Selasa, 22 Maret 2016

PEMALI NA TORAYA

Saya lahir di daerah di mana adat istiadat masih sangat dijunjung tinggi, Tana Toraja. Tapi saya juga lahir di mana modernisasi sudah merangkak masuk ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Dan saya juga lahir dalam keluarga di mana pemali masih sering di kumandangkan.
Pemali.
Sebuah paham dimana ada sesuatu yang tidak boleh dilakukan karena apabila hal tersebut dilanggar maka dipercaya akan membawa petaka kepada yang bersangkutan, dan ini sudah menjadi pesan turun temurun dari nenek moyang.
Sebagai anak yang sudah terpapar modernisasi, kadang saya tidak percaya dengan pemali itu, apalagi sekarang kita sudah memeluk kepercayaan, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, ketidakpercayaan itu terbentur dengan orang tua yang sampai saat ini masih kadang mempercayainya.
Beberapa pemali yang pernah saya dengar dari orang Tua.
Kalo baru bangun tidur, jangan duduk di tangga, ntar bisa ditendang bombo (setan). Itu kata2 nenek dulu, tapi sekarang saya paham kenapa gak boleh. Jadi penjelasannya, saat anda baru bangun tidur (terutama org dulu yang bangunnya subuh) tingkat kesadaran kita masih belum sempurna, jangan sampai anda duduk di tangga dalam keadaan masih mengantuk, dan karena kesadaran masih berkurang anda akhirnya rebah. Jatuh ke hati aku, ehh, maksudnya jatuh terguling2 di tangga.
Gak boleh duduk di depan pintu, nanti berkat gak masuk ke rumah. Ini mah karena alasan kita nutupin jalan aja yah. Pada saat kita duduk di pintu, akses untuk lewat akan lebih kecil sehingga susah untuk melewati pintu dan kita akan menghalangi orang yang akan lewat. Jadi alasannya supaya kita tidak menghalangi akses di pintu, utamanya pintu hati adek tidak akan tertutup buat abang. 
Ayah saya juga pernah berkata, jangan meletakkan gayung di air dalam bak kamar mandi, nanti rezeki kita terombang-ambing kek gayung di air tersebut. Rezekinya gak tetap. Tapi jangan sampai jodoh juga terombang-ambing ding . Tapi saya selalu mencari alasan yang bisa di terima logika, tapi kalo soal cinta lain lagi yah, kadang-kadang tak ada logika. Jadi alasan yang bisa saya terima adalah gayung kalo keseringan terendam akan kotor dan di tumbuhi lumut, jadi bersihkannya susah. Gayung aja bisa di tumbuhi lumut kalo lama gak dibersihkan, apalagi hati. *ehh  Jadi gitu.
Namun ada satu pemali yang masih belum dapat saya pahami dan masih sering di terapkan di keluarga saya. Kedua orang tua saya sangat melarang apabila kami akan meninggalkan rumah bersamaan dengan arah yang berbeda, misalnya satu ke utara dan salah satunya ke selatan. Saya mengalaminya secara langsung. Saat itu saya sekeluarga di Makassar dalam acara wisuda adik. Setelah kegiatan berlangsung, kami berencana kembali ke daerah masing-masing, orang tua kembali ke Toraja dan saya kembali ke Kalimantan. Penerbangan saya ke Balikpapan pada saat itu pukul 13.00, dan pada hari yang sama orang tua dan keluarga yg lain juga akan kembali ke Toraja. Berhubung tiket pesawat saya sudah tidak bisa diundur dan keluarga juga sudah harus balik Toraja pada saat itu maka di aturlah jadwal keberangkatan. Tssaaahhhh.. 
Akhirnya diputuskan bahwa orang tua saya harus berangkat subuh dari Makassar agar diperhitungkan bahwa mereka tiba di rumah dulu baru saya berangkat dari Makassar. Dengan estimasi waktu 8 jam perjalanan dari Makassar - Toraja maka mereka berangkat pukul 05.00 pagi agar tiba di Toraja sebelum pukul 13.00 (waktu penerbangan saya).
Di lain waktu, saat itu saya sedang libur dan pulang ke Toraja. Karena ada kegiatan yang ingin saya ikuti di Makassar sehingga saya berencana mempercepat kepulangan sy ke Makassar. Setelah saya menjadwalkan waktu kepulangan ke Makassar,  ternyata sehari sebelumnya ayah saya akan berangkat ke Toli-Toli, dan perjalanan darat ke Toli-Toli di tempuh selama kurang lebih 2 hari. Dengan kata lain, ayah saya belum tiba di tempat tujuan sementara saya sudah akan berangkat lagi. Dan itu tidak boleh dilakukan. Sooo, saya harus menunggu beliau tiba di Toli-Toli dulu baru bisa berangkat ke Makassar.
Kadang saya merasa pemali ini terlalu merepotkan. Saya pernah sharing dengan indo' saya tentang hal ini. Saya bahkan menyampaikan bahwa, kita sekarang udah percaya pada Tuhan, hidup mati kita di tanganNya, kenapa masih percaya dengan pemali seperti itu. Beliau memberikan jawaban bahwa ada memang 'pepasan tomatua' istilahnya (pesan dari nenek moyang) yang sebisa mungkin tidak kita langgar karena biar bagaimana pun mereka pernah mengalaminya sehingga menyampaikan pesan tersebut kepada anak-anaknya. Entahlah. Dan sekarang saya juga melakukan itu, tapi alasannya lebih kepada saya gak mau orang tua kepikiran karena melanggar pemali. Itu aja, gak lebih.
Tapi satu hal yang saya pegang teguh, pemali to ke pabali-bali ki lako tomatuan ta.
Meoli ko toraya.
Balikpapan, 220316

Rabu, 16 Maret 2016

MAHAVIHARA BUDDHAMANGGALA BALIKPAPAN

Jangan berpikir kalo saya lagi jalan-jalan ke Thailand. Mohon dengan sangat jangan terlalu jauh pemikirannya . Bahkan kalo saya mau bohong pun kalo ini di Thailand gak bakalan bisa karena udah ada Ahli Analisis Informatika dari Kerajaan Sahabat (dengan hormat saya sebut inisialnya “PIA”) yang bakalan membongkar kebohongan sampai ke akar-akarnya.   Walaupun yahh salah satu harapan saya adalah jalan-jalan ke luar negeri (tolong di aminkan kalo perlu di like dan dan di share, maka berkat melimpah akan menghampiri anda. Hehe).  Masih dalam negeri koq, tapi bukan di Lombok juga, masih terlalu jauh untuk ke sana, budget liburan belum cukup. Tempat ini terdapat di sebuah kota kecil yang dijuluki sebagai ‘Kota Minyak’, Kota Balikpapan. Sebuah kota yang secara territorial tergolong kecil tapi ternyata menyimpan keindahan yang tidak bisa di pandang sebelah mata. Tsaahh. (Masih dalam proses pembuatan artikel yang serius).

Beberapa hari lalu, saya dan teman menemukan sebuah postingan di Instagram tentang suatu tempat wisata di Balikpapan. Mahavihara Buddhamanggala nama tempat tersebut. Menurut informasi yang kami dapatkan dari hasil browsing, tempat tersebut adalah tempat ibadah Agama Buddha.
Kami mengumpulkan seluruh informasi  mengenai tempat tersebut. Akhirnya dengan kemampuan smartphone yang ada, kami berhasil mendapatkan info mengenai lokasi, syarat masuk lokasi, akses, dan waktu berkunjung ke lokasi tersebut.


Mahavihara Buddha Manggala merupakan sebuah vihara yang berlokasi di Jl. M.T. Haryono, RT. 033, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur Indonesia. Lokasi ini sebenarnya sangat berdekatan dengan lokasi tempat tinggal kami pada saat ini sehingga dari tempat tinggal ke lokasi vihara dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki, namun karena kami belum tahu lokasi pada saat itu maka kami mengendarai angkot dengan membayar 5rb rupiah/orang. Tidak ada jalur angkot ke vihara tersebut . Untuk mencapai lokasi dapat ditempuh dengan  naik motor, mobil pribadi, atau berjalan kaki. Berhubung tempatnya belum tahu, maka kami menyewa angkot khusus untuk mengantarkan ke lokasi  vihara. Padahal ternyata dekat banget kalo mau jalan kaki, hanya sekitar 100 meter dari jalan utama.
Papan Selamat Datang di Mahavihara Buddha Manggala

Sesampainya di lokasi Vihara, kami di sambut oleh penjaga Vihara yang menanyakan maksud dan tujuan kami ke Vihara tersebut. Dari si penjaga Vihara kami mendapatkan informasi mengenai peraturan-peraturan yang harus di taati selama berada dalam lokasi Vihara, salah satunya adalah berpakaian yang sopan. Salah satu rekan kami terpaksa harus kembali untuk mengganti pakaian karena menggunakan celana pendek. Selain itu, ada beberapa peraturan tertulis yang di berikan dan harus di pahami sebelum memasuki area Vihara, diantaranya :
1.    Dilarang masuk ruangan Dhammasala (Buddha tidur), kecuali ibadah.
2.    Dilarang memanjat/menaiki arca-arca/patung-patung
3.    Dilarang masuk area/halaman Kuti utama
4.    Dilarang memetik bunga/merusak tanaman
5.    Alas kaki mohon dilepas ketika berada di area Candi dan Stupa
6.    Jagalah ketertiban dan kenyamanan serta kesopanan di tempat ibadah. Terima kasih.
Si penjaga sangat menekankan pada peraturan nomor 1 dan nomor 5. Untuk peraturan nomor 1, si penjaga menekankan bahwa yang masuk hanyalah untuk orang yang akan beribadah, jika tidak melakukan peribadatan maka tidak boleh masuk (saya rasa peraturannya sangat jelas). Namun, apabila ingin melihat patung Buddha tidur atau ingin mengambil gambar, pengunjung hanya boleh sampai di pintu masuk saja, tidak boleh menginjakkan kaki di ruangan. Selain memasuki ruangan Buddha tidur, si penjaga juga menekankan pada peraturan nomor 5, melepaskan alas kaki pada area Candi dan Stupa. 
Peraturan tertulis bagi pengunjung Mahavihara Buddha Manggala

Selain mendapatkan informasi mengenai peraturan di Vihara, kami juga harus mengisi buku tamu di pos tersebut. Bapak penjaga juga menyampaikan informasi jadwal kunjungan di Vihara tersebut. Lokasi ini dibuka untuk pengunjung setiap hari Senin-Sabtu pukul 08.00-17.00, dan pada hari Minggu pukul 14.00-17.00. Kemungkinan jadwal kunjungan ini di luar hari raya keagamaannya. Oyah, untuk masuk ke lokasi ini tidak di pungut biaya sepeser pun, yang penting anda menjaga ketertiban dan kebesihan aja, dan jangan lupa menaati peraturan yang sudah diberlakukan. Setelah mengisi buku tamu, perjalanan pun di mulai.

Dari pos penerimaan tamu, stupa dengan warna emas sudah begitu menarik perhatian kami. Melewati jalanan menanjak menuju stupa, pikiran saya pada saat itu hanya satu. Di mana kami harus melepaskan alas kaki. Sesampainya di ujung tanjakan, bangunan stupa semakin jelas dengan patung yang berdiri di depannya, dan kami masih mancari papan informasi mana yang memberikan tanda untuk melepaskan alas kaki. Namun mata saya tertuju pada sebuah papan peraturan yang berada di sebuah taman. Peraturan tersebut lebih spesifik dibandingkan yang kami dapatkan di pos tadi.
Papan peraturan di Wilayah Mahavuhara Buddha Manggala

Jujur, peraturan ini tidak saya baca saat berada di lokasi karena otak saya hanya mencari tulisan “alas kaki di lepas”. Pada saat menulis postingan ini baru saya baca baik-baik peraturan ini dan ternyata peraturan ini lebih spesifik. Harusnya di baca dulu sebelum melangkahkan kaki ke tempat suci ini.
Peraturan ini berhadapan dengan stupa, sehingga setelah mencari tulisan “alas kaki di lepas” pada peraturan ini dan tidak ada, kami memutuskan untuk mendekati stupa.
Landscape Wilayah Mahavihara Buddha Manggala

Di depan stupa tersebut terdapat undakan dan kolam yang berisi bunga teratai. Area kolam sampai stupa tersebut adalah area suci sehingga di area itu alas kaki sudah harus di buka. Jangan khawatir, ada informasi untuk melepaskan alas kaki koq. Yahh, walaupun lantai nya itu panas banget, soalnya langsung kena matahari. Tapi untungnya saat kami datang ke sana, cuaca sedang tidak terlalu panas.
Tanda Larangan Menggunakan Alas kaki

Batas Alas Kaki


Satu hal yang menarik perhatian saya adalah, ukiran pada kolam dan lantainya yang menurut saya unik, hanya saja saya tidak tahu apa maksud dari ukiran tersebut. Tidak ada guide yang menjelaskan tentang tempat ini.

Setelah melepaskan alas kaki, kami memasuki area stupa dan naik sampai ke depan stupa tersebut. Ukiran-ukiran dan desainnya memanjakan mata banget. Suasananya sangat berbeda, seperti berada di sisi lain Indonesia. Selama ini saya yang bergaul di daerah dengan mayoritas Kristen dan Islam, memasuki tempat ini di suguhkan dengan kenyataan bahwa Indonesia kaya dengan ragam budaya dan kepercayaan. So I proud to be a part of this country. Selayaknya para traveler, yang kemudian akan saya sebut sebagai tukang jalan, tentunya kami mencari angle yang bagus untuk mendokumentasikan perjalanan kami kali ini. Banyak spot yang dapat dijadikan pilihan sebagai latar belakang foto. Namun perlu diingat bahwa tempat ini memiliki peraturan yang harus di patuhi, salah satunya adalah dilarang memanjat stupa. Jadi pastikan saja saat anda berkunjung ke sini untuk tidak memanjat atau berdiri di atas stupa.

Setelah puas mengambil gambar di depan stupa, kami melanjutkan perjalanan ke belakang stupa. Di bagian belakang terdapat 2 buah kolam yang di pisahkan oleh jalan menuju candi. Saya pikir kolam itu tidak ada isinya, namun setelah semakin mendekat ternyata di dalam kolam tersebut terdapat kura-kura. Belasan kura-kura berenang di dalam kolam tersebut. Saya gak tahu apa makna dari kura-kura yang diletakkan di belakang stupa tersebut karena sekali lagi, gak ada guide yang memberikan informasi mengenai hal itu di tempat ini. Namun dari yang saya search, kura-kura bagi umat Buddha adalah simbol umur panjang. Kura-kura di kolam ini juga sangat ramah, malam terkesan agresif. Saat saya mendekati kolam, mereka berbondong-bondong menuju ke arah saya, dan saat tangan di turunkan dekat kolam mereka mengangkat kepala seakan ingin menerkam. Singa kali menerkam.
Kolam Kura-Kura

Kura-Kura Mendekat

Aturan tertulis diterapkan di tempat ini untuk mengingatkan para pengunjung untuk tetap menjaga kenyamanan Vihara ini. salah satunya adalah larangan untuk mencoret dinding vihara.
Informasi Larangan mencoret di Belakang Stupa

Di belakang Stupa tersebut terdapat bangunan candi yang kemungkinan juga dijadikan sebagai tempat berdoa. Di area candi ini, pengunjung diharapkan untuk tidak menginjak rumput, ada jalan khusus yang diberikan apabila ingin memasuki area candi. Selain itu larangan untuk memanjat juga di tuliskan di area tersebut.
Larangan Menginjak Rumput dan Memanjat Candi
View Candi 

Di sebelah kiri candi terdapat jalan setapak menuju bangunan yang bernama “Area Kuti” namun pengunjung dilarang memasuki area tersebut. Terlihat dari papan larangan melintas ke area tersebut.

Larangan Memasuki Kuti Area (Tampak Samping)

Larangan Memasuki Kuti Area (Tampak Depan)



Setelah puas dengan pesona yang diberikan oleh stupa dan candi, kami melanjutkan ke sebuah gedung di sebelah kiri stupa. Saya kurang tahu gedung itu fungsinya untuk apa, soalnya pintunya tertutup. Setelah puas dengan bentuk-bentuk candi dan stupa yang memanjakan mata, kami pun segera menuju ke tempat tujuan kami dari awal yang di simpan-simpan biar penasarannya numpuk, yaitu patung Buddha tidur. Berhubung sesuai informasi dari penjaga tadi bahwa kami tidak boleh memasuki gedung tempat Patung Buddha Tidur, maka kami pun hanya dapat melihat dan mengambil gambar patung tersebut dari luar ruangan.
Patung Buddha Tidur

Finally, keliling-keliling di Vihara udah selesai, lumayan capek lah. Apalagi jalannya bareng si Adelia yang super aktif tapi ngegemesin. Keringat yang udah di produksi udah berliter-liter, beluum lagi si kacuping minta dinyanyiin lagu twinkle-twinkle sementara dia muter-muter di atas kursi kayu. Setidaknya kami sudah melanggar salah satu peraturan tertulis yang disampaikan sebelum masuk tadi, yaitu pada point terakhir. Keributan bisa menimbulkan ketidaknyamanan kan? Iyuhuuu.. Berkat kacuping kecil Adelia yang di sepanjang tempat selalu ribut dengan panggilan andalannya “woii” atau “hei kawan” atau “guys”, membuat suasana jadi gak pernah diam, kecuali saat dia bilang “sssttt”. Dan badan gempalnya yang lari ke sana ke mari hanya untuk lihat rusa atau kura-kura dan manjat sana sini membuat perjalanan kali ini membutuhkan keringat extra. :D Maklum, anak kecil. Hanya saja belum ada teguran selama di dalam, berarti frekuensi suara si kacuping ini masih berada dalam batas normal dong yah. Jadi saya sarankan, dalam melakukan perjalanan ke tempat wisata, gak usah bawa anak kecil terutama bagi yang tidak sanggup menjinakkannya :D. Apalagi jika belum tahu peraturan di tempat tersebut. Berhubung kami masih bisa menghadapi si kacuping kecil unyu-unyu ini, jadi perjalanan masih bisa dinikmati dan aman terkendali.

That was our best picture. Maksudnya foto versi lengkap yah. Di telinga kami itu ada bunga sementara tadi ada peraturan gak boleh memetik bunga kan? Tapi tenang aja, kami bukan pengunjung yang tidak taat aturan. Bunga itu udah gugur dan berhubung kami orang yang tidak tega melihat sesuatu tergeletak terkulai lemah di tanah, akhirnya kami ambil dan manfaatkan untuk jadi property. Hehehe. Setelahnya kami balikin lagi koq bunganya, di tempat sebelumnya ia tergeletak.

Kamipun mengakhiri perjalanan kami siang itu. Harapan saya untuk tempat ini adalah, semoga ada pemandu yang bisa menjelaskan mengenai tempat ini agak para pelancong juga dapat memahami tentang Mahavihara Buddha Manggala.

Happy Holiday.

Balikpapan, 1603116

Rabu, 09 Maret 2016

Gerhana Matahari – 09 Maret 2016

Merasakan yang namanya gerhana matahari total yang katanya terjadi seiap 33 tahun sekali adalah suatu anugerah yang luar biasa. Bukan anugerah karena ada uang jatuh dari langit setelah gerhana, hidup bukan semata hanya tentang uang men (jiahh). Bukan juga karena ada ekkim cone langsung nongol di depan hidung pas gerhananya muncul, anugrah juga gak hanya dinilai dari ekkim cone tapi bisa juga dari ekkim hulla-hula rasa kacang ijo. Anugerah karena Curly masih bisa merasakan kemahabesaran Tuhan Sang Pencipta segala yang ada termasuk benda-benda langit yang menunjukkan pesonanya pagi ini. Benda langit yang berputar di tata surya dengan kecepatan dan panjang lintasannya masing-masing, yang mengitari satu pusat tata surya tanpa pernah saling bertabrakan. Menurut penjelasan dari ahli astronomi, hal itu dapat terjadi karena adanya garavitasi matahari dan juga karena  setiap planet sudah memiliki orbit atau lintasannya masing-masing yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga tidak bertabrakan.


Fenomena gerhana matahari ini pertama kali Curly rasakan seumur hidup. Fenomena yaitu pada saat bulan akhirnya dapat segaris dengan matahari dan bumi, atau bumi yang dapat segaris dengan matahari dan bulan ? Atau Matahari yang akhirnya dapat segaris dengan bulan dan bumi? Ahhhsyudahlahh.. Intinya adalah mereka berada pada 1 garis lurus yang mengakibatkan sinar matahari ke daerah yang dilintasi bulan menjadi terhalang sehingga terjadilah gelap selama beberapa waktu. Ceritanya bulan dan matahari akhirnya bertemu. (Matahari ama bulan aja udah ketemu, kita kapan? :D)

Postingan-postingan tentang GERHANA Matahari Total yang disingkat orang-orang menjadi GMT udah menyebar ke mana-mana. Sempat envy juga setelah melihat mereka bisa mendapatkan moment memotret gerhana matahari, entah itu yang total ataupun yang hanya dapat GMS (Gerhana matahari sebagian kan? :D). Bahkan ada yang berhasil mengabadikan moment gerhana yang mirip cincin, saya jadi mikirnya itu cincin kawin, kan jadi baper :D. 
Ada-ada aja yang buat meme. :D

Back to envy. Iyah, saya envy dengan postingan foto-foto orang-orang yang berhasil memotret penampakan gerhana pada saat itu. Jadi di tempat saya sekarang juga dilewati oleh lintasan bulan dan kabarnya di sini juga bakalan jadi gerhana matahari total. Saya udah menyiapkan segala macam peralatan untuk mengabadikan momen itu, yaitu kamera HP Xperia E4 5MP untuk memotret, sandal jepit warna kuning punya orang mess untuk jalan ke parkiran mess, dan kacamata minus ku (yaiyalah pake kacamata, ntar nabrak lagi kalo gak pake). Itu persiapan saya menyambut gerhana ini. Oyah, gak lupa saya juga sarapan demi memenuhi salah satu dari 13 pesan dasar gizi seimbang dan tentunya untuk mengisi perut demi energi yang cukup untuk mendapatkan moment gerhana. Gimana? Luar biasa kan persiapannya? Tapi sayangnya langit Dahai, Kec. Paringin, Kab. Balangan, Kalsel lagi gak bersahabat. Mendung semendung-mendungnya. Pagi hari yang udah mulai cerah, ternyata pas lagi sarapan mendung datang berbondong-bondong. Kemakan karma deh kayaknya, soalnya kemarin saya sempat ngomong gini, “Orang Singapura udah berbondong-bondong ke Belitung pake kapal pesiar buat nonton gerhana matahari, pas tiba di Belitung ternyata mendung, HAHAHAHAHA, gigit jari deh.” Sekarang? Karma really exist. Daerahnya curly deh yang dapat mendungnya.

Namun, walaupun gerhananya gak kelihatan, namun momentnya bisa saya rasakan. Moment di mana pagi hari pukul 08.30 yang biasanya matahari lagi terik-teriknya dan cerah-cerahnya tiba-tiba suasana berubah mencekam alias berubah gelap. Bukan suasana gelap kalo kek mau turun hujan, tapi gelap yang udah malam gitu. Bener-bener malam, berasa udah kek jam 8 malam gitu. Kemudian mungkin ada beberapa menit gelap, suasana kembali berubah terang dan itu dalam jangka waktu yang sebentar banget. Rasanya gimanaaaa gitu yah. Kek kamu lagi nonton video matahari terbit yang kecepatannya ditingkatkan 4 kali lipat. Mata saya pada saat itu seperti dipaksa untuk cepat beradaptasi dengan perubahan cahaya secepat itu. Inikah rasanya?? (Ketahuan nih angkatan tahun berapa)
Mungkin seperti ini yang yang dirasakan oleh ibu saya saat pertama kali merasakan gerhana matahari total di Kota Ujung Pandang (sekarang Makassar, Sulsel) 33 tahun lalu, tepatnya pada tahun 1983 (menurut ingatan beliau). Beliau dengan excited menceritakan bahwa suasana pada saat itu benar-benar gelap bahkan ayam pun langsung kembali ke pohon. Mungkin mereka berpikir pada saat itu sudah sore yah. Itu yang paling saya ingat dari kisah beliau dan baru saya rasakan saat ini, yang berulang-ulang disampaikan sampai saya kadang bosan. Ampun ma’. :D

Emang bener yah kata seseorang yang berkicau di twitter yang mengatakan bahwa ‘gerhana itu gak bisa di ceritakan, harus dirasakan sendiri’. Walaupun saya sudah berulang kali mendengarkan kisah Ibu Martha dan gerhana (kek judul cerita dongeng yah?) namun saya baru benar-benar merasakan sensasinya pada pagi hari tadi. It was amazing.

Dahai, 090316 

Sabtu, 05 Maret 2016

Mulutmu, [........] mu

Ironis.
Miris banget melihat keadaan mulut-mulut sekarang yang sudah sangat gampang mengeluarkan kata-kata kutuk alih-alih mengucapkan kata-kata berkat.
"Anjing"
"Anjrit"
"Bego"
Dan lebih miris lagi saat mengetahui bahwa yang berbicara ini bukan supir angkot, bukan preman pasar, bukan orang-orang yang mungkin sudah di cap WAJAR jika mengatakan kata-kata tersebut.
Tapi seorang orang tua yang notabene akan menjadi panutan bagi anak-anaknya, seorang atasan yang akan dinilai oleh bawahannya, seorang yang memiliki jabatan penting yang akan menjadi contoh bagi rekan kerja atau bawahannya.

Entahlah.

Bukan hanya itu. Rasanya sekarang sopan santun sudah tidak di kenal lagi. Seakan sudah menjadi sesuatu hal yang asing.
Sering saya dengar saat atasan dari pusat datang ke lokasi mereka saling memanggil 'gue-elu'. Okelah, mungkin mereka sudah akrab yah, tapi mungkin bisa di kondisikan lah bahasanya. Dan paling gak saya suka dengernya adalah, dia yang bisa dikatakan seumuran dengan saya malah ngomong 'gue-elu' ke atasan di area yang bisa dikata seumuran dengan ayah saya. Menurut saya bener-bener gak sopan banget.

Apa yg saya pikirkan sekarang? Bagaimana nanti seandainya mereka mendengar anak-anak mereka berkata demikian kepada mereka? Mereka akan marah, tersinggung, gak terima, atau malah biasa-biasa aja?

Saya ingat dulu, bagaimana orang tua sangat tidak terima saat anak-anak memanggil orang tua bahkan kakak mereka dengan sebutan 'KAU' (Saya dari suku Toraja yang sangat menekankan hormat kepada orang yang lebih tua. Panggilan KAU untuk orang yang seumuran atau lebih muda, dan KAMU untuk orang yang lebih tua atau dirasa perlu dihormati atau yang memiliki jabatan lebih tinggi). Kami sebagai anak-anak pasti akan langsung di tegur dan di suruh mengulangi dengan panggilan yang seharusnya. Bukan hanya saat dulu saja kami diajarkan seperti itu, tapi sekarang juga di daerah saya masih menekankan pentingnya mengajarkan anak-anak mengenai sopan santun dalam berbicara.

Terserahlah yah kalo melalui tulisan ini saya dikatakan katro, gak gaul, atau gimana. Tapi saya masih tetap berpegang pada adat yang masih menjunjung tinggi sopan santun. Karena melalui mulut kita bisa menjadi berkat, dan melalui mulut juga kita bisa menjadi batu sandungan bagi orang lain. Karena melalui tutur kata orang dapat menilai bagaimana hidup kita.

Anda memilih yang mana?

Lokasi kerja, mess kamar nomor 2, 050416.

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts