Senin, 24 Juli 2017

Sarambu Talondo Tallu - Curly's First Trekking

H-1

Perempuan itu sedang grasak grusuk gonta ganti pakaian setelah beberapa jam lalu udah sibuk  mengosongkan kartu memori action cam-nya, menge-charge kamera mirrorless dan HP nya, serta memastikan power bank terisi penuh. Sudah sekitar sejam perempuan itu berdiri di depan cermin untuk mix & match pakaian yang di keluarkan dari lemarinya. Hanya satu alasan yang membuatnya supersibuk seperti ini. She going to do a trip. Yuhuuu, perempuan itu besok seharian akan melakukan kegiatan PPGT di sebuah daerah yang jauh dari tempat tinggalnya plus rekreasi, dan karena lokasi rekreasinya tidak membolehkan pengunjung menggunakan pakaian hitam maka pakean hitam tetap duduk manis di dalam lemari. Sebagai perempuan yang penuh perencanaan, dia mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang (sedapat-dapatnya), siap-siap rempong deh. Pakaian harus match, plus nyaman untuk jalan lari dsb, plus cocok untuk segala kondisi (karena kebetulan besok dia akan memimpin ibadah juga), dan pastinya gak boleh berwarna hitam (hasilnya dapat anda lihat di bawah sini👇👇👇👇👇). Daaan karena di sana nanti mau main air (soalnya lokasinya air terjun) jadi harus bawa baju ganti yang (sekali lagi) harus match, plus nyaman untuk jalan lari dsb, plus cocok untuk segala kondisi, dan pastinya gak boleh berwarna hitam. Wawww, perempuan ini. 
Outfit nyaman untuk jalan

Outfit untuk pimpin ibadah

Hari H


Si perempuan bangun PAGI sementara di luar sana sedang hujan, sekali lagi, DI LUAR SANA HUJAN! Ketika rencana hari ini ke lokasi air terjun dengan perjalanan menggunakan truk selama 2 jam harus dilalui dengan kondisi hujan, what should you do? Tapi sebenarnya perempuan itu lebih memikirkan jumlah peserta kegiatan yang bisa hadir dengan kondisi seperti itu sih. 

So, dengan semangat yang menggebu-gebu plus doa yang menggebu-gebu juga berharap hujan reda, si perempuan bangun dan mulai bersiap-siap, diantaranya:
  • Menulis tambahan peraturan di kertas Susunan Acara (FYI, itu tambahan peraturannya ada 3 point yang ditulis tangan di 6 lembar kertas, kurang strong apa coba perempuan ini) 
  • Packing (soalnya kemarinnya dia sibuk nyobain baju, hehe). Actually tinggal masukin keperluan ke dalam ransel sih, soalnya sebelumnya udah dipikirkan barang-barang yang akan di bawa. Isi ransel perempuan itu adalah (jreng....,jreng!!) Pakaian dalam 2 pasang, baju kaos 1, celana pendek untuk main air 1, sarung bali untuk keringkan badan, selendang untuk nutupin kepala/leher plus gaya-gayaan, topi merah andalague! (selalu REXONA, setia setiap saat), Rok (untuk ibadah), tissue basah & kering, lotion & face sunblock (khas perempuan banget), komik anak-anak (persiapan kalo sempat main bareng anak-anak di sono), Tumblr air mineral (wajib banget, yakalee di sana sumber air su jauh), payung (hujan booo) dan keperluan dokumentasi (kamera dll di masukin di Sepu' sih)
  • Kumpulin baju bekas untuk baksos
  • Sarapan (ini kebiasaan wajib banget sebelum kemana-mana)
  • Mandi (ritual paling jarang dilakukan apalagi kalo di kampung, kecuali pengen keluar kek gini itupun ngumpulin niatnya lama)

Selesailah persiapan itu sebelum setengah 8 pagi. Luar biasa skali perempuan ini, kegiatan yang patut diberikan standing applause, hehe. (standing applause untuk bisa mandi sebelum setengah 8 pagi)

Perempuan itu berangkat ke meeting point tepat 07.30 sesuai janjinya saat final check kemarin dan masih harus menunggu sambil dengerin lagunya Ridho Roma selama 2 jam, yang rencananya harus berangkat jam 8 tapi harus ngaret sampai pukul 09.30. 

"Pfftthhh kebiasan yang jelak parah," gerutu si perempuan sambil cukur bulu ketek yang tumbuh saking lamanya menunggu *becanda ding.

Berhubung si perempuan diberikan kepercayaan untuk mengatur acara plus memimpin ibadah, dia harus memutar otak untuk kegiatan selanjutnya yang udah pasti molor banget. Doa agar hujan reda juga tidak henti-hentinya dipanjatkan (hallah, giliran ada maunya aja, rajin doa).
Truk untuk berangkat ke lokasi

Mobil truk warna merah biru berangkat pukul 09.30 dari Rantelemo dengan si perempuan dan rekannya diberikan kehormatan untuk duduk di samping pak sopir yang sedang bekerja, mengendarai truk supaya baik jalannya, boom..boom..boom suara mesin truk (kamu gak lagi nyanyi kan?). Sebagai yang dituakan dan paling kece jadi mereka berdua di suruh duduk di depan, takut entar masuk angin, hahaha. Ketika yang lain kehujanan di bak truk, mereka berdua adem ayem di depan. Ketika yang lain kepanasan (karena tertutup terpal) di bak truk, mereka berdua kepanasan karena mesan mobil tepat di bawah kaki. Ketika yang lain tergoncang manja di bak truk karena jalanan berlubang, mereka berdua malah sibuk menyemangati om supir. Ketika ada drama mabuk di bak truk, mereka berdua malah kebelet pipis *ehhh. Lama-lama kurang ajar yang 2 orang tua ini, hehehe.
Duo paling mudah wajahnya


Sepanjang perjalanan dari Rantelemo ke Malimbong Balepe' selama 2 jam, mata dimanjakan oleh berbagai pemandangan yang menakjubkan, diantaranya jalan yang sudah di aspal sampai yang masih jalan tanah, kiri kanan ku lihat saja persawahan dan ladang ganja *ehh maksudnya ladang kopi arabika dan robusta (FYI, si perempuan sempat mengecek ketinggian daerah yang mereka lewati yaitu sekitar 1300 mdpl), Rice Terrace alias terasering yang menurut si perempuan lebih kece daripada yang ada di Bali, saung di tengah sawah, air terjun, sampai daerah yang berkabut padahal waktu sudah menunjukkan tengah hari (apa karena sedang hujan yah? Hehe). Beberapa kali mobil berhenti karena ada insiden berupa mabuk darat alias hoek..hoek, terpal yang digunakan sebagai atap terjatuh, dan terakhir karena udah tiba (YAEHEYALAAHHHHH).
Kabut pukul 10.30

Rumah berlatar kabut

Pemandangan air terjun di jalan menuju Balepe

Penunjuk arah untuk ke Talando Tallu

Mobil yang kami gunakan akhirnya dinyatakan sudah boleh parkir alias sudah tiba di lokasi. Pikir si perempuan itu, rumah yang dituju dekat dengan jalan raya tapi ternyata engga sodara-sodara. Rombongan masih harus berjalan kaki selama setengah jam atau sekitar 2 km untuk mencapai rumah yang dituju. Dengan membawa semua perbekalan dalam hal ini makan siang, peralatan ibadah (gitar & cajon), sumbangan pakaian, dan kebutuhan pribadi, seluruh rombongan pun berjalan kaki sambil hujan-hujanan. Hujannya datang tepat waktu ketika rombongan udah mulai jalan, tapi untungnya gak terlalu lama. 
Tim bawa kebutuhan perut

All team with their own barang bawaan

Pemandangan kece berupa persawahan dengan padi yang hampir menguning di sebelah kanan, tebing tanah di sebelah kiri, jalanan tanah mendaki dan menurun (soalnya masih jalan perintis yang baru di buka) dan bonus sapi yang parkir di jalan serta tahi sapi menghiasi sepanjang jalan seperti chocochips menjadi teman perjalanan si perempuan dan rombongan untuk tiba di rumah tujuan. 
Team with rice field's scenery

Curly and Rice Field

Sungai Kecil Menuju Rumah

Tanah Merah sebagai jalan

Karena harus melewati jalanan tanah yang menurun dan menanjak (mungkin bisa sekalian nyanyi 'kau tinggal turun naik"), demi keselamatan diri masing-masing, beberapa teman-teman mulai nyeker, melepas alas kaki menjadi pilihan aman bagi beberapa orang, daripada terpeleset dan pantat cium tanah air. Tapi bagi si perempuan itu yang gak suka injak tanah (hehe), nyeker sepertinya menjadi pilihan paling terakhir disaat sudah tidak ada pilihan, si Converse yang alasnya licin akhirnya harus tetap bekerja keras (Dear Converse, kamu yang sabar yah menghadapi perempuan itu, dia lebih memilih kamu lecet daripada kakinya, hehehe). 
Use Shoes Is Safety

Nyeker is Safety

Melewati 2 buah rumah selama setengah jam perjalanan membuat perempuan ini berpikir, "tetangga di sini jauh-jauh amat yah?"
Akhirnya rombongan tiba di rumah yang dituju, dengan si perempuan yang udah mulai ngos-ngosan, efek gak pernah jogging lagi sepertinya. 
Rumah Warga Tampak Depan
Pemandangan Depan Rumah Warga

Memasuki pekarangan rumah yang luas dengan tanah merah dan tanpa pagar, terlihat beberapa permainan anak-anak seperti seluncuran, jungkat-jungkit warna-warni, ayunan, dkk. Ternyata rumah ini adalah PAUD, pantas rame. Rumah panggung berdinding papan dengan atap khas Suku Toraja berdiri dengan sederhana. Dinding kayunya seakan menjadi penghalang dinginnya udara Balepe' pada siang itu. Tuan rumah dengan senyum sumringah menunjukkan keramahannya sudah menunggu di kolong rumah. Sederhana namun bernilai, itu yang dilihat oleh si perempuan. Dan si perempuan berpikir, "seandainya aku yang ditempatkan Tuhan dalam kondisi seperti ini- jalan kaki sejauh 2 kilo dengan jalanan dari tanah merah, mendaki dan menurun, rumah sederhana, tentangga berjauhan- apakah masih mampu hidup dan mau bersyukur?" Yah, sebuah perjalanan memang kadang membuat perempuan ini merasa ditempeleng.
Ngopi Rong!!

Santai Rong!!

Waktu menunjukkan pukul 11.30 WITA -sesuai susunan acara harusnya sudah ibadah-, jadi untuk mengefisiensikan waktu kegiatan selanjutnya akan dilaksanakan yaitu ibadah. Sebelumnya para peserta disuguhi kopi dulu oleh tuan rumah, yahh hidangan penerimaan tamu khas Toraja. Kopi yang panas sedikit membantu menghangatkan tubuh dari udara Balepe' yang dingin skali siang itu. Sementara yang lain minum kopi, si perempuan pun melakukan kegiatannya sebagai pemimpin ibadah yaitu melakukan persiapan, entah itu persiapan tempat maupun ibadah. Tuan rumah membuka ruangan tengah-nya untuk digunakan beribadah. Satu hal lagi yang membuat si perempuan harus kembali bersyukur dengan keadaannya, ketika tuan rumah mengatakan, "tapi maaf yah harus gelap-gelapan karena di sini tidak ada listrik kalau siang. Kami menggunakan turbin yang diaktifkan jam 5 sore sampai jam 6 pagi." sambil si bapak memberikan senter kepada si perempuan. What a life, right??
Pelayan Ibadah

Peserta Ibadah

Ibadah berlangsung dengan si Perempuan sebagai liturgis dan di akhiri dengan ngos-ngosan karena memperagakan gerakan lagu (lumayaann, untuk menghangatkan tubuh di cuaca dinginnya Balepe'). Setelah ibadah dilanjutkan dengan bakar ikan dan makan siang, uyyeeehhhhhh. Ikan bandeng bakar plus ala-ala ngeliwet plus ngumpul bareng plus lapar maksimal membuat ikan bakarnya terasa tiada tandingnya di dunia ini, semua utang yang udah dibayar gak diingat lagi, YAEYALAHHHH.
Bakar-Bakar Ikan

Makan-Makan Ikan

Lunch with Team

Setelah makan siang, perjalanan rekreasi di mulai. Si perempuan mengira bahwa perjalanan dari rumah ke lokasi air terjun gak terlalu jauh, yaaa sekilo lah, ternyata dia mendengar bisikan bahwa sekitar sejam perjalanan, hehe. Intinya perjalanannya gak dekat. Oiyah, sebelum berangkat ke lokasi air terjun yang konon katanya perjalanan sejam, si perempuan berniat mengosongkan perut dulu alis pengen pipis, biar di jalan gak kebelet. Si perempuan kembali diperhadapkan pada kondisi kamar mandi yang seadanya, -terbuat dari beberapa kayu yang digabung-gabung sebagai dinding setinggi dadanya, bolong-bolong, dan tidak ada air (sepertinya air susah di dapatkan di sini). WC terletak di bagian bawah kamar mandi dengan dinding dari karung. Kembali lagi si perempuan harus banyak-banyak bersyukur untuk kondisi yang dimilikinya. 

Bajalang

So, disinilah dimulai perjalanan luar biasa bagi perempuan yang biasa-biasa itu. 
Kenapa luar biasa? Karena bagi perempuan itu, berjalan kaki selama sejam lebih yang kata penduduk di sana HANYA 4 km (ini berangkat doang loh yah) dengan medan yang naik turun bukit, nyebrang parit, udah ujan becek gak ada ojek, tanpa persiapan fisik dan mental sebelumnya plus pake sepatu licin itu luar biasa banget. DAEBAKKK!



Bonus Lihat Kuda di Perjalanan Menuju Air Terjun

Si perempuan berangkat bersama 2 rekannya (yang lain udah berangkat duluan) dengan alasan biar ada yang potoin padahal karena emang gak suka jalan rame-rame gitu, kek MABA aja, hehehe Tapi bisa foto-foto itu bonus banget dong. Berangkat dengan wajah masih happy, masih sempat foto-foto, ketawa ketiwi, nyanyi-nyanyi sampai jadi 1 album, sok ngartis dan sok turis, rekam perjalanan sana sini. Di ujung jalan rintisan, ternyata rekannya yang duluan meninggalkan sendal mereka di semak-semak. okayy, NYEKER is a safety choice for them but not for that girl. Masih tetap pada prinsip awal, padahal kedua temannya udah nyeker dari rumah. 
Converse dan Tanah Merah Lagi Baikan

Perjalanan sejam lebih menuju air terjun tersebut kurang lebih gambarannya seperti ini, melewati jalan rintisan untuk jalan raya selama 20 menit, dan dimulailah perjalanan ekstrim itu. Turunan melewati semak-semak dengan tanah merah sebanyak 2 kali, tiba di persawahan, trus turunan lagi, trus sawah lagi, trus turunan lagi, nyebrang sungai kecil, dataran, kebun kopi, nyebrang sungai kecil, tanjakan curam dan becek plus gak ada ojek, kirain udah sampe ternyata masih harus lewatin pematang sawah yang luasssss banget, trus tanjakan curam, trus dataran dikit, trus tanjakan curaaammm banget (tempat ketemu bule yang ditolong tapi ujung-ujungnya nyungsep juga), trus dataran beberapa meter, turunan curam dan becek banget, trus kebun kopi yang mana suara air terjunnya udah kedengaran dan tibaaaaaaaaaa!!! Uyeahhhhhh! Luar biasa gak sih perjalanan itu? 
Medan Ke Air Terjun: Jalan Setapak dengan Rumput di Kiri Kanan

Medan Ke Air Terjun: Jalan Setapak

Medan Ke Air Terjun: Tanjakan Curam

Di tengah perjalanan kami bertemu teman-teman rombongan kedua yang jalannya santai alias gak bisa berpindah dengan cepat soalnya gak terbiasa dengan medan tersebut, tapi semangat juang mereka luar biasa sodara-sodara!! MERDEKA! *ehh. Untungnya sempat ketemu mereka, kalo engga bisa nyasar bo'. Dan perjalanan itu diantar oleh Mangelo, si guide kecil  kelas 4 SD yang menjadi penunjuk arah. 

Dengan perjalanan seperti itu udah ga ada kepikiran lagi eksis-eksis di foto, apalagi di tengah persawahan luas hujan udah mulai turun lumayan deras, so anak di simpan dan di amankan dari terpaan hujan-hujan manjahhh. 
Curly di Air Terjun Talondo Tallu

And here we are!!! Air terjun Talando Tallu. Air terjun yang kelihatan ada 3 ini airnya dinginnya kebangetan. Ini serius. Entah itu karena dari mata air pegunungan tanpa melalui proses penyaringan (iklan kali ah) atau karena sedang hujan jadi suhunya menurun, entahlah. Tapi karena emang udah diniatkan untuk masuk air so si perempuan masuk ke air walaupun hanya sampai sebetis, hehe. 

Sebenarnya Masih mau menikmati air terjunnya tapi karena kondisi yang tidak memungkinkan (hujan dan sudah hampir gelap) jadi si perempuan pun balik bersama rombongan. Si perempuan memikirkan perjalanan pulang yang harus ditempuh selama sejam itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 yang artinya kemungkinan tiba pukul 06.30. Jalan pulang tidak melalui jalan mereka sebelumnya. Jalannya sepertinya lebih dekat, tapi di jalan ada TEDONG yang notabene sangat di takuti oleh si perempuan. Dapat bonus banget sepertinya plus bonus-bonus lainnya yaitu, hujan, dan gelap. Hujan turun sepanjang jalan mereka pulang ke rumah nginap tadi. Baju yang difungsikan sebagai jaket sudah basah total dan kemasukan air, si anak sudah diungsikan ke tas temannya yang menggunakan payung, napas udah ngos-ngosan karena tanjakan terjal, penglihatan mulai berkurang karena sudah gelap, haus, dan yang membuat si perempuan hampir nyerah adalah salah satu kakinya mulai kram di tanjakan kedua terakhir. Perjalanan kembali melambat karena si perempuan berusaha menetralkan sakit kakinya dengan jalan pelan-pelan, ransel yang di punggungnya juga menjadi beban tersendiri. Antara pengen buka jaket karena gerah atau pake jaket karena dingin kena hujan menjadi pilihan yang sulit. Dan gelap sudah benar-benar menyelimuti di tanjakan terakhir ketika tiba di jalan raya rintisan. Perjalanan menuju rumah masih harus di lalui sementara si perempuan sudah tidak mampu membawa tasnya jadi di berikan ke temannya. Jalan ke rumah dengan bantuan senter dari HP menjadi satu-satunya pilihan sementara hujan masih tidak ingin menghentikan kunjungannyya, sementara itu kabut juga sudah mulai muncul membuat jarak pandang sangat terbatas. Si perempuan dan rombongan seakan berjalan dalam selimut putih. 

Setiba di rumah, hanya ganti baju sebentar, ngemil snack beberapa potong karena si perempuan sudah merasa kehilangan banyak energi akibat perjalanan ekstrim dan cuaca dingin. Tidak ada pilihan baju kering lainnya, terpaksa menggunakan hot pants yang ditujukan untuk berenang dan ditutupi dengan sarung bali. So, perjalanan 2 km menuju kendaraan pun dilanjutkan. 

Melewati jalanan sebelumnya yang menurun dan menanjak dengan tanah merah licin dan di temani hujan plus udara dingin Balepe' malam itu. Sial, salah seorang teman terpeleset dan terbanting karena jalan licin. Agak seram sih perjalanannya. Dan di tanjakan curam terjal dan panjang itu, kram kaki si perempuan pun muncul kembali, kali ini di kedua kedua kakinya. No excuse, dia harus menghentikan langkahnya. Di ujung tanjakan yang dengan susah payah di jalaninya untungnya terdapat saung yang dimanfaatkannya untuk duduk sebentar meluruskan kaki. Setelah di pijat dan diluruskan, si perempuan melanjutkan perjalanan yang rasanya terburu-buru. Melewati pinggir sawah dalam gelap dengan suara hujan dan angin yang terdengar seperti gemuruh air membuat kami semakin mempercepat langkah. 

"Tanjakan terakhir", pikir si perempuan. Ketika tiba di ujung tanjakan seharusnya mereka terus saja melalui jalanan landai menuju jalan raya melewati rumah yang pertama kali mereka temui ketika baru tiba tadi, tapi seorang teman menunjukkan jalan yang menurutnya lebih dekat namun menanjak. Kebetulan di dekat rumah ada kerbau. Si perempuan yang notabene takut sama kerbau akhirnya berlari dalam kegelapan dan melompati tebing kecil yang rasanya setinggi perutnya itu dalam sekali lompatan. the power of takut yah sepertinya, hehe. Lucu. 

Perjalanan masih sedikit berlanjut untuk tiba di jalan raya melalui jalan yang ditunjukkan yang ternyata sangat menanjak dan terlihat sebagai jalur air alih-alih jalan setapak. Gemuruh hujan terasa semakin mendekat dan mengejar rombongan pada malam itu yang terdengar seperti terjangan air sungai daripada hujan. Semakin mempercepat langkah dalam tanjakan curam malam itu menghindari tekanan batin yang entah datangnya darimana pada malam itu. Beruntung kaki si perempuan tidak kram lagi di tanjakan terakhir itu. Entah tekanan apa yang membuat perempuan tersebut mempercepat langkah menuju mobil saat tiba di ujung tanjakan yang berada tepat di samping gereja kecil yang gelap malam itu. Entah mengapa dia berpikir tidak boleh ada yang tinggal berlama-lama di tempat itu sehingga meminta untuk mempercepat langkah. 

07.30 malam. Hujan. Angin. Basah kuyup. Di tengah daerah tanpa sinyal. Naik ke truk dan pulang ke rumah adalah pilihan yang tepat, hehe. 

2 jam perjalanan kembali ke rumah dengan menggigil di bak truk dan berusaha menghangatkan diri masing-masing dengan berbagai cara rasanya menjadi usaha bertahan hidup malam itu. Otak sudah memikirkan indomie telur, hangat, apalagi malam itu belum ada yang makan malam. Imajinasi yang menyakitkan yah.

Tiba di rumah, si perempuan langsung menyimpan sepatunya yang sudah entah bagaimana bentuknya itu yang full dengan lumpur, masuk rumah (yang untungnya masih dibukakan pintu), ganti pakaian, minum air gula panas, and then makan malam. Sementara makan si perempuan berkata dalam hatinya, "Terima kasih Tuhan Yesus sudah bisa tiba di rumah. Terima kasih Tuhan Yesus sudah boleh makan. Terima kasih Tuhan Yesus ada babi goreng."

Dan melalui perjalanan tersebut, seperti perjalanan yang dilakukan sebelum-sebelumnya, si perempuan menemukan banyak hal untuk selalu di syukuri. Masih boleh menikmati lampu yang tidak terbatas, masuk kamar mandi masih ada air, tetangga berdekatan, rumah di pinggir jalan poros jadi gak perlu jalan jauh, jalanan sudah di aspal, dan masih banyak lagi. Intinya harus tetap bersyukur karena sebenarnya masih bnayak orang di luar sana yang tidak seberuntung.

What a great day, dan si perempuan tepar dengan sepatu penuh lumpur menunggu untuk dibersihkan keesokan harinya. 
Lumpur Bersepatu

Tas Berlumpur


Oyah, video perjalanan selama ke Balepe' bisa dilihat di sini.


14 Juli 2017

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts