segar bo eike, yahh walaupun jenis kamera (+ pencahayaan + model) juga sebenarnya berpengaruh sih (yang plus plus itu hasil kesimpulan bareng Poyan mah), tapi saya kembali memotivasi diri sendiri bahwa kalo gak mampu ya ngapain di paksakan? Ada saatnya koq nanti saya punya kamera kece kalo emang butuh. warbiazaakkk (ngelap ingus dan air mata kesedihan, hahaha). Jadilah saya motretnya pake kamera HP Xperia E4 Dual kebangganku saat ini. Dan mulai hari ini saya mulai menggunakan hesteg #sceneryoftheday dipostingan eike. Bukan apa-apa sih, pengen meninggalkan kesan aja kalo itu adalah (one of) the best photo that I shoot today. Selain itu, saya juga pengen mengingat momennya gitu, karena saya percaya bahwa gambar bisa bercerita, at least buat saya pribadi lah. Tsaahhh.
Selain #sceneryoftheday, ada juga hesteg #bicaranyajicurly. Apakah itu? Apakah maksudnya Curly hanya omdo alias omong doang? Mmm, mungkin awalnya emang kek gitu yah. Jadi caption yang saya tuliskan di gambar itu sebenarnya memang Cuma omongan saya doang. Karena ada sesuatu yang saya pikirkan sehingga muncul kata-kata itu menari-nari (harus yah pake istilah itu?) di otakku dan harus dituliskan, biar eksis, ahahaha. Gak ding. Biar diingat aja. Maklum, kekuatan ingatan Curly emang rada-rada gak bagus. Ehehehe. Kan sayang kalo dibiarkan lewat begitu aja.

Nahh, sehubungan dengan itu, maka saya berniat untuk rajin-rajin mengunjungi blog sayang ku ini makanya saya cari bahan yang bisa di tulis-tulis gitu. Kan lumayan buat blog gak dianggurin. Nah, blog aja gak dianggurin, apalagi kamu. Hehe.
Caption: "Hidup itu (mungkin)(sebaiknya) seperti S.E.N.J.A. Bagaimana kamu mengakhirinya dengan indah.
Seperti gambar di atas yang adalah postingan pertama saya tentang #sceneryoftheday hari ini. Itu sebenarnya gambar langit di sore hari kalo kalian ada yang bertnya itu gambar apaan, dan sekalian menegaskan kalo saya ambil gambarnya di lapangan basket (merangkap lapangan tenis). Biasanya saya lagi lari sore kalo jam segitu ada di lapangan. Biasa, gaya hidup sehat dong (trus malamnya jam 9 makan mi instan karna kelaparan, jiahhh). Tempat ini menjadi salah satu tempat favorit saya untuk menikmati sunset. Yes, I like sunset. Saya suka melihat warnanya, dan suka dengan kata senja. I dont know why. Nah, sejak saya tau bahwa di tempat ini bisa menikmati sunset, akhirnya motivasi saya ke lapangan sore hari kadang sudah bukan untuk lari sore lagi, tapi pengen enjoying sunset & catching sunset, pake kamera loh yah catchingnya. Jadi bisa dikatakan kalo lari sore hanya modus aja, ada hal yang lebih menarik untuk di kejar. Hehehe.
Beberapa hari kemarin saya sebenarnya lagi malas kelapangan untuk lari sore, sooo gak pernah niat lagi ke lapangan, apalagi udah jarang lihat sunset kece karena sempat mendung dan hujan juga beberapa hari sampai akhisrnya panggilan sunset itu datang. Kemarin sore, lebih tepatnya udah hampir malam, ada pemandangan sunset luar biasa dalam perjalanan saya pulang ke mess, dan berhasil menarik perhatian hati dan pikiranku. Jadilah eike lari-lari dulu ke kamar simpan tas, ganti sepatu, trus lari ke bawah lapangan basket (lebih tepatnya Cuma sampai di ujung tangga bawah  jalanan ke lap basket sih) untukmenikmati sekalian mengambil gambarnya. SAYANGNYA sodara-sodara, semesta sedang tidak mendukung, ternyata sunsetnya udah mulai hilang, gak dapat moment bagusnya, dan lampu lapangan terang banget cahayanya, jadinya hanya dapatgambar apa adanya. Tapi dalam keadaan seperti itu, SUNSET tetap megah. Huhuhu. Makanya, besok sorenya saya udah standby di lapangan dari stengah 6 sore, biar gak telat lagi dapat momennya. Jadi, sambil nunggu sunset saya lari-lari keliling lapangan dong, kan gak enak juga mau nungguin sunset sambil ngupil di tengah lapangan. Bosan banget kali. Tapi sayang seribu sayang (lagi), sunsetnya gak muncul sekece kemarin. Hiks, padahal udah di niatkan. Tapi tetap indah koq, dan tetap memanjakan mata. eeaaaa
Sementara lari itu, saya akhirnya mikir. Kenapa yah saya suka sama sunset, bukan suka kamu aja? **ehh. Maka muncullah #bicaranyajicurly saat sedang lari itu, kebetulan sambil mikir juga. Saya berpikir matahari aja sebelum dia hilang dia tetap memberikan keindahan, tetap megah, harusnya Curly juga bisa dong. Keindahan melalui sikap hidup dan ketaatannya. Tsaahhh. Maka muncullah caption itu. Thats it! Yah, berharapnya sih semoga saya bisa menjadi seperti senja yang tetap memberikan berkat bagi orang lain, karena matahari memberi berkat kepada saya, melalui rasa tentram yang dihasilkannya setiap kali saya menikmatinya. Uhuhuhu, koq baper gini sih. Syudah syudah. Lanjut saja.
Karena angle itu penting

Postingan kedua ini sebenarnya bukan tentang captionnya sih, gagal mencantumkan caption awal. Hahaha. Saya sore ini lagi liar matanya untuk cari objek foto yang kece (menurut saya) dan pada saat matahari lagi bagus-bagusnya, dan dengan angle yang sesuai akhirnya terciptalah foto itu. Masih sambil lari, saya mikirin caption yang sesuai and you know what? Lagi sok-sok pengen pake bahasa inggris, jadi tadi sempat kepikiran dengan caption begini, if you want to get the point, put the ball into the ring. It same with heart. Eaaaa. Apa lagi ini? Tapi gak jadi buat kek gitu, soalnya agak-agak eeuuhh banget dan takutnya bahasa Inggrisnya abal-abal. Kan malu di eike kali sampe bahasa Inggris amburadul. Jadilah Cuma pengen pamer foto dan editannya. Hihihi.
Umm, jadi ini postingan pertama tentang dibalik hesteg itu dan mungkin akan berlanjut lagi solnya udah dari lama punya rencana pengen buat cerita dibalik gambar yang saya posting di IG, Cuma karena (as always) malas makanya belum kesampean. Ternyata sekarang baru kejadian. Semoga berlanjut yah. Supaya om spider gak numpang di blog eike terus.
Mungkin ini postingan yang gaje (gak jelas, istilah pas kuliah dulu masih terbawa, hehehe), but for me, everything that happened in my life is not gaje. Saya yakin bahwa saya adalah pribadi luar biasa yang diciptakan Tuhan dengan alasan yang tepat, never gaje. Saya berharap kalian juga berpikir seperti itu, bahwa kita adalah rencana terindah Tuhan. Maapkeun aja yah kalo nyampah. Hihi.
.
.
.
Dahai, 30 Agustus 2016


Minggu, 28 Agustus 2016

BALI dan FILOSOFI KEHIDUPANNYA

Om swasti astu...
Masih membahas tentang Bali yah. Maapkan susah move on-nya, soalnya saya itiu tipe orang setia yang susah move on (apalagi sama ekkim cone tanpa taburan apa-apa di atasnya). Masih banyak yang ingin saya sampaikan tentang Bali. Pleaseee, dengar penjelasan aku dulu. Ehh, ini koq malah buat adegan sinetron gak jelas sih. Okey focus!
Selama beberapa hari (berkualitas) di Bali kemarin, banyak hal yang saya dapatkan. Selain berkunjung ke daerah wisatanya yang udah terkenal ke seantero dunia dan jagat raya (yakalee ada alien yang pernah datang dan berjemur di Bali), saya juga berkesempatan mengorek informasi mengenai Bali dari orang Bali asli yang saya temui di sini. Mungkin saya berpengalaman menjadi intel yah, Indomie telur tapinya, hahaha. Mulai dari Mba Sari Agnezmo wanna be yang merupakan tour guide(nya rombongan maknyak di mana saya berhasil numpang) sampai bapak-bapak security hotel (nya rombongan maknyak di mana saya berhasil numpang, lagi). Sebenarnya cuma 2 orang itu sih, tapi saya pake kata sampai biar kesannya kek banyak gitu. Hahaha. Permainan kata.-
Point yang saya dapat bahwa, masyarakat Bali hidup dengan filosofi yang mereka anut. Mungkin itu kali yah saalah satu alasan Film The Philospher dibuat di Bali, hehe (mulai deh sotoynya). Setiap hal yang mereka lakukan memiliki tujuan dan apabila ada pelanggaran yang mereka lakukan pasti akan memiliki dampak buruk. Cekidott........


1.    Bunga Kamboja
Datang ke Bali pasti gak afdol rasanya kalo gak pake bunga di kuping kan? Ala-ala Hawaii gitu. Iyup, sepertinya dalam setiap kesempatan kita pasti akan melihat banyak bunga-bunga (gak usah nyanyi kek Syahrini yah), utamanya ditelinga wanita Bali ataupun wanita bule ataupun wanita bukan Bali bukan bule (maksudnya turis pribumi, seperti saya). Kenapa eh kenapa? Apakah dengan menggunakan bunga mereka lantas terlihat cantik dan anggun (C. Sasmi)? Sesungguhnya saudara-saudara, kecantikan yang abadi bukan yang terlihat oleh mata indah bola pingpong, namun terpancar dari hati yaitu kebaikan hati dari setiap wanita itu (salam super! Cocok gak sih? Hehe.). Tapi emang saya akui sih wanita Bali itu anggun-anggun loh (gubrak!!), lemah lembut, kalem, apalagi kalo udah pake bunga di kuping, hadeuuhh rasanya tuh adem banget lihatnya. Dibandingkan sama eike yang dari segi rambut aja udah kelihatan kek lion king versi keriting versi MANIS versi KECE (dilarang protes!) yang kalo ngomong kadang cablak banget (silahkan protes!) plus bikin tersinggung plus bikin sakit hati (pada bagian ini, dari hati yang paling dalam sedalam pantutukan saya tidak bermaksud bikin sakit hati loh, piss). Ibaratnya tuh ada yang lagi mabok darat dalam suatu perjalanan dengan kondisi jalan berbelok-belok, trus yang di playlist adalah lagu rock-nya Avril Lavigne, tapi pas ganti playlist ke lagunya Vierra langsung berhenti mabuknya. Hehehe.
So, back to bunga di kuping. Ternyata bagi orang Bali bunga itu adalah symbol dari gadis Bali. Bunga yang paling sering terlihat digunakan adalah Bunga Kamboja. Menggunakan bunga kamboja adalah symbol penghargaan kepada gadis Bali. Jadi, siapapun yang menggunakan bunga di kupingnya, entah itu laki-laki ataupun perempuan, artinya mereka respek terhadap gadis Bali. Nahh, kenapa harus bunga Kamboja? Secara di tempat lain, bunga Kamboja itu identik dengan tempat yang mistis karena kebanyakan di tanam di kuburan kan? Di Bali ini berbeda. Di setiap tempat kita akan menemui bunga kamboja di halaman rumah mereka.
Bunga kamboja adalah bunga yang mandiri. Bukan makan sendiri, masak sendiri, dan tidur pun sendiri yah, maap ini bukan lagu dangdut. Jadi bunga kamboja itu bisa tumbuh tanpa perlu perhatian yang berlebihan (tapi kalo aku butuh perhatian bang, eeaaa). Bunga ini gampang tumbuh, tinggal tanam bagian tubuhnya, siram sedikit, dan dia akan tumbuh, tapi gak berarti juga gak pernah di siram sampai bertahun-tahun yah, itu mah melanggar hak asasi bunga. Maksudnya adalah, bunga ini tidak perlu tanah khusus untuk tumbuh (seperti bunga anggrek misalnya), atau pada suhu tertentu (bunga edelweiss misalnya), atau pada tempat tertentu (bunga bank misalnya, *ehh). Nah dengan begitu bunga ini dijadikan sebagai symbol gadis Bali sehingga mereka dituntut menjadi perempuan yang mandiri, seperti bunga Kamboja. Mereka diharapkan menjadi perempuan yang tidak hanya bergantung kepada orang lain dan tidak bisa melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhannya. Bukan berarti mereka tidak butuh orang lain namun mereka diharapkan memiliki inisiatif untuk dapat bertahan hidup di tengah kerasnya dunia ini (apasih, keknya udah mulai meracau deh). Kece yah?
Bunga Kamboja

Sebenarnya harapan ini bukan hanya untuk perempuan Bali saja yah. Setiap perempuan di manapun berada juga diharapkan untuk bisa mandiri dalam kehidupannya, tidak bergantung sepenuhnya kepada orang lain karena biar bagaimanapun kita sebagai perempuan juga memiliki kebutuhan pribadi yang harus kita penuhi. Coba bayangin kalo orang yang kalian tempati bergantung (bukan gelantungan yah. hihi) sudah tidak mampu (atau TIDAK MAU) memenuhi kebutuhan kita? Mau mengais sampah? Mau meminta-minta? Mau nyolong? Saya mah ogah. Jadi para perempuan, tingkatkan kualitas hidup anda minimal dengan keterampilan yang anda miliki (kalo gak ada, ya belajar dong, karena hidup adalah tentang belajar *uhuk).
 Umm, ibu menteri yang terhormat, sekiranya anda butuh duta untuk memperjuangkan hak perempuan, maka saya BELUM SIAP bu. Jangan direkomendasikan dulu yah. Saya masih sedang berusaha memperjuangkan hak saya sendiri. Hehehe.
Penggunaan Bunga di Telinga

2.    Perempuan  Bali dan Tarian
Masih seputar perempuan yah ternyata. Umm tenang saja, tidak ada organisasi perempuan koq yang menyogok saya untuk menulis tentang perempuan, ini kebetulan aja ada hubungannya, jadi tolong goloknya gak usah di angkat-angkat gitu, simpan aja pliss. Ini tentang menari.  Mba Sari, sang guide super banyak omong itu (maksudnya banyak kasih informasi) memberitahukan kami (Oni Dassi Choir dan 1 orang parasit) bahwa bagi orang Bali, menari adalah sesuatu yang wajib. Menari adalah nafas hidup bagi orang Bali. Mungkin seperti kepercayaan orang Kristen bahwa Doa adalah nafas hidup orang percaya (ada amin sodara-sodara??). Tenang, saya tidak akan berkhotbah di sini. Lanjut. Masyarakat Bali sangat suka menari, mungkin ibaratnya sama seperti saya sangat suka sekali kamu *ehh sorry salah pokus. Nah, karena orang Bali sangat suka menari, maka dari kecil mereka sudah diajarkan untuk menari. Bisa dikatakan, semua orang Bali yang lahir dan besar di Pulau Bali bisa menari karena dari kecil mereka sudah diperkenalkan, bahkan di sekolah juga sudah dimasukkan ke dalam kurikulum, kalo gak salah dalam mata pelajaran muatan lokal. Kece yah? Saya sempat berpikir bahwa, berarti semua wanita Bali itu  rambutnya panjang-panjang, karna kan pakean adatnya kalo pas menari itu rambutnya di gulung-gulung trus di hiasai bunga. Wowww. The real women.
Salah satu tarian Bali yang sempat saya pelajari (yang hasilnya gagal total) adalah umm, sebenarnya gerakan dasarnya aja sih, hehehe. Egilee, gerakan dasar aja udah bikin saya encok, gimana mau pelajari tariannya, mending saya di suruh nyanyi 100 lagu deh (dikurang 99 tapinya) daripada di suruh menari. Tapi karena pengen tahu aja rasanya gimana, so saya minta di ajarin. Jadi, gerakan dasar dari tarian Bali itu adalah, pantat (bahasanya sopan gak sih? Atau harus bilang bokong yah?) dimontokkan ke belakang semakin montok anda, maka semakin bagus-, trus kaki di tekuk, tangan kiri diletakkan sejajar dengan mata (jadi telapak tangan itu di tarik dari sudut mata dengan posisi yang menghadap kedepan dan jari-jari terbuka), tangan kanan sejajar dengan pantat yang dimontokkan tadi dengan posisi telapak sama dengan tangan kiri, mata di melekkan semelek-meleknya (maka beruntunglah saya yang punya mata belo indah bola ping pong), kepala di angkat, dada dibusungkan (orang sombong pasti gak susah kalo gerakan yang ini, hihi), and thennn, goyangkan. Lirikan mata mengikuti gerakan tangan. Aarrrgghh pokoknya susah deh diuangkapkan dengan kata-kata, lihat aja videonya, tapi focus ke Mba Sari yah, jangan sama eike, hihihi. 


Kurang lebih seperti itu gerakan tari Bali yang sempat saya lihat dan pelajari secara langsung, dan ternyata emang gak ada bakat sama sekali yah? Di saat mba Sari menari dengan sangat anggun dan luwes, saya jadi kek robot di transformer yang lagi tahan boker. Lebih luwes robot baru buatan Jepang itu keknya dibandingkan eike. Ulalala. Mungkin ahlinya Cuma menari mabadong aja kali yah. hahaha
                                        
3.    Sesajen
Menginjakkan kaki di Pulau Bali, anda akan disuguhkan dengan pemandangan sesajen di setiap tempat dan wangi dupa. Hal ini sangat wajar ditemui di sini karena setiap hari warga Bali, yang sebagian besar beragama Hindu, akan berdoa sambil meletakkan sesajen yang telah mereka rangkai, entah itu diletakkan di tempat sembayang, di depan rumah, di persimpangan jalan, ataupun di pinggir jalan. Pembuatan sesajen ini bukan bermaksud memberikan makan kepada makhluk halus atau semacamnya yah. Ada makna dibalik setiap pemberian tersebut. Kenapa harus menggunakan sesajen yang dirangkai setiap akan berdoa?
Kepercayaan Hindu Bali itu sangat suka seni. Segala sesuatu yang mereka lakukan pasti berseni. Entah itu ukirannya, tariannya, bentuk rumahnya, termasuk cara mereka mencintai Tuhan, adalah dengan seni. Sesajen yang dirangkai adalah salah satu bentuk seni. Sesajen adalah rasa syukur kepada Tuhan. Diibaratkan hubungan Tuhan dengan manusia adalah seperti hubungan cinta kasih. Hal ini juga berkaitan dengan isi sesajen tersebut. Isi sesajen pada umumnya berupa bunga, daun janur, dupa, dan air. Setiap komponen sesajen ini memiliki makna masing-masing.
Contoh Sesajen

Contoh Sesajen

Bunga diibaratkan sebagai lambang cinta kasih. Kenapa lambang cinta kasih? Contoh konkret aja yah. Kalo acara valentine, sebagian besar orang masih saling memberi bunga kan? Si cowok menunjukkan rasa sayangnya ke cewek melalui bunga. Atau, saat ada anak kecil yang memberikan setangkai bunga sederhana kepada ibunya, si anak merasa bahwa itu adalah bukti cintanya kepada ibu, sesederhana apapun bunga itu. Sama seperti manusia kepada Sang Pencipta. Mereka juga ingin menunjukkan cinta kasihnya kepada Sang Pencipta melalui penyerahan diri kepada Sang Pencipta.
Daun janur  (atau daun apa saja yang ada pada saat itu). Daun identik dengan pohon yang diibaratkan sebagai pemberi kesejukan / meneduhkan. Diharapkan setelah berserah diri kepada Tuhan, manusia bisa merasakan kesejukan di dalam hati. Artinya, setelah berdoa mereka dapat merasakan ketenangan dan kedamaian.
Dupa adalah sejenis lidi yang bisa dibakar sehingga mengeluarkan asap dan bau. Bagi orang Bali, lidi merupakan upah saksi. Saksi bahwa persembahan tersebut sudah diberikan kepada Sang Pencipta. Saksi diibaratkan sebagai asap. Asap hasil pembakaran lidi akan terlihat secara kasat mata yang tidak lama kemudian menghilang, namun pada saat asap tersebut menghilang, bau khas dupa tersebut masih bisa dirasakan wanginya. Sama seperti doa, yaitu pada saat diucapkan, doa masih ada di bumi namun setelah diucapkan tidak lantas menghilang tapi tetap kita rasakan keberadaannya.
Air (tirta /air suci) berfungsi membersihkan jasmani dan rohani (saya agak lupa penjelasan pada bagian ini).
Biscuit, permen, nasi, atau makanan apapun yang pada saat itu dimiliki. Komponen ini SEPERTINYA diletakkan pada sesajen yang diletakkan di bawah (correct me if I am wrong). Jadi, Hindu Bali percaya bahwa ada makhluk yang diciptakan di bawah dunia manusia yang mana mereka juga membutuhkan makanan sebagai sumber kehidupan. Makhluk tersebut berupa hewan, tumbuhan, termasuk adalah yang mungkin kebanyakan dari kita menyebutnya makhluk halus. Nah, pemberian komponen sesajen ini berdasarkan penjelasan dan kepercayaan Mba Sari- adalah untuk makhluk seperti tumbuhan dan hewan. Pada saat sesajen tersebut diletakkan, mungkin ada hewan yang membutuhkan. Mba Sari memberi contoh seperti mungkin ada Anjing, atau hewan lain di sekitarnya yang sedang dalam kondisi membutuhkan makanan sehingga makanan dalam sesajen itubisa menjadi penolong baginya. Mba Sari bahkan memberi contoh bahwa apabila ada semut yang sudah memakan roti yang diletakkan di dalam sesajennya maka semut sudah tidak akan mengambil bahan makanan di rumahnya karena mereka sudah diberikan  porsinya sendiri yang diambil dari sesajen yang dia buat. Untuk tumbuhan, melalui sesajen yang di buat itu juga dapat menjadi makanan bagi tumbuhan yang ada di sekitarnya, misalnya sisa sesajen yang notabene berasal dari bahan alami itu akan terkumpul dan menjadi kompos bagi tumbuhan tersebut. Intinya adalah bagaimana kita saling tolong menolong dan saling memberi manfaat sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Jadi itu makna dari tiap isi sesajen yang dibuat oleh masyarakat Hindu Bali.
Selain pemberian sesajen, saat sembayang, masyarakat Bali juga ada yang menggunakan beras. Beras yang digunakan saat sembayang disebut bija. Beras diibaratkan sebagai benih kebaikan. Beras tersebut diletakkan di dahi, pangkal lidah, dan dimakan. Maknanya yaitu, beras diletakkan di dahi sebagai lambang bahwa agar benih kebaikan tertanam di dalam pikiran. Benih diletakkan di pangkal lidah sebagai lambang bahwa agar benih kebaikan tertanam di lidah. Maksudnya adalah agar segala sesuatu yang diucapkan adalah perkataan yang baik. Benih kemudian di makan adalah sebagai lambang bahwa supaya perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang baik. Makna keseluruhannya adalah, berpikir baik, berkata baik, dan berbuat baik.
Ituhhh makna dari pemberian sesajen dan sedikit kegiatan persembayangan. Nahh, ada pertanyaan lagi, Di Bali saya sempat melihat posisi peletakan sesajen. Ada yang diletakkan di lantai namun ada juga yang diletakkan di tempat sembayang yang letaknya agak di atas. Ternyata ada makna juga dibalik letak sesajen tersebut. Sesajen yang diletakkan di bawah ditujukan kepada makhluk di alam buta (dunia di bawah alam manusia seperti hewan dan tumbuhan yg saya jelaskan sebelumnya) dan sesajen yang diletakkan di atas ditujukan untuk Tuhan atau Dewa. Masyarakat Hindu Bali percaya bahwa ada 3 alam di dunia ini yaitu alam Dewa atau Tuhan, alam manusia, dan alam buta. Manusia berada di antara kedua alam tersebut yang fungsinya sebagai penyeimbang. Artinya bahwa, manusia diharapkan dapat menjadi bijak, dapat melihat ke atas dan juga ke bawah.
Nahhh muncul lagi satu pertanyaan. Apakah sesajen itu boleh diinjak atau tidak? Dan apabila terinjak apa yang akan terjadi? Mungkin ada yang takut melewati sesajen di Bali karena berpikirnya di situ adalah tempat makan dewa yang jika dilewati akan mengganggu mereka yang makan apalagi kalau di injak. Tapi setelah membaca penjelasan di atas, semoga kita gak berpikir seperti itu lagi. Selama tidak disengaja, misalnya kita gak tau kalo di situ ada sesajen, tidak menjadi masalah. Selama itu tidak disengaja yah, lain lagi kalo disengaja. Lebih kepada bagaimana menghargai perasaan orang yang merangkai sesajen itu dengan sepenuh  hati tapi baru di pasang aja trus kita DENGAN SENGAJA langsung nendang sesajennya. Bayangin perasaan orang itu, pasti sedihhh rasanya. Itu mah sama aja lu minta di timpuk sandal (sendal berduri besi yang ujung-ujungnya udah dikasi racun mematikan, hehehe). 
Tempan sembahyang, tempat meletakkan sesajen


1.    Hukum Karma
Masyarakat Hindu Bali sangat percaya dengan hukum karma, ini berdasarkan hasil obrolan saya dengan Bapak Security hotel sih. Sedikit saya simpulkan saja dari hasil pembicaraan kami dan dengan melihat kehidupan sehari-hari masyarakat Bali yang sempat saya perhatikan. Beliau mengatakan bahwa hukum karma itu berlaku (kalau Kepercayaan Kristen mungkin seperti hukum tabur tuai), kalau tidak terjadi pada diri sendiri mungkin keturunannya yang akan mengalami. Mungkin itu yang membuat orang Bali terlihat berbeda dengan orang di daerah lain. Satu hal yang saya perhatikan sejak di Bali adalah orang-orangnya yang ramah. Setiap bertemu pasti mereka melemparkan senyum (gak kayak kamu yang melemparkan bom molotov ke hatiku, ehh). Keknya feel 5S nya itu dapat (senyum, salam, sapa, sopan, santun). Saya aja jalan sendiri di sana (gak ngenes kan kesannya?) merasa aman banget, dengan pakaian yang tergolong mini pula, yang kalo di tempat lain mungkin udah jadi sasaran empuk para penjahat kelamin. Umm, diluar insiden sok-jalan-sendiri-ke-tempat-makan-dekat-hotel-malam-malam- sampe digodain orang tidak dikenal (sumpah itu bagian paling horror di Bali kemarin. Horror kedua adalah ketinggalan pesawat. Hihi). Menurut pak security, keramahan seperti itu malah sudah berkurang. Katanya, dulu, setiap kali bertemu, orang Bali akan saling merapatkan tangan di depan dada dan saling hormat dengan menundukkan kepala. Wowww. Emejing men. Sekarang mah boro-boro kek gitu, yang kenal aja pura-pura gak kenal, apalagi yang beneran gak kenal.. Menurunnya kadar keramahtamahan itu salah satunya disebabkan karena sudah banyak pendatang dari luar sehingga mengkontaminasi penduduk local sih.
Selain ramah, salah satu bukti karma really exist di Bali adalah masyarakatnya yang tidak membuang sampah sembarangan (sebagian besar sih). Pokoke bersih dah jalan-jalannya. Dinas kebersihan kota juga keknya bekerja dengan baik. Daannn, saya gak pernah melihat sampah di bakar di sono (umm, ada sih satu kali itupun di pinggiran kota Denpasar, di tempat pembuangan sampah akhir). Menurut pak security, orang-orang takut asapnya mengganggu tetangga rumah. Menurutnya, dari dulu juga orang Bali tidak terbiasa dengan membakar sampah. Dahulu kala, kalo ada sampah, palingan cuma dikubur biar jadi kompos (soalnya dulu masih pake bahan alami). Wewww, kece parah.
Satu hal lagi yang saya perhatikan, setelah mendapatkan informasi dari orang-orang, yaitu bangunan di Bali tingginya tidak boleh melebihi pohon kelapa. Sepertinya sih begitu. Makanya kenapa di Bali jarang banget ada gedung pencakar langit. Trus disetiap bangunan pasti ada pohon, setidaknya pohon bunga kamboja yang mandiri itu loh yah. Mungkin itu salah satu yang membuat Bali sangat rindang yang kalo naik motor siang-siang gak bikin kulit serasa terbakar (baca disini). Saya gak tau ini ada hubungannya dengan karma really exist atau tidak sih. Tapi saya yakin pasti ada alasan dilakukannya seperti itu. Ada filosofinya.


Yahh, thats all about Bali dan Filosofi yang hidup berdampingan.
I hope someday I can be there again dan mencari informasi lagi mengenai filosofi kehidupannya yg kece.
Maybe thats all. Halamannya juga udah panjang banget, dan TERNYATA SUDAH SUBUH!!! Warbiazaakk. Hihihi.


Dahai, 28 Agustus 2016

Jumat, 26 Agustus 2016

CURLY IN BALI (day 1)



Tolong yah, foto di atas itu di Bali. Beneran Bali. Jangan pikir karna Tulisan I Am In Ba....... tertutup kepala ku jadi kalian pikir itu di Banten, Bandung, Balikpapan atau Bandara, eh,, emang di bandara sih. Bandara Bali. Bukan tulisan I Am in Bali yang di edit dengan memasang muka (kece) seolah-olah ku di sana yah. Kalo gak percaya, silahkan tanya pakar telematika, ehh telekomunikasi, ehh apalah itu, untuk mengecek keaslian fotonya. Tapi saya yakin kalian gak mau ribet-ribet tanya pakar, jadi percaya-percaya aja kan? Satu keuntungan bagi saya.

Tadaaa......
Finally kakinya Curly bisa napak di sebuah pulau yang dikenal orang sebagai Pulau Dewata. Sebuah Pulau yang lebih dikenal bule dibanding Indonesia (saya pernah dengar katanya bule itu taunya Bali, tapi pas di tanya Indonesia itu di mana mereka malah gak tau, apalagi kalo nanya rumah Curly yah?). Kedenganrannya kampungan banget gak sih? Eh, maksudnya, kebacaannya kampungan banget gak sih?? Bodo amat, A(h)mat aja lagi kerja. Hihi.
            Ya kek gini nih kalo impian selama bertahun-tahun yang akhirnya kesampean. Pengen ke Bali, melihat Bali secara langsung, dan merasakan udaranya (Cuma mau memastikan aja sih, di Bali itu orang menghirup Oksigen atau menghirup wangi kopi, ehh). This is my first vacation to Bali. Apalagi berangkat sendiri, dengan duit (yang mudah-mudahan) duit hasil keringat sendiri yang ditabung dan dikumpulkan dari uang receh hasil kembalian warung. Sebenarnya belakangan baru ngutang sih karena insiden orang-sok-kaya-ketinggalan-pesawat-gara-gara-nonton- . Haha.
Kenapa pengen banget ke Bali? Siapa sih yang gak mau ke Bali? Ke Balikpapan aja saya excited banget (soalnya bisa dilepas ke alam bebas, haha) apalagi ke Bali. Berawal dari maknyak yang sudah berkali-kali ke Bali bareng-bareng teman gurunya, dan pulang-pulang saya cuma bisa dengar ceritanya. Okayyy, fine, kalo kata orang Makassar, lupakan ma’, tinggalkan ma’. Haha. Tapi Puji Tuhan, ada rezeki, akhirnya bisa kesampean ke sini, walaupun masih ada bayang-bayang mamak sih, karena mumpung beliau lagi ada di Bali (lagi) dan bertepatan dengan waktu off kerja, maka ke sinilah tujuan saya. Bali....Here I come!!!

So,, offduty kemarin, 28 Juli 2016, kurang lebih pukul 07.27 WITA, pesawat yang saya tumpangi (kebiasaan numpang sih, naik pesawat aja numpang) dari Surabaya landing di Bandara Ngurah Rai, Bali, dengan disambut matahari pagi yang cerah ceria gempita bahagia, apasih. Iyah, saat itu saya mengambil penerbangan pertama dari Surabaya, tepatnya jam stengah 6 pagi kalo gak salah, dan tiba di Bali sekitar pukul yang saya sebutkan tadi di atas, capek tau ngetik berulang-ulang. Semangat banget gak sih sampai pake first flight? Haha, ini mah lebih kepada pengen menikmati waktu-waktu sempit di Bali dengan daftar daerah yang akan saya kunjungi. Itu rencana di otak yah. Aktualnya akan kalian (kalian siapa? Emang ada yang baca tulisanmu Cur? Hihi ngarepdotcom) ketahui selanjutnya.
My first shoot in Bali. First Sunrise in Bali.

Setelah pesawat parkir dengan sempurna, dan pintu pesawat terbuka dengan sempurna, dan semua penumpang yang gak sabaran udah turun sempurna dari pesawat, barulah saya mengambil mini carrier-ku dari bagasi atas (ogah banget kali sempit-sempitan pas mau ambil barang, gak mungkin juga kali pesawatnya lantas terbang lagi kalo saya belum keluar). Barang bawaan saya saat itu terbilang simple, 1 buah mini carrier, 1 buah tas selempang mini, 1 buah bantal leher, 1 buah tas tentengan ole-ole dari Surabaya. Ternyata banyak juga yah, setelah dihitung-hitung ternyata totalnya jadi 4 bawaan, haha. Tapi bagi saya itu udah termasuk simple soalnya kalo bepergian saya merasa kek emak-emak rempong dengan segudang bawaan.
Masuk ke terminal kedatangan, saya disambut dengan berbagai ornament khas Bali. Satu hal yang saya perhatikan setiap kali tiba di bandara yaitu saya membandingkan bandara mana yang paling bagus, dan Ngurah Rai masuk di kategori bandara bagus versi Lytozz (bandara lainnya adalah Bandara Hasanuddin Makassar dan Bandara Sepinggan Balikpapan). Penampilan bandaranya termasuk kece. Karena gak ada bagasi jadi saya langsung berjalan sampai di luar terminal kedatangan, dan langsung memesan ojek online. Sebelum ke Bali saya sempat bertanya kepada salah satu senior SMA saya (Kak Yuniarti Pumpun) yang kebetulan kerja dan tinggal di Bali tentang kendaraan yang bisa digunakan di sini. Karena di Bali gak ada angkot, jadi  saya disarankan untuk menyewa motor, tapi berhubung saya gak mau capek karena naik motor (hallah,, padahal gak bisa naik motor ini) akhirnya dia menyarankan untuk memesan ojek online saja yang bertebaran di Bali. Setelah pesan ojek, ternyata saya masih harus berjalan sampai di luar bandara karena ojek online gak boleh masuk sampai ke dalam area Bandara. Lumayanlah kalo mau jalan yah, apalagi dengan bawaan segitu banyaknya, mana sempat salah jalan lagi jadi bulak-balik mutar-mutar, untung gak pusing. Akhirnyaaa, bertemu juga dengan kekasihku, ehh, maksudnya dengan driver ojeknya, dan saya langsung menuju hotel maknyak yang berlokasi di Denpasar. FYI, Bandara Ngurah Rai itu bukan di Denpasar, tapi di Kabupaten Badung, jadi selama ini kita dibohongi mengenai lokasi bandara di Bali, hati-hati provokasi! (lagi mengepalkan tangan kiri di samping kepala) *ehh.
Saya menempuh perjalanan dari Bandara ke Denpasar, tepatnya di Jl. Hayam Wuruk, selama kurang lebih 30 menit. Bermodalkan GPS dari driver ojeknya dan GPS saya, akhirnya saya tiba di hotel penginapan maknyak dan rombongannya. Saya sebenarnya sudah memesan hotel di sekitar Hayam Wuruk juga pada hari itu, namun waktu check in nya jam 14.00 sementara saya tiba di Bali masih pagi, kan gak mungkin saya jokka-jokka dengan barang bawaan sebanyak itu, bisa tambah pendek eike. Jadilah saya nginap untuk sementara di hotel maknyak, yang selanjutnya sementara iu jadi nginap sampai selesai waktu liburan. Hahaha. Maklum, kebiasaan jadi parasit lagi nongol, mayann hemat biaya liburan. Hahaha.
Pada saat itu, kebetulan ada teman saya yang juga sedang liburan di Bali, sooo kami janjian untuk jalan bareng aja, secara maknyak dan rombongan udah meninggalkan hotel sebelum saya tiba, kan gak lucu juga tiba di Bali kerjanya cuma tidur dan nonton TV di kamar hotel, euhhh. Jadi kami menyewa motor untuk kami gunakan jokka, yang ternyata dapatnya mahal karena di daerah itu (katanya) jarang banget ada yang menyewakan motor, udah search di internet ternyata malah udah abis stoknya, atau malah kebanyakan di daerah Kuta. Hufftthh.
Setelah simpan tas, dan istirahat sebentar di kamar, teman saya jemput di hotel dan kami menentukan destinasi perjalanan kami yang disetujui dengan musyawarah mufakat selama berjam-jam (lebay) dengan mempertimbangkan jarak dan waktu (soalnya saat itu udah siang banget, sekitaran jam 1), dan Curly mauuu banget ke hutan monyet, sehingga akhirnya disepakati (?) bahwa kami ke Sacred Monkey Forest Sanctuary di Ubud. So, bermodalkan motor matic, bensin, GPS, kamera action, maka dimulailah perjalanan kami.
Perjalanan dari Hayam Wuruk, Denpasar ke Ubud di Kabupaten Gianyar ini memakan waktu kurang lebih 1 jam perjalanan menggunakan motor dengan jalanan yang bisa dikatakan ekstrim soalnya sampai masuk ke perkampungan warga dengan jalanan kecil dan sepi banget (Langsung kepikiran acara horror pembunuhan yang di TV-TV itu). GPSnya menunjukkan jalan-jalan tikus untuk kami lalui menuju tujuan kami, sampai sempat berpikir ini GPS gak menipu kah. Tapi, saya akui GPSnya kece. Dengan diarahkan melalui jalan tikus, saya jadi bisa melihat perkampungan orang Bali yang masih tradisional. Sepanjang jalan ke Ubud juga mata kita dimanjakan dengan toko kerajinan tangan entah itu khas Bali ataupun daerah lain. Kalo di Rantepao mungkin ini adalah pertokoannya kali yah, tapi versi panjang pake BANGET soalnya rasanya lamaaa banget di “pagari” toko tersebut sepanjang perjalanan.
Perkampungan yang Bali banget

2 Alien On the way Ubud

Setelah melalui beberapa nyasar-nyasar kecil (maksudnya salah lihat GPS) akhirnya we are here, Sacred Monkey Forest Sanctuary. Tempatnya para monyet-monyet hidup dan bermain, dan belajar, dan makan, dan minum, dan eksis. Gak usah tersinggung gitu dong kalo aku ngomongin monyet, hihihi. Untuk masuk, kami harus membayar tiket sebesar 40rb rupiah untuk satu orang dewasa, dan kalian mutar-mutarin kawasan ini sampe puas. Disini beneran monyetnya hidup dengan bebas, dan untungnya gak liar dan ganas. Kan gak lucu kalo pas ke sana keadaan lengkap tidak kekurangan satu apapun, tapi pas pulang malah ada yang hilang. Maksudnya, barang-barangnya gitu. Monyetnya juga ramah-ramah koq, buktinya mau-mau aja di foto ataupun di ajak foto, kalo minta tandatangan mungkin juga bakalan di kasi kali yah? Sayangnya gak sempat foto bareng monyetnya, si partner jalan gak asik di ajak foto, jalaannnn terus, gak ada lampu merahnya. Eeuuhh.

Jembatan kayu di Sacred MonkeyForest Sanctuary
The Prayer Monkey
Setelah “bosan aku dengan penat dan enyah saja kau gelap”, ehh kok malah baca puisi, maksudnya setelah lelah mutar-mutar (ujung-ujungnya malah gak nyambung, hahaha, adek lelah bang) kami pun berencana untuk balik. Dan musyawarah pun dilanjutkan di parkiran motor sambil menikmati minuman dingin warna hitam membura-bura (baca: coca cola) yang harga sebotolnya mencapai 10rb, padahal normalnya biasa 5rb rupiah (makanya kalo jalan jangan lupa bawa air minum gallon). Kami berdiskusi (tsahh) antara melanjutkan perjalanan atau balik ke Denpasar. Secara, saat itu sudah menunjukkan pukul 15.00 WITA dan kami galau. Mau Balik ke Denpasar, tapi nanggung banget kalo pulang jam segitu, tiba di Denpasar pasti masih sore, trus balik-balik ke hotel mau ngapain?? Pengennya tiba di hotel udah malam aja, dan langsung cium tempat tidur. Mau lanjut jalan-jalan, tapi bingung mau ke mana tempat terdekat yang kalo pulang gak kemalaman banget. Ini maunya apa sih? Gak mau tidur cepat tapi gak mau pulang malam.. ppfftthh. And finally kami memutuskan untuk ke tempat yang pengen banget di kunjungi oleh manusia peraih penghargaan galau of the year ini. Guess what di mana tempatnya?? Tadaaaaaa. Sawah.
What?? Sawah? Iyuhuuuu. Tepat sekali. Dan saya sempat protes karena kalo cuma mau lihat sawah ngapain jauh-jauh ke Bali, di kampung sendiri juga banyak sawah kalii. Lebih kece malah. Tapi demi untuk memenuhi keinginan dan hasrat teman saya satu ini yang kemungkinan lagi ngidam pengen lihat sawah (emang cowok bisa ngidam yah) akhirnya saya setuju, dan kami menuju sawah, lebih tepatnya di Tegalalang Rice Terraces, masih di daerah Ubud juga.Tempatnya masih kearah utara yang ditempuh selama 30 menit dari Hutan Monyet. Kalo ke Tegalalang jalannya lurus-lurus aja, dan mulus, dan dingin (maksudnya sejuk) karena sudah mulai menanjak jalanannya, sepertinya memang berada di dataran tinggi sih. Sepanjang jalan mata kita dimanjakan dengan penjual souvenir dan kerajinan tangan di kiri kanan jalan. Selain itu jga pemandangan lain seperti sawah, pohon, orang, motor, mobil, dan banyak lagi menjadi objek cuci mata sampai kami tiba di tempat macet, dimana banyak kendaraan di parkir di bagian kiri jalan yang tergolong jalan sempit itu, dan banyak penjual souvenir di sebelah kiri jalan juga, dan di sebelah kanann, taraaa WELCOME TO TEGALALANG.
Jadi Tegalalang itu adalah sebuah Desa di Daerah Ubud yang terkenal dengan sawahnya yang di bentuk terasering (udah bener gak sih bahasanya?) alias di susun-susun kece gitu. Ternyata tempat ini diminati para turist juga. Sesampainya di sana, kami langsung cari tempat untuk bisa melihat SAWAH di sana dengan angle yang bagus. Di Tegalalang itu banyak café di samping jalan yang viewnya mengarah ke SAWAH, jadi jangan khawatir kelaparan atau kehausan atau capek berdiri karena gak ada tempat duduk, cukup khawatir kehabisan duit aja. Hahaha. Sialnya, ternyata pada saat kami datang di Tegalalang lagi musim panen, jadi hijau sawahnya gak dapet feel-nya, yang ada malah jerami padi disusun-susun di sawah, tapi masih banyak aja bule yang ke sawah itu, bahkan sampai ke pematangnya, mau ngapain coba? Mau cari keong? Cari jangkrik? Eeuuhh. Dan saya, masih pada pendirin awal bahwa, sawah di Toraja masih lebih kece dibandingkan Tegalalang. Bedanya, sawah di Toraja gak ada café tempat nongkrongnya, yang ada gubuk tengah sawah tempat istirahat dan mengusir burung pemakan padi. Gak ada jalanan mulus tempat parkir kendaraan, yang ada adalah jalan perintis yang berbatu dan bolong-bolong yang kalo ada ibu hamil Sembilan bulan 10 hari lewat sambil naik motor di sana bisa brojol di jalan (yaeyalah, udah waktunya melahirkan kalii). Gak ada penjual souvenir di sekitarnya, boro-boro penjual souvenir, yang ada tanta-tanta mangrengnge’ baka berisi sayur babi yang lewat. Ini bukan membandingkan loh yah (walaupun kesannya membandingkan, hahaha, apasih). Tapi menunjukkan bahwa, hal simple seperti sawah aja di Bali bisa jadi daya tarik wisatawan, tapi di Toraja malah dianggurin. Hehehe. (Just opinion).
Tegalalang Rice Terraces
Penjual souvenir sepanjang jalan di Desa Tegalalang

Back to our vacation. Setelah puas, campur bosan, campur bête (ini saya yg bête karena gak di foto padahal view cafenya lagi bagus, bukan sawahnya loh yah), dan juga udah mulai gelap, kami pun kembali ke Denpasar. Pada saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 kalo gak salah. Rute yang sama yang kami lalui saat datang, dan akhirnya kami tiba di Hotel maknyak, di Denpasar sekitar pukul 19.30 WITA. Muka udah berasa lecek banget kek kaca mobil yang lewat di jalan berdebu. Euuhh. Mana lapar lagi. Hahaha. Ternyata saat kami tiba di Hotel, rombongannya maknyak belum ada, masih dalam perjalanan balik, egilee juga ini rombongan, total juga yah jalan-jalannya. Dan makan malam mereka sedang menunggu di hotel, sooo, kami sebagai alumni yang baik dan sopan kepada guru-guru kami, maka kami menunggu mereka pulang untuk bisa saling menyapa (padahal niatnya pengen numpang makan malam, Hahaha). After that, Ryan balik ke hotelnya dan saya tinggal di hotel maknya menginap.
Saya sebenarnya mau ke hotel yang sudah di booking dan sudah di BAYAR (Mau pesan kamar di hotel situ tapi gak sesuai budget, hahaha), tapi setelah terhasut oleh rayuan maknyak yang ngajak tinggal bareng di hotel itu (maksudnya numpang di kamarnya, tuh kan numpang lagi) akhirnya hatiku luluh (tapi gak lantak). Katanya maknyak, dari panitia gapapa nginap di kamar situ. Yaudahlah kalo aku di paksa, padahal gak enak aja masak mau numpang sih, tapi lumayanlah bisa saving cost. Hahaha. Parasit banget gak sih. Walaupun agak nyesal juga karena hotelnya udah DIBAYAR, untung baru sehari dibayarnya.
Lumayan seru sih perjalanan hari itu, diluar kebetean gak di foto yah. Yahh, namanya juga jalan-jalan perdana di kampung orang yang hanya bermodalkan GPS dan info internet. Mana ada insiden kamera lowbet lagi, padahal kan merekam perjalanan itu seru banget. maka jadilah kami sempat berlama-lama di salah satu café di Tegalalang. Selain untuk nongkrong, juga sekalian charge kamera. Hahaha. Naik motor siang bolong di sana juga tidak memberikan efek hitam yang signifikan loh, dan efek menyengat yang parah banget, padahal saat itu saya sedang pake celana pendek. Semesta mendukung banget deh vacation saat itu.
So, that’s my vacation on that day. And we prepare ourself for yesterday vacation.


(to be continue...)

Kamis, 25 Agustus 2016

HAPPINESS IS AROUND YOU

Dahai dan segala kebosanannya.
Tau kan Dahai itu apa? Bukan sejenis makanan ringan atau sejenis alat transportasi loh yah. Dahai itu nama desa di Provinsi Kalimantan Selatan, seperti yang sempat sedikit saya singgung di blog-blog sebelumnya. Curly di Desa?? Omegat!! Jadi kembang desa dong. Haha.
Ngapain di Dahai? Main-main. Ya kerja lah!! Bikin emosi aja.
Kenapa bisa di Desa Dahai? Kerja apa?
Huufftthhh. Mungkin mending saya berikan sedikit gambaran mengenai pekerjaan saya di Dahai yah. Okeh, buka buku gambarnya, ambil pensil dan cat warnanya. Itu menggambar anuu!! Hahaha, salah focus.
Selama setahun belakangan ini saya sudah menempati Desa Dahai, Kabupaten Balangan, Prov. Kalsel ini untuk mencari nasi bungkus yang isinya berlian. Uwewww (ngarep tingkat dewa). Saya bekerja sebagai seorang nutritionist (bahasa kerennya, ahli gizi atau bisa juga anda menyebutnya sebagai polisi makanan) di sebuah perusahaan catering yang menjadi vendor pada sebuah perusahaan batu-bara di bumi Kalimantan ini. Tsahhh, bahasa mu cewek.. Tapi orang luar kebanyakan taunya saya kerja di kalimantan yang notabene erat kaitannya dengan batu bara yang erat kaitannya dengan banyak duit, yang erat kaitannya dengan dimintain traktir dan beli sana-sini, yang erat kaitannya dengan di porotin, yang erat kaitannya dengan merasa terzalimi. (capek ngetiknya bo). Hahaha, di situ kadang saya merasa sedih. Sudah jangan nangis dulu, belum sampai pada klimaksnya loh, simpan dulu air mata(buaya)nya. *ehh.
Back to my job. Jadi kerjaan saya kan berhubungan dengan makanan, dapur, kantin, gudang makanan, soooo kehidupan saya sehari-hari ya gak jauh dari tempat itu (udah nikahable banget gak sih, hal yang berhubungan dengan dapur udah jadi makanan sehari-hari? Hahaha -_-). So, main job ku itu memastikan agar makanan yang sampai kepada klien sehat dan aman. Dengan cara, mengawasi pelaksanaan keamanan pangan di lokasi kerja mulai dari penerimaan bahan baku sampai pada makanan siap di santap. Trus saya ngapaiinnn??? To the point aja kale. Jadi ya saya ngecek di dapur mulai pagi sampai sore hari, memastikan setiap komponen-komponennya baik.
Selain berkutat dengan dapur and the gank, saya juga berkoordinasi dengan klient. Soo, gak hanya di dapur bulak baliknya, emang kita setrikaan, lagian setrikaan gak ada di dapur, adanya di laundry, hehe. Kalo paginya ngecek di dapur, siangnya kadang ke kantor klien yang jaraknya sekitar 15 menit dari kantor kami menggunakan sarana mobil. Selain kantor, di sana juga ada kantin, jadi area pengawsan saya juga ada di sana.
Kalo soal tempat tinggal, kami tinggalnya di tenda-tenda darurat. Hehe, gak ding. Perusahaan partner kerja kami menyediakan mess bagi karyawan kami yang juga satu area dengan Dapur dan kantin. Jadi kalo dari kamar ke kantor hanya di tempuh selama 30 DETIK berjalan kaki dengan kecepatan super (dalam hal ini berjalan santai, itu udah super banget menn).
Jadi kalian bisa bayangin gimana kegiatan saya sehari-hari selama berada di lokasi. Bisa gak?? Woyy..jawab woy!! Knapa diam aja? Kamu udah gak care lagi sama aku? Oke fine. Cut..cut..cut.. ini koq malah jadi cerita novel melankolis sih, kita lagi syuting drama “UTANGRAN”. *ehh focus euyy!! Maap..maap.. Jadi kalian bisa bayangkan kehidupan saya sehari-hari di lokasi.
Bangun pagi ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi ku pergi briefing, dan lanjut mengais rezeki. Eeaaa, koq malah mengeluarkan suara emas sih? haha. Jadi bangun pagi di lokasi yang sama, berangkat kerja di lokasi yang sama, ngecek di dapur dengan lokasi yang sama, makan siang di kantin dengan lokasi yang sama, istirahat siang (biasanya boboci alias bobo bobo ciantikk) di lokasi yang sama, sore hari ngecek lagi di dapur dengan lokasi yang sama, selesai kerja balik ke mess dengan lokasi yang sama. That’s it! Kalian tau defenisi “dengan lokasi yang sama” kan? Itu bisa juga diartikan sebagai “melihat orang yang sama setiap hari gak ganti-ganti gak berhenti-berhenti”. Bosen euuyyy.
Masih lebih beruntung kalo ke kantor klient di area tambang jadi masih bisa melihat wajah lain selain di area mess, yang walaupun perjalanannya kadang memuakkan dengan hanya melihat trailer batu bara dan kendaraan tambang lalu lalang di jalan hauling (jalanan khusus kendaraan pengangkut batu bara). Kadang saya masih mengeluh dengan waktu tempuh yang lumayan lama di jalan, sampai-sampai saya berpikir kalo waktu tempuh ke kantor ini di total saya bisa-bisa tua di jalan. Hal-hal seperti ini juga lama kelamaan bikin bosan, apalagi harus dialami selama 8 minggu. Manajement stress harus bener-bener baik nih, kalo gak mau pulang-pulang udah jadi penghuni RSJ.
Udah kebayang gak kerjaan, atau keberadaan saya di sini? Belum? Mungkin anda harus mengalaminya sendiri, dan saya hanya bisa bilang, selamat yah!! Hahaha. Kadang saya berpikir untuk menyerah dengan melambai-lambaikan bendera putih ke kamera di sbelah sana dan di sebelah sana (pikir sendiri kameranya di mana) dan mencari kerja di tempat yang lebih terbuka dan tidak terisolasi seperti di sini. Sayangnya, saya gak menemukan kamera satupun jadi gak bisa melambaikkan tangan jadi gak bisa menyerah. Haha. Gak boleh menyerah intinya, tsahhh. Mulai mata berkaca-kaca, narsis juga ini mata sukanya ngaca mulu. Haha.
Bekerja di lokasi dengan jadwal kerja 8 2 (8 minggu pulllll di lokasi darii Senin Minggu dan 2 minggu libur, pulkam, liburan, eksis) suatu tantangan tersendiri buat saya, wanita, anak mami yang awalnya gak mau dilepaskan ke alam liar jauh dari mamak bapak. Saya orang yang tidak terlalu suka dengan hal yang itu-itu saja, aliasnya cepat bosan. Tapi kalo sama kamu aku gak akan bosan koq bang, haha. FOKUS EUYY!! Hahaha. Tantangannya wwarbiassaaahhh men,, apalagi dengan tantangan pekerjaan yang lumayan menguras tenaga dan pikiran, maka sempurnalah.
Kadang saya bosan dengan hal-hal konsisten yang setiap hari di temui itu. Sooo, sebagai manusia yang gak mau terhimpit dalam keadaan seperti itu (tsahhh, bahasanya men), sebagai orang kece nan kreatif, saya berusaha menikmati nikmat Tuhan yang ada disekitarku. Like what??
Tau gak sih, langit pagi, embun pagi, pohon, pelangi, awan, sunset, bahkan kucing bisa menjadi sesuatu yang menarik bagi saya. Berhubung saya suka cekrek-cekrek, yang dengan SOKnya ku katakana sebagai “scenery hunter” jadi objek tadi itu difotoin sana-sini, trus upload instagram. Iyah,, jadi generasi nunduk aja di sini (generasi nunduk = nunduk memandangi HP). Bagi saya pekerja lokasi, memiliki android, baterai full, dan kuota memadahi itu sudah menjadi penyelamat di tengah tekanan kerja yang warbiassaahhh berat. Dikit-dikit, cekrek, upload, tulis ‘koran’ (Istilahnya Batara). Pokoknya berusaha melihat sesuatu yang menarik diantara hal yang itu-itu aja setiap harinya. Dan hebatnya, itu menyenangkan banget.
Kalo udah bosan dengan rutinitas sehari-hari, kadang saya di dalam kantor aja duduk, trus selfi-selfi gak jelas -_-. Atau saat sore hari, menuju kantor, dan harus melewati teriknya matahari yang sukses bisa bikin belang, kadang bayangan saya di jalan tiba-tiba menjadi menarik (untuk di foto). Hehe. Saya termasuk orang yang suka langit jadi pemandangan yang disuguhkan langit setiap sore menjadi obat letih, entah itu di lihat dari teras kantor, atau saat jogging. Iyah, di sini saya kadang jogging, biar badan tetap bugar *eaa meningkatkan aktifitas fisik maksudnya.
Pada saat jogging inilah kadang banyak objek yang menarik perhatian, jadi kalo ke lapangan basket untuk jogging, selain bawa hape kadang juga bawa kamera (kamera action KW super yah, pengennya sih bilang kamera DSLR tapi belum kesampean belinya, hihihi). Entah itu genangan air, entah itu ujung pohon yang berjejer di samping lapangan, entah itu sepatu ku yang kadang kelihatan kece banget kalo di foto, bahkan menunggu matahari terbenam pun pernah saya lakukan. Habis jogging, kebetulan langit sore lagi kece banget, warna orange kece parah (maap, eike pecinta sunrise), jadi disitulah saya duduk selonjoran di atas rumput menikmati sunrise (sambil di videokan tentunya) yang selanjutnya akan di posting ke instagram sambil meluncurkan kemampuan membuat captionku (kemampuan buat Koran lebih tepatnya). Semenjak kejadian sunset itu, jogging sudah bukan menjadi tujuan utama saya ke lapangan. Itu hanya modus dengan tujuan sebenarnya adalah ‘mengejar matahari’ (pinjam istilah lagu yah). Kadang saya gak enak sih sama jogging hanya menjadi alasan sampingan aja, entah gimana perasaannya. Apacih!! Sayangnya setelah momen mendapatkan video matahari terbenam itu, matahari sudah gak kece lagi kalo sore, adanya malah dapat catching sunset gagal.
Setelah jogging, atau setelah matahari terbenam lebih tepatnya, saya balik kamar. Nah, seperti malam-malam seperti biasanya yang biasanya langit gelap, yaeyalahhh!! Maksudnya dimana kegiatan ku ya biasanya langsung masuk kamar. Bukan gak mau bersosialisasi yah sama bapak-bapak di ruang nonton (maklum, eike yang paling cantik tiada saingan di mess ini). saya Cuma gak suka aja terpapar asap rokok, baunya itu loh, gak kece banget, lagian siapa juga mau ngisaip asap bekas dari paru-paru orang, eeuuhhh. Jadi sebisa mungkin saya hindari lah, toh kalo ada fans yang mau minta foto dan tandatangan bisa langsung ketok pintu kamar. Hehehe. Selain rokok, PS juga menjadi kendala saya gak bisa nonton. Yuhuu, permainan sejuta pria sepertinya ini. jadi kadang, sepulang dari kantor, kalo udah tiba di mess itu, pasti bapak-bapak ini udah pada ramai olahraga, entah itu olahraga seluruh tubuh atau olahraga jempol (baca: main PS). Jadi kalo udah tiba, udah ada aja minimal 2 orang main sepak bola di mess (via PS maksudnya), itu kadang sampai malam, paling berhenti buat shalat dan makan malam doang. Kan gak mungkin saya duduk ongol tontonin orang main PS. Masih lebih nyaman kamar ku kemana-mana keless.
Tapi gak berarti saya memingit diri (istilah apa sih ini?0 di kamar secara terus-terusan loh. kadang kalo pengen banget nonton, yaa aku nonton. Bodo amat yang lain mau main PS, saya Cuma bentar doang kali pegang remote. Hihihi. Penjajahan dimulai. Tapi itu gak lama koq, paling 2-3 jam aja. Lama? Dibandingkan mereka yang main PS dari sore sampai malam coba?? Pembelaan tingkat tinggi banget. Kalo beneran malas nonton, yaudah dikamar aja. Melahap novel-novel yang sengaja di bawa untuk menemani Curly di kamar. Kalo udah baca di kamar, udah malas mau ngapa-ngapain dah. Mager stadium 8. Hahaha.
Kalo lagi bosan banget di mess, kadang saya dan teman kerja lain jalan-jalan ke kota terdekta. Entah itu Kota Tanjung atau Paringin. Entah itu hanya sekedar cuci mata, nongrong or ngopi, makan di luar, yang penting keluar dari tempat ini untuk sementara waktu dah.  Untungnya lokasi berdekatan dengan kota, tinggal bermodalkan driver aja trus bisa melepas penat ke sono. Sekali lagi, kadang ke kota terdekat itu sambil bawa kamera (kamera action KW super per), lumayan dapat sesuatu yang bisa di abadikan. Hihihi.
Jadi, hal seperti itu yang saya lakukan selama 8 minggu. Bayangin, orang yang cepat bosan kek saya harus menghadapi 8 bulan itu. But, Happines’ Around You. Hal-hal menyenangkan itu ada koq di dekat kamu, tinggal kamu perhatikan dengan baik-baik saja. Hanya kamu yang bisa menciptakan kebahagiaan itu. Saya? Dengan hal-hal kecil dan biasa itu. I try to enjoy my life.

Pokoknya HP, Baterai Full, kuota banyak, HIDUP DAH DI LOKASI..
Happy working.


Dahai, 25 Agustus 2016
Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts