Senin, 10 September 2018

_homesick_


Merantau menjadi hal yang sudah kutekuni sejak 3 tahun lalu. Menjalani kehidupan di Pulau Kalimantan yang kemudian berpindah ke Pulau Alor di Selatan Indonesia membuatku harus terbiasa tinggal jauh dari orang tua. Tidak sedikit yang berkomentar bahwa aku keren, seorang perempuan yang berani melanglang buana ke berbagai pulau di Indonesia, katanya jarang yang mau seperti itu. Ditempatkan di daerah terpencil lagi. Mereka kadang berkomentar, enak yah bisa ke mana-mana, pasti seru sekali hidupnya.

Okelah, tidak dapat ku pungkiri bahwa kehidupan seperti ini lumayan ku nikmati. Hati ku yang selalu berpikir untuk jalan-jalan di dukung oleh pekerjaan dan penempatan ku. Bertemu orang baru sekaan menjadi suntikan semangat bagiku. Entah itu untuk bertukar pengalaman, bertukar pendapat, maupun berbagi ide. Pengalaman baru bagiku seperti mendapatkan sekoper berisi emas batangan. Bahkan lebih dari itu. Pengalaman bagiku adalah suatu hal yang tidak dapat dinilai dengan angka, bahkan kemungkinan tidak dapat di beli dengan uang. Apalagi aku terbiasa di larang-larang dari kecil, jadi berada jauh dari orang tua menjadi kesempatan bagiku untuk memperpanjang langkah kakiku tanpa larangan berarti. Menyenangkan bukan?

Tapi sebenarnya jika kau merasakannya, tidak semenyenangkan yang kau lihat. Seorang perempuan yang tinggal jauh dari orang tua bukanlah pilihan yang baik, bagiku pribadi. Aneh yah? Suka jalan, tapi gak suka pisah sama orang tua. Siapa sih yang suka pisah jauh dari orang tua. Dari kecil sudah terbiasa mendapatkan perhatian dari orang tua yang bahkan bagiku kesannya sangat berlebihan. Perhatian dalam bentuk gak boleh makan ini, gak boleh ke sana, gak boleh bikin itu, dkk. Semakin bertambahnya usia, semakin ku sadari bahwa hal itu dilakukan kedua orang tua ku bukan karena mereka tidak mau anaknya berkembang. Ku pikir, mereka hanya khawatir dengan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga kami. Dari kecil aku dimarahi jika terluka, itulah aku tidak terbiasa terluka. Setelah dewasa ku pikir, ketika aku terluka, pasti mereka yang lebih merasa terluka. Intinya setelah dewasa, semua larangan-larangan mereka terhadapku tidak lebih karena mereka ingin menjaga anak perempuannya ini. Yahh, walaupun memang kadang aku berpikir hal tersebut terlalu berlebihan, apalagi beberapa hal berlanjut sampai sekarang ketika aku sudah tinggal jauh (sekali) dari mereka.

Kebiasaan ditelpon 3 kali sehari sejak kuliah  yang mulai berkurang jadi 1 kali sehari sejak kerja. Stabil setiap hari. Rasanya? Kadang sangat membosankan dan kadang ku pikir terlalu mengganggu, tapi mungkin karena kebiasaan di telpon, ketika sehari tidak di telpon koq rasanya kosong yah? Addicted. Aku hanya mencoba menjelaskan kepada mereka bahwa tidak usah terlalu khawatir dengan cara menelpon terus, kadang mengganggu pekerjaan juga. Dosa ga sih? Yah, tapi memang begitu kenyataannya. Kadang memang kita harus menerima kenyataan kan? Kadang jika di pikir bukan hal penting yang di bahas ketika mereka menelpon, hanya menanyakan sudah makan atau belum, atau lagi di mana, atau sedang apa. Kadang durasi telponnya juga tidak lebih dari 3 menit, tapi jika sedang seru-serunya bisa sampai sejam bahkan lebih. Mereka masih tetap menjadi tempat curhatku, apalagi masalah pekerjaan.Metode yang diterapkan orang tua ku ini secara tidak langsung membentuk hubungan jarak jauh kami agar tetap terasa dekat. Mungkin tidak seperti keluarga lainnya, tapi bagiku aku nyaman dengan cara seperti ini.

Beberapa hari lalu, aku di telpon mamak dengan berita yang gak enak banget menurutku. Beliau cerita kalau sedang sakit, bahkan beberapa hari tidak bisa bangun. Kaget sekali rasanya. Mamak yang jarang sekali menelpon untuk cerita kalau beliau sakit, tapi sore itu datang dengan berita itu. Ku sarankan berobat namun beliau tidak mau dengan alasan malu, tapi berusaha ku bujuk hingga akhirnya beliau bersedia. Kejadian ini betul-betul menyita perhatianku. Sejak merantau, tidak pernah sebelumnya beliau mengaku sakit parah. Bagiku ini parah sekali. Memang ku tahu alasan mereka kadang tidak memberitahukan jika ada yang sakit adalah untuk menghindari jika aku khawatir dengan kondisi mereka, tapi jika sudah parah malahan akan lebih kepikiran lagi.

Terbukti. Aku begitu kepikiran dengan berita itu. Bahkan tidak niat untuk melakukan apapun. Rasa rindu itu tiba-tiba menyerbu. Rindu untuk berada di rumah dan dipeluk. Menjadi orang yang tidak terbiasa mengungkapkan beban kepada orang lain yang belum dikenal itu tidak mengenakkan sebenarnya. Berbagi beban dengan orang rumah bergitu berat untuk ku lakukan, alhasil aku hanya menelpon sahabat dan saudara ku untuk berbagi keluh. Dalam kondisi itu, aku hanya butuh pelukan untuk berbagi beban, namun rasanya begitu sulit kudapatkan. 

Segala cara kulakukan agar tidak terlalu khawatir namun semuanya seakan memiliki hubungan yang mengarah pada beban pikiranku saat ini. Ku isi waktuku dengan membersihkan dapur, tapi ketika mencuci [iring di belakang rumah, lewatlah seekor anjing dengan anaknya yang asik bermain. Baperlah lagi. Kusibukkan diri dengan membaca buku Bung Fiersa yang belum kuselesaikan itu (Judulnya  Arah Langkah) tapi ternyata aku sudah tiba pada bab ketika Ibu Bung mengirimkan SMS kepada Bung yang sedang berkelana di Manado, meminta agar Bung ber-lebaran di rumah orang tua dengan isi pesan “selagi orang tua, sempatkanlah untuk lebaran di rumah orang tua”. Huh! Namun akan kulakukan berbagai cara untuk membunuh rasa khawatir ini.

Beratnya menjadi perantau yah seperti ini. Hanya doa yang bisa menguatkan. Hanya doa yang menjadi jembatan penghubung antara aku dan orang tua.
Tidak semua yang kelihatan menyenangkan itu betul-betul menyenangkan. Ada perasaan yang harus di pendam. Ada rasa iri kepada mereka yang bisa bertemu dengan orang tua. Dan aku hanya bisa berkata bahwa, setiap pilihan memiliki resikonya masing-masing.


Padang Alang, 09 September 2018


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts