Merantau menjadi hal yang sudah
kutekuni sejak 3 tahun lalu. Menjalani kehidupan di Pulau Kalimantan yang
kemudian berpindah ke Pulau Alor di Selatan Indonesia membuatku harus terbiasa
tinggal jauh dari orang tua. Tidak sedikit yang berkomentar bahwa aku keren,
seorang perempuan yang berani melanglang buana ke berbagai pulau di Indonesia,
katanya jarang yang mau seperti itu. Ditempatkan di daerah terpencil lagi.
Mereka kadang berkomentar, enak yah bisa ke mana-mana, pasti seru sekali hidupnya.
Okelah, tidak dapat ku pungkiri bahwa
kehidupan seperti ini lumayan ku nikmati. Hati ku yang selalu berpikir untuk
jalan-jalan di dukung oleh pekerjaan dan penempatan ku. Bertemu orang baru
sekaan menjadi suntikan semangat bagiku. Entah itu untuk bertukar pengalaman,
bertukar pendapat, maupun berbagi ide. Pengalaman baru bagiku seperti
mendapatkan sekoper berisi emas batangan. Bahkan lebih dari itu. Pengalaman
bagiku adalah suatu hal yang tidak dapat dinilai dengan angka, bahkan
kemungkinan tidak dapat di beli dengan uang. Apalagi aku terbiasa di
larang-larang dari kecil, jadi berada jauh dari orang tua menjadi kesempatan
bagiku untuk memperpanjang langkah kakiku tanpa larangan berarti. Menyenangkan
bukan?
Tapi sebenarnya jika kau merasakannya,
tidak semenyenangkan yang kau lihat. Seorang perempuan yang tinggal jauh dari
orang tua bukanlah pilihan yang baik, bagiku pribadi. Aneh yah? Suka jalan,
tapi gak suka pisah sama orang tua. Siapa sih yang suka pisah jauh dari orang
tua. Dari kecil sudah terbiasa mendapatkan perhatian dari orang tua yang bahkan
bagiku kesannya sangat berlebihan. Perhatian dalam bentuk gak boleh makan ini,
gak boleh ke sana, gak boleh bikin itu, dkk. Semakin bertambahnya usia, semakin
ku sadari bahwa hal itu dilakukan kedua orang tua ku bukan karena mereka tidak
mau anaknya berkembang. Ku pikir, mereka hanya khawatir dengan anak perempuan
satu-satunya dalam keluarga kami. Dari kecil aku dimarahi jika terluka, itulah
aku tidak terbiasa terluka. Setelah dewasa ku pikir, ketika aku terluka, pasti
mereka yang lebih merasa terluka. Intinya setelah dewasa, semua
larangan-larangan mereka terhadapku tidak lebih karena mereka ingin menjaga
anak perempuannya ini. Yahh, walaupun memang kadang aku berpikir hal tersebut
terlalu berlebihan, apalagi beberapa hal berlanjut sampai sekarang ketika aku
sudah tinggal jauh (sekali) dari mereka.
Kebiasaan ditelpon 3 kali sehari sejak
kuliah yang mulai berkurang jadi 1 kali
sehari sejak kerja. Stabil setiap hari. Rasanya? Kadang sangat membosankan dan
kadang ku pikir terlalu mengganggu, tapi mungkin karena kebiasaan di telpon,
ketika sehari tidak di telpon koq rasanya kosong yah? Addicted. Aku hanya
mencoba menjelaskan kepada mereka bahwa tidak usah terlalu khawatir dengan cara
menelpon terus, kadang mengganggu pekerjaan juga. Dosa ga sih? Yah, tapi memang
begitu kenyataannya. Kadang memang kita harus menerima kenyataan kan? Kadang
jika di pikir bukan hal penting yang di bahas ketika mereka menelpon, hanya
menanyakan sudah makan atau belum, atau lagi di mana, atau sedang apa. Kadang
durasi telponnya juga tidak lebih dari 3 menit, tapi jika sedang seru-serunya
bisa sampai sejam bahkan lebih. Mereka masih tetap menjadi tempat curhatku,
apalagi masalah pekerjaan.Metode yang diterapkan orang tua ku ini secara tidak
langsung membentuk hubungan jarak jauh kami agar tetap terasa dekat. Mungkin
tidak seperti keluarga lainnya, tapi bagiku aku nyaman dengan cara seperti ini.
Beberapa hari lalu, aku di telpon
mamak dengan berita yang gak enak banget menurutku. Beliau cerita kalau sedang
sakit, bahkan beberapa hari tidak bisa bangun. Kaget sekali rasanya. Mamak yang
jarang sekali menelpon untuk cerita kalau beliau sakit, tapi sore itu datang
dengan berita itu. Ku sarankan berobat namun beliau tidak mau dengan alasan
malu, tapi berusaha ku bujuk hingga akhirnya beliau bersedia. Kejadian ini
betul-betul menyita perhatianku. Sejak merantau, tidak pernah sebelumnya beliau
mengaku sakit parah. Bagiku ini parah sekali. Memang ku tahu alasan mereka
kadang tidak memberitahukan jika ada yang sakit adalah untuk menghindari jika
aku khawatir dengan kondisi mereka, tapi jika sudah parah malahan akan lebih
kepikiran lagi.
Terbukti. Aku begitu kepikiran dengan
berita itu. Bahkan tidak niat untuk melakukan apapun. Rasa rindu itu tiba-tiba
menyerbu. Rindu untuk berada di rumah dan dipeluk. Menjadi orang yang tidak
terbiasa mengungkapkan beban kepada orang lain yang belum dikenal itu tidak
mengenakkan sebenarnya. Berbagi beban dengan orang rumah bergitu berat untuk ku
lakukan, alhasil aku hanya menelpon sahabat dan saudara ku untuk berbagi keluh.
Dalam kondisi itu, aku hanya butuh pelukan untuk berbagi beban, namun rasanya
begitu sulit kudapatkan.
Segala cara kulakukan agar tidak
terlalu khawatir namun semuanya seakan memiliki hubungan yang mengarah pada
beban pikiranku saat ini. Ku isi waktuku dengan membersihkan dapur, tapi ketika
mencuci [iring di belakang rumah, lewatlah seekor anjing dengan anaknya yang
asik bermain. Baperlah lagi. Kusibukkan diri dengan membaca buku Bung Fiersa
yang belum kuselesaikan itu (Judulnya
Arah Langkah) tapi ternyata aku sudah tiba pada bab ketika Ibu Bung
mengirimkan SMS kepada Bung yang sedang berkelana di Manado, meminta agar Bung
ber-lebaran di rumah orang tua dengan isi pesan “selagi orang tua, sempatkanlah
untuk lebaran di rumah orang tua”. Huh! Namun akan kulakukan berbagai cara
untuk membunuh rasa khawatir ini.
Beratnya menjadi perantau yah seperti
ini. Hanya doa yang bisa menguatkan. Hanya doa yang menjadi jembatan penghubung
antara aku dan orang tua.
Tidak semua yang kelihatan
menyenangkan itu betul-betul menyenangkan. Ada perasaan yang harus di pendam.
Ada rasa iri kepada mereka yang bisa bertemu dengan orang tua. Dan aku hanya
bisa berkata bahwa, setiap pilihan memiliki resikonya masing-masing.
Padang Alang, 09 September 2018
0 komentar:
Posting Komentar