Rabu, 16 Mei 2018

(Per)jalanan Ekstrim nan Indah di Pedalaman



Ngomong soal jalanan, kita ngomong tentang fasilitas suatu wilayah. Ditempatkan di Desa Padang Alang, Kec. Alor Selatan, Kab. Alor, Prov. NTT ini, membuat saya sangat bersyukur karena bisa belajar sekaligus praktek berbagai jenis alat transportasi beserta sarana transportasi yang ada di Indonesia sampai detik ini.

Sejauh ini ada beberapa jenis alat transportasi yang akrab dengan saya selama berhubungan dengan Puskesmas Padang Alang di Alor.
1.      Kaki



Sebelum berangkat ke sini, kami sudah diberitahukan bahwa kami akan lebih banyak berjalan kaki di lokasi kerja. Ternyata emang bener, bukan lebih banyak lagi. SEMUA kegiatan dilakukan dengan jalan kaki, mulai dari bangun pagi sampai tidur lagi. Dari kamar ke WC jalan kaki, dari WC ke dapur jalan kaki, dari dapur ke teras jalan kaki, dari teras ke Puskesmas jalan kaki (lokasinya kan di depan mess), dari Puskesmas ke rumah warga jalan kaki, dari dusun satu ke dusun lain jalan kaki. Masih biasa? Yang antimainstream bagi saya adalah untuk ke posyandu di desa pelayanan yang jaraknya jauh pun tidak luput dari jalan kaki. Sehat kan?



Sebulan pertama di lokasi, saya merasakan alat transportasi yang bernama “kaki”. Kalau selama ini mungkin saya agak tidak menaruh perhatian pada kaki, di sini saya betul-betul bersyukur sudah punya kaki yang untungnya kuat untuk melangkah dari satu Posyandu ke Posyandu lainnya, dari satu desa ke desa lainnya, untungnya bukan dari Puskesmas ke Puskesmas lainnya, haha, mungkin saya sudah angkat bendera putih atau melambaikan tangan ke kamera kalo harus seperti itu. Puskesmas kami, Puskesmas Padang Alang, memiliki wilayah pelayanan yang mencakup 4 Desa. Keempat desa itu jaraknya dekat, kalo bisa ber-apparate (Potter mania tahu nih) alias ilmu menghilang, hehe. Namun karena terkendala transportasi yang tidak ada, itupun kalo ada kami harus sewa ojek yang otomatis bayarnya agak menguras kantong karena, katanya, perjalanannya yang ekstrim jadi biayanya juga lumayan mahal. Tapi ada juga desa yang tidak dapat dilalui oleh trasportasi darat karena memang aksesnya yang belum ada, baru ini saja sedang dilakukan pembukaan jalan ke desa tersebut (Desa Kiraman). Jalur laut ada sih, pake sampan. Mau pake ambulans? Terlalu banyak pertimbangan, dananya gak cukuplah, medannya gak sesuai dengan kondisi mobillah, gue cakeplah, gue kecelah, pokoke banyak. Jadi pilihan terbaik dan tidak banyak neko-neko adalah dengan berjalan kaki.




Perjalanan kaki saya sejauh ini baru mencapai 2 desa, yaitu Desa Maikang dan Desa Kiraman. Desa Maikang saat itu kami tempuh selama kurang lebih 2 jam dengan medan yang menanjak karena desa ini berada di daerah pegunungan. Kami melewati hutan kemiri dan kenari di kiri kanan jalan. Hingga saat ini saya sudah 2 kali mengunjungi desa ini di 2 musim yang berbeda yaitu musim kering dan dan hujan, jadi otomatis tantangannya berbeda. Ketika musim kering, disepanjang jalan banyak dedaunan kering yang licin apalagi kalo pas penurunan, tapi di saat musim hujan, sungai yang biasanya kering jadi meluap jadi kami harus menunggu saat ketika air di sungai tidak terlalu banyak supaya bisa menyebrang. Karena kami melewati hutan jadi harus hati-hati dengan bahaya ular dan kalajengking, artis papan atasnya Padang Alang, hehe.




Desa kedua yang sudah saya kunjungi yaitu Desa Kiraman yang lokasinya tepat di pinggir pantai, dan berhadapan langsung dengan laut lepas berbatasan dengan daratan Timor. Karena lokasinya yang berada di pantai jadi ketika berangkat lebih banyak menurun sampai kaki nyaris gak bisa di tekuk. Selama 45 menit kami melalui penurunan berupa jalanan yang sudah di beton sampai ke Kelebana dan lanjut malalui jalan setapak melewati pesisir pantai, perkebunan warga, menyebrang sungai, sampai tiba di Desa Kiraman, total perjalanan kami yaitu 2,5 jam.


2.      Ojek (Jalur Darat)


Ojek motor adalah salah satu pilihan transportasi Padang Alang – Kalabahi (Ibukota Kabupaten Alor). Bermodalkan 150-200 ribu maka armada ojek akan mengantarkan ke tempat tujuan di Kalabahi. Mahal yah? Menurut saya tidak sebanding sih dengan medannya, harusnya lebih mahal. Medan yang dilalui adalah jalanan yang sepertinya lebih tepat disebut got besar dibandingkan jalanan.



Selama 2 bulan ini saya sudah 2 kali menggunakan jasa ojek ketika akan berangkat dari Padang Alang menuju Kalabahi, dan 2 kali juga itu masa pemulihan badan dari rasa capek yang luar biasa lumayan lama. Bagaimana tidak, ketika jalanan kering saja yang saat itu ditempuh selama 3,5 jam (itupun karena beberapa kali berhenti karena bannya kempes, mungkin kalo gak ada halangan bisa ditempuh selama 2,5 jam kali yah) sudah bikin tulang-tulang rasanya rontok semua, apalagi kalo jalanan basah, alamak, rasanya sukses jadi lumpuh layu dah. Rasanya semua jenis medan untuk motor cross ada di jalur ini, kecuali beberapa kilometer jalanan dengan aspal hitam mulus seperti paha Nicky Minaj, selebihnya aspal coklat kasar, aspal merah kasar, aspal putih robek, (yang penting namanya Aspal kalo dipertanggungjawabkan di pusat). Kenapa pemerintah sini gak buka lomba motor cross aja yah? Jalurnya kan sudah ada, lumayan panjang lagi -_-.




Sebagian besar perjalanan dengan ojek ini bikin tahan nafas sih, sampai nyaris kehabisan nafas, hehe. Ketika keluar dari Desa Padang Alang, ojek langsung di sambut dengan turunan batu-batu curam, kemudian turunan jalan beton curam banget, trus nyebrang sungai kecil, disambut dengan tanah lumpur yang kalo musim hujan setengah badan motor tenggelam di dalam lumpur yang artinya penumpang harus jalan kaki selama beberapa meter untuk sampai di Desa Kalunan yang artinya (lagi) perjalanan menyusuri pantai selama beberapa kilometer. Pemadangannya kece pake banget sih, hanya gak bisa terlalu focus lihat pemandangan karena otak lagi mikir untuk memilih antara menjadikan besi belakang motor sebagai pegangan atau memegang pundak om ojeknya, plus mata yang harus stand by melihat perjalanan supaya kalo ada batu atau lubang bisa siap-siap angkat bokong demi mengurangi resiko sakit badan saat sampai di tujuan.




Itu baru 15 menit pertama, meninggalkan daerah pantai, menurut saya inilah perjalanan sebenarnya yaitu melewati jalanan yang lebih tepatnya di sebut got dengan tanah merah bercampur batu kerikil dengan medan tanjakan curam, sesekali ada jalanan yang sudah di beton tapi beberapa meter saja lalu kembali berganti dengan jalur motorcross. Perjalanan agak menyedihkan lagi kalo jalanan basah, licinnya minta ampun sampai motor kami sempat berhenti di tengah tanjakan atau bahkan motor tiba-tiba masuk di got di tengah jalan yang membuat nyaris bobo cantik di tanah merah, dan saya harus sigap melompat dari motor demi selamatnya motor om ojek dan selamatnya kaki saya dari terjepit rantai motor. Hidup gini amat yah, full of challenge.



Belum lagi kalo harus melewati tanjakan yang tanahnya becek banget jadi om ojeknya perlu konsentrasi lebih untuk membawa motor melewati lumpur merah yang super licin. Semua perhatian hanya tertuju ke motor dan jalanan, jadi penumpang harus turun karena sudah tidak dapat jatah perhatian. Yah, demi keselamatan penumpang tiba di tempat tujuan. Di akhir jalanan neraka itu (merah identik dengan neraka kan yah? hehe), akhirnya kita melalui jalanan yang lumayan SEDIKIT bagus yaitu jalanan aspal robek, untungnya langsung disuguhi dengan pemandangan pegunungan kece di kiri kanan jalan, adeeemmmmm.



Bukitnya seperti Bukit Teletubbies yang dengan batu besar di punggungnya, plus alang-alang, usyalalalaaa. Pemandangan seperti ini bertahan sampai bertemu dengan sungai yang airnya dingin banget untuk memasuki wilayah Desa Kamaifui yang artinya “Welcome Aspal mulus!!!”. Nah, ada 2 pilihan jalan ketika sudah bertemu dengan aspal mulus yaitu tetap melalui jalur beraspal melewati Desa Taman Mataru dengan waktu yang agak lama atau melalui jalan potong yang lebih singkat tapi harus siap terguncang di atas motor karena jalurnya yang tanjakan, batu, beton rusak, dan semacamnya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata saking speechlees-nya (ini aja nulisnya sambil urut jidat, pijat punggung, dan mata berkaca-kaca, kalo boleh lebay). Keduanya sudah pernah saya lewati. Jalan aspal mulus memang agak lama tapi pemandangannya lebih kece, kalo tadi bukit telettubies, yang ini gunung hijau teletubbies plus air terjun (sayangnya saat lewat kemarin sudah mulai gelap jadi gak sempat singgah foto-foto).



Trusss kalo lewat jalan shortcut ini harus siap sakit badan apalagi kalo om ojeknya mengemudi motor kek di jalan tol, jalanan yang rasanya semua hambatan malah dianggap tidak ada hambatan saking terbiasanya. Ketika melewati jalanan ini saya rasanya seperti kertas arisan yang di kocok di dalam botol, sumpahhhh memasuki jalanan mulus saya rasanya masih terguncang di atas motor, mungkin ini rasanya jadi Tom yang kepalanya nabrak pohon trus muncul bintang-bintang di kepalanya yah? I know how you feel, Tom.




Medannya luar biasa gak sih? Medan seperti yang saya ceritakan di atas harus dilalui selama 3-5 jam, tergantung kondisi jalan (licin atau tidak), kondisi motor (bocor ban atau bensin habis), dan kondisi om ojeknya (masih muda atau sudah tua, sudah berpengalaman atau belum, milih jalan panjang atau jalan shortcut). Hebatnya motor orang-orang yang biasanya ngojek ini sudah bertahun-tahun, sampai sudah ada yang mulai rusak tapi belum sempat diperbaiki, kendala dana sih. Perjalanan ini lumayan mempertaruhkan nyawa sih, hiks, nyawa om ojek, nyawa penumpang, dan nyawa motor. Pernah sekali waktu saya naik ojek, om ojeknya ngomong gini,
“Jalanannya jelek yah bu?”
“Iya sih, tapi jalanan jelek ini sudah jalanan terbaik karena tidak ada pilihan lain, kecuali lewat laut,” jawabanku agak menghibur padahal dalam hati berharap supaya omnya gak usah ngomong, focus ke jalanan aja. Tapi memang sih, ini adalah pilihan terbaik di antara tidak ada pilihan. Miris.




3.      Perahu Motor (Jalur Laut)


Kapal Motor Parkir di Pelabuhan Kalabahi
Transportasi terakhir yang saya dapatkan adalah Perahu Motor, kalo sebelumnya motornya di darat, yang ini motornya di laut. Alat transportasi ini sebelumnya sudah pernah saya gunakan ketika nge-trip ke Pulau Langkadea di Sulawesi Selatan, tapi hanya 2 jam mengapung di atas laut, nah kali ini kami mengapung selama 6 jam ditambah suasana dan kondisi yang, ahhhsyudahlah. Dengan harga 40ribu, kita sudah bisa mendapatkan kepercayaan untuk duduk di dalam kapal yang tentunya tanpa tiket ini. Kondisi duduk yang lebih nyaman dan harga tiket yang lebih murah dibanding ojek membuat kapal motor diminati sebagian besar warga Padang Alang yang ingin ke Kalabahi, begitupun sebaliknya. Ada malahan yang alasannya bikin bengek,


"lebih baik naik kapal motor daripada ojek soalnya kalo naik ojek trus jatuh langsung benjol kena tanah, kalo jatuh dari kapal motor kan jatuhnya paling di air". 

PALING DI AIR?? PALING???? Yaolohh, koq aku mau pingsan yah dengar alasan semacam itu. Apa cuma saya di dataran Alor ini yang gak bisa berenang yah?  Selain itu, kapal motor menjadi pilihan yang lebih masuk akal ketika membawa barang bawaan yang banyak karena bisa muat di kapal. Tapi kadang ada juga yang gak sanggup naik kapal motor dengan alasan mabuk laut jadi naik motor, dan kalo punya barang banyak dititip aja di kapal motor lalu membayar biaya sesuai jumlah barangnya.

Warga Padang Alang yang ingin naik kapal motor harus ke Pelabihan Eibeki dulu yang terletak di Desa Kalunan, sekitar 15 menit naik motor tapi warga asli kadang hanya jalan kaki apalagi kalo tidak membawa barang bawaan yang berat (saking terbiasanya tanpa kendaraan). Kapal motor dengan trayek Eibeki - Kalabahi ini hanya dimiliki oleh Om Yanto, begitu sapaan akrabnya, dengan nama KM Nusa Kenari. Jadwal KM Nusa Kenari mengarungi lautan yaitu hari Selasa & Sabtu dari Kalabahi - Eibeki, lalu Senin & Kamis dari Eibeki - Kalabahi. Kapal biasanya sudah berangkat sekitar jam 6 atau 7 pagi.


Selama penempatan Alor, saya sudah 2 kali naik kapal motor, keduanya saat akan balik dari Kalabahi ke Padang Alang dengan alasan 'ketepaksaan saja'. Alasan pertama karena saya dan teman punya bawaan kardus yang gak mungkin di bawa pake ojek jadi terpaksa naik kapal motor, alasan kedua bukan karena kardus soalnya cuma bawa 1 carrier tapiiii karena gak bisa naik ojek gegara perang suku (baku panah, katanya) dan hari itu adalah jadwal terakhir kapal berlayar sampai tahun baru jadi terpaksa naik kapal motor (lagi). Terpaksa yah? Tapi mungkin karena terpaksa maka kejadian-kejadian luar biasa saya alami selama di kapal motor. Ada-ada ajaa.




Pertama kali naik kapal motor itu rasanya gimanaaa gitu, mana saya takut laut lagi, maklum ‘anggun’ alias anak gunung. Karena tuntutan tanggung jawab di gereja sebagai guru Sekolah Minggu yang bawa keperluan penampilan Sekolah Minggu di natal nanti (padahal ujung-ujungnya hilang juga kardusnya di kapal, hiks) dan juga karena sudah kena damprat dari 'Big Boss Nyai' gegara gak balik-balik ke puskesmas (padahal baru juga 3 hari di kota, sementara yang lain sudah hampir sebulan gak di kejar-kejar, eyuhhh), maka baliklah kami naik kapal motor dengan jadwal berangkat yang tidak seperti biasanya yaitu jam 3 subuh. Katanya untuk menghindari gelombang yang terlalu tinggi. Dengan waktu berangkat sesubuh itu, ayam aja baru mulai mimpi,  maka sebagian besar penumpang memilih untuk tidur di kapal motor. Nah, saya dan teman se-berangkat-an jadi bingung mau gimana, tidur di kapal motor rasanya gak sanggup, tapi takut ditinggal juga sama kapalnya kalo telat ke pelabuhan. Untungnya, suami salah satu staff puskesmas yang adalah manusia paling kreatif, inovatif, dan inspiratif sekota Kalabahi (tapi belle') langsung ngajak Om Yanto si pemilik kapal untuk tidur di kamar kosan teman kami yang cowok.
"Langsung pegang pemilik kapalnya," gitu katanya "kapal gak jalan kalo bosnya gak ada."
Cerdas memang manusia satu ini, hihihi ✌✌.
Masalah 1 selesai, lalu masalah kedua nongol. Karena saat itu adalah jadwal terakhir kapal motor, dan semua orang ngejar untuk bisa Natal di kampung halaman, maka penumpng kapal membludag..dag..dag. Kami yang duduk di geladak jadi sempit banget, kaki gak bisa di luruskan trus gabung sama barang macam-macam di dalam, mulai dari ransel, ayam, sound system, beras, sampai orang sakit juga ada, pokoke kapal jadi full maksimal. Karena kapal sudah kelebihan muatan, beberapa karung beras terpaksa diturunkan kembali untuk mengurangi muatan, sampai-sampai 2 teman kami juga ikutan gak melanjutkan perjalanan dengan alasan 'full banget'. Nah, ininih yang gak sopan, Curly si manusia parno laut harus diperhadapkan dengan kenyataan seperti itu, apalagi kapalnya sempat miring, belum lagi candaan seorang penumpang yang ngomong sambil teriak jadi tambah bikin horror,
"Kalian tidur saja, kalo kapal tenggelam kalian pikir ada yang mau bangunkan?"
"Kalian jangan menumpuk semua di situ, ini kapal ada miring! Kalian bisa berenang ko?"
Sepertinya saya butuh bantuan tabung oksigen selama perjalanan, terlalu banyak hal yang bikin bengek. Etapi tabung oksigen berat yah? Galon kosong aja deh, lumayan pengganti pelampung, hehe.




Alhasil kapal berangkat setengah lima yang setengah perjalanannya di lalui dengan gelombang membabi buta di tengah perjalanan yang masih gelap dan hujan deras pulak. Hampir gila deh melihat air laut sudah loncat-loncat aja masuk lewat jendela dan pintu kiri kanan kapal, ditambah lagi air bocor pula dari atas, dan anak buah kapal lagi sibuk keluarkan air dari kapal, perfect. Kata-kata "Yesus tolong" juga semakin banyak bersahut-sahutan di dalam kapal. Yang mabok udah tidur lesu kek cucian abis diperas, yang gak mabok mulai kunyah pinang entah untuk apa, mungkin menghindari mabok laut. Pinang meenn. Tak ada pisau, gigi pun jadi, hehe.



Untungnya perjalanan bikin hipertensi yang berkolaborasi dengan gagal jantung tadi di balas dengan pemandangan luar biasa setelah saya tertidur dan bangun dengan kondisi laut sudah mulai bersahabat. Kalo kondisi air sudah tenang gini, lebih baik duduk di  haluan kapal. As always, waktunya hunting foto, sekalian ngobrol sama Om Yanto, si pemilik kapal.




 "Tadi ibu ada mabok?" tanya Om Yanto
"Kalo mabok tidak, Om. Hanya saya ngeri gelombangnya, bikin takut."
"Oo, biasa itu. Kalo musim begini kadang lebih tinggi lagi gelombangnya sampai mesin kapal di matikan di tengah laut."
"Astaga! Saya tidak usah ke Kalabahi kalo begitu sampai selesai musim gelombang."
"Sekitar bulan 4, Ibu."
Yawwlloohhhhhh (telan ludah).

Satu hal yang saya tunggu-tunggu setelah pengalaman pertama kali menggunakan kapal motor adalah pemandangannya ituloh. Kalo kapal berangkat subuh dari Pelabuhan Kalabahi, maka kalau sesuai jadwal sekitar jam 9 sudah sampai di daerah pemandangan kece (saya masih belum tahu namanya). Kita akan disuguhi dengan pemandangan perpaduan birunya laut dan hijaunya tanaman yang menyelimuti tebing batu yang seakan tertanam langsung menuju laut biru (ini beneran biru tua yang kece dan bikin adem).
Keceee parah. Kek langsung dihipnotis lihat pemandangannya. Anak-anak yang sudah duluan duduk di kapal langsung komen, “gagah e!'. Selain itu, kita bisa menikmati atraksi anak-anak di kampung pesisir yang menangkap ikan dengan menggunakan sebatang bambu dengan cara melompat dari tebing kemudian ikannya di tombak. Atau pemandangan warga kampung pesisir yang sedang bermain sampan di tengah birunya laut.

Saya juga sempat melihat pemandangan sunrise dari atas perahu motor ketika harus berangkat jam 12 malam dari Pelabuhan Kalabahi. Ituloh, karena gak bisa naik ojek gegara perang suku jadi terpaksa naik kapal motor. Nahh, berdasarkan pengalaman sebelumnya yang mana saya stress melihat air tumpeh-tumpeh ke dalam geladak kapal jadi saya memilih untuk duduk di belakang nakhoda bersama beras dan bahan makanan lain yang bertebaran manja di dalamnya.
Kata Om Yanto (lagi), kalo berangkat jam segitu gak bakalan dapat gelombang karena kita jalannya malam (dan dengar-dengar  waktu keberangkatan ini illegal karena mengambil jalur kapal lain yang harusnya lewat jam segitu, ulala). Entahlah gelombangnya besar atau tidak, yang jelas saya gak lihat air lompat-lompat lagi masuk kapal. Gantinya, punggung harus kepanasan karena saya tidur tepat di atas posisi mesin. Daebak! Untungnya kami berangkat malam jadi panas dari mesin lumayan bias menghangatkan tubuh. Konspirasi alam semesta, hihi. Kembali ke pemandangan sunrise, sekitar jam 5 saya terbangun dan sinar orange dari ujung timur sudah mulai muncul plus siluet Pulau Timor yang terlihat lebih jelas. Kece banget mah, kita bisa melihat daratan Timor, menurut Om Yanto itu adalah daerah Atambua (perbatasan Indonesia-Timor Leste). Jadi dapat kesempatan untuk catching sunrise dehh.
Satu lagi hal yang juga bikin sport jantung kalo naik kapal motor adalah, setibanya di pelabuhan kalo air laut lagi surut, otomatis kapal gak bias sandar kan, nah tebakk gimana cara ke daratan. Tidak di suruh berenang ke pinggir koq, tenang aja, paling di jorokin ke laut. Haha gak lah. Jadi, kalo kondisinya air lagi surut dan kapal tidak bisa bersandar, maka harus di sambung dengan naik sampan yang kecilnya minta ampun itu. AS-TA-GA! Ini beneran sport jantungnya parah. Jaraknya itu gak dekat loh, sekitar 10-20 meter dari bibir pantai dan kami harus merasakan perjuangan ABK mengayuh sampan sampai ke bibir pantai, belum lagi kalo di terjang ombak.

Tapi, sampan yang kelihatan kecil ini sudah berpengalaman membawa barang-barang seperti ransel, karung beras, bahkan sound system pun pernah di transfer. Cara duduk di sampan juga beda, gak boleh selonjoran, bersila, apalagi pake sofa karena gak ada sofa. Jadi caranya adalah duduk bertelut atau berlutut gitu kalo kek lagi mau berdoa. Tapi, memang sudah makan garam sih yah, jadi kami tiba di pantai tanpa kekurangan satu apapun, yaa paling basah dikit. Tapi ini beneran bikin sport jantung lebih sering tarik napas plus tahan napas. Hufftthhh. 


Jadi inilah salah satu moda transportasi yang saya kenal di daerah ini, Kapal Motor. Pengalaman pertama saya naik perahu motor selama jadi NS ini agak-agak memalukan karna untuk pertama kalinya saya harus nangis mewek dihadapkan perjalanan luar biasa ekstrim seperti itu. Hehe, namanya juga manusia bukan bidadari.
*  * *

Itulah 3 transportasi yang harus bersahabat dengan saya selama di penempatan terpencil ini. Kadang saya pikir, perjalanan itu terlalu berat untuk di lalui tapi kalo focus sama capeknya, kapan kita nikmati keindahannya kan? Perjalanan yang mungkin kelihatan berat banget ini sebenarnya jika dinikmati bakalan menyenangkan juga. Pemandangan melewati hutan lebat, pohon tumbang, tanjakan zig-zag, pesisir pantai, turunan curam yang sukses bikin kaki tremor, gelombang laut yang bikin parno tambah gila, sampan yang miringnya bikin jantung nyaris copot, jalanan tanah yang bikin bokong tangan kram karena megang besi belakang motor sekian lama, dan semua hal-hal melelahkan itu kalo dinikmati juga akan memperlihatkan sisi indahnya, bukit teletubbies, eksotisnya hutan, dinding tebing terjal ke laut, padang ilalang, sunrise kece, dan masih banyak lagi sebagai balasannya. So, nikmati aja perjalanannya yah?

Inilah Alor, terkhusus Padang Alang. Orang-orangnya ramah, transportasinya ekstrim, pemandangannya kece, kurang apa coba. Kurang kamu sih, iyah kamu. :D

Padang Alang, 040118

YNWA, My Daughter!



"Menyerah adalah untuk orang yang tidak mampu. Dan saat ini saya sudah tidak mampu."

Nyess!!!

Looks like she is in a bad mood. Yeahh. Mungkin selama ini memang seperti itu, bad mood akut yang sudah numpuk berhari-hari. Ketika suatu keadaan membuat si perempuan yang punya prinsip 'pantang menyerah sebelum berusaha' itu akhirnya memilih untuk menyerah. Pastinya bukan hal yg sepele. Ketika yg lain menyerah karena memang gak tahu dan gak mau tahu, dia harus menyerah karena keadaan yang tidak mendukung untuk maju. Pembunuhan karakter? Right! It dissapointed her. Emosi? Iyah.

She try to tell everyone, but she felt every people judge her for something they dont understand. Just hear me, dont judge me, she cried inside her head.

Sampai dia melihat sebuah tulisan
'Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu'.

NYESS!!!!!!

Dia mulai menyadari bahwa ternyata dia terlalu ambisius, egois, dan merasa paling hebat. Ekspektasi terlalu tinggi. Dia menyadari bahwa tidak semua hal bisa menjadi urusannya, gak semua hal bisa terjadi sesuai kehendaknya. Dia yang menulis, tapi bukan dia yang memegang penghapusnya. Dia tidak menyadari itu sebelumnya.

Dalam setiap situasi yang seakan tidak memihak padanya, dia mulai menyadari bahwa selama ini dia sudah 'jalan sendiri', tidak pernah menyapa Bapanya lagi, tidak pernah berbagi kisah lagi, dan dia merasa jauh. Tapi yang dia tahu, Bapanya selalu ada dekat dengannya. Selayaknya bapa lain, Bapanya menunjukkan eksistensi dengan kasih sayang berupa teguran kepada anakNya agar lebih baik lagi.

And, at the end of this story, she do believe that her Father told her,

"YNWA, my daughter."

Kalabahi, 160518

Senin, 07 Mei 2018

Orde Phoenix ala Puskesmas Padang Alang

Pertengahan Maret 2018.
Moment di mana Curly berasa jadi manusia tersibuk kedua setelah Vicky Prasetyo. Bulan lalu, berangkat pagi naik ojek ke Padang Alang trus langsung lanjut jalan kaki ke Maikang selama 2 jam. Bulan ini lebih eskrim lagi, ehh ekstrim maksudnya. Bulan ini jadwal posyandu Curly di Desa Sidabui yang untuk sampai ke sana kita harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 3,5 jam berjalan kaki, menanjak tetap loh yahhh. Nahh, karena sebelum jadwal Posyandu sy harus ke Kalabahi (biasa, artis papan penggilingan sibuk banget), maka harus pintar-pintar atur jadwal spya semuanya dapat dilaksanakan. So, berangkat pagi dari Kalabahi naik perahu motor, tiba di padang Alang jam 3, makan siang, langsung cuss jam 4 ke Sidabui. Wesewesewesssss. Berangkat jam segitu tiba di sidabui jam berapa??? Ulalaaaa.
Jalan rame-rame dari Padang Alang, kami akhirnya tiba di desa Sidabui jam 7.30 malam. Perjalanan gelap-gelapan yang bikin ekstra hati-hati karena jalanan yg full of batu-batu manja di sana sini, plus turunan curam yang 2 bulan lalu sempat bikin curly jatuh terpeleset tapi masih bisa bangun lagi. Sumpah, kejadian itu bikin trauma banget, jadi wajib kudu mesti super duper hati-hati. Tuh kan, terpeleset aja bikin trauma, apalagi kalo di bikin broken heart, ehhh.
Memasuki Desa Sidabui, udah gelap banget, lampu hanya satu-satu di beherapa rumah warga, kami langsung menuju rumah bapak desa. Rombongan beranggotakan 5 orang yang berjalan di tengah kegelapan bermodalkan senter memasuki desa membuat saya berimajinasi bahwa kami seperti Ode Phoenix yang datang menjemput Harry Potter di Little Wingnging malam itu. Ahhhh, aku jadi Tonk alias Nimphadora yahhhh, hehehe. Oyah, malam itu juga langit kece banget, bintang kelihatan sangat jelas. Ini salah satu keuntungan berada di tempat dengan jumlah cahaya yang masih sangat minim, benda-benda bulan dapat kelihatan dengan jelas. Setelah semua perjalanan melelahkan hari ini, sepertinya Sleeping Bag akan menjadi tempatbpaling nyaman untuk tidur sebelum besok lanjut lagi berkegiatan. What an amazing trip.

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts