![]() |
1000 Guru Kupang bersama Siswa SD GMIT Fatumnasi |
Day
1
Jumat,
24 Agustus 2018.
Malam itu sedang
hebohnya ASIAN Games. Cabang olahraga bulutangkis sedang bertanding, Indonesia
melawan entah negara apa, aku lupa. Yang kuingat adalah janji pertemuan
keberangkatan menuju lokasi TNT (Travelling
‘n Teaching) jadi ngaret karena aku yang setengah bengek nonton
pertandingan malam itu. Bad impression
sekali yah di pertemuan pertama. Ampuni aku tim, ini pengakuan dosa ku sebelum
memulai sebagian kecil kisah dalam hidupku yang kelak dapat ku kenang sambal
tersenyum (siap-siap sungkem minta maaf).
Dinginnya Kupang
malam itu menemani kami di dalam bus yang membawa kami menuju Soe, Ibukota
Kecamatan Timor Tengah Selatan. Perjalanan malam membuatku menghabiskan waktu
untuk beristirahat sejenak setelah seharian menghabiskan waktu jadi anak mall
Kupang. Sebelumnya aku sempat bercakap dengan salah satu volunteer asal Medan
yang saat itu bertugas di Kota Kupang di sebuah NGO, Kak Tika (@rentikanaga).
Percakapan awal berbagi pengalaman dari daerah asal sampai tiba di dataran
Timor dan mengikuti TNT. Salah satu percakapan yang sangat menarik buat ku pribadi,
karena percakapan semacam ini menjadi salah satu hal yang memotivasiku.
Percakapan singkat harus berakhir seiring dengan topik pembahasan yang mulai
berkurang dan mata yang mulai mengantuk.
2 jam perjalanan
sukses membuatku teler, bahkan bus parkir pun rasanya mau lanjut tidur saja.
Turun dari bus, udara malam Soe yang super duper dingin menyambut kami. Buset
dahhh, rasanya Toraja pindah ke NTT. Sepertinya bukan pilihan yang tepat untuk
berlama-lama di luar rumah berteman udara malam Soe yang nyaris tengah malam
itu. Tuan rumah sudah menyediakan tempat untuk tidur. Jangan pernah
membayangkan bisa tidur di tempat tidur yang nyaman kalo ikut kegiatan volunteering, kondisi yang di luar zona
nyaman akan kalian temukan. Masih dapat tempat tidur? Oh, itu mah bonus. Ruang
tamu dan ruang keluarga di sulap menjadi tempat untuk memasang tempat tidur
masing-masing. Cari posisi paling nyaman yang bisa kita lakukan. Sleeping bad dan selimut sudah menempati
posisi dengan pemilik masing-masing meringkuk di dalamnya. Mencoba tidur dengan
nyaman dalam udara malam Soe yang semakin malam semakin dingin. Curly? Sudah nyempil di antara sesama volunteer supaya lebih terasa hangat. Namanya
saja yang berdarah Toraja, yang notabene terkenal dengan dinginnya, tapi berada
di tempat dengan cuaca dingin, hidung udah meler dan konser single bersin sudah terdengar.
Selamat malam
Soe. Sampai Jumpa besok pagi.
Day
2
Sabtu,
25 Agustus 2018
Sarapan bersama Volunteer |
Terbukti!
Setelah mandi ternyata gak sedingin
ketika belum mandi, plus tambah segar. Mungkin sudah lama tidak
merasakan mandi air dingin di tengah suhu dingin jadi segarnya lebih terasa.
Berganti pakaian merah #tnt12fatumnasi plus dempul-dempul wajah, lalu sarapan. Pagi
ini kami melanjutkan perkenalan antar volunteer, dan di sinilah saya mengenal
mereka dari berbagai daerah, ada anak Nias yang kuliah di Bandung tapi lagi
magang di Lembata, ada orang Sabu yang tugas di Kupang, ada orang Madiun yang
tugas di Kupang, ada anak Jakarta yang lagi kuliah Sastra Prancis, dan masih
banyak lagi. Perkenalan singkat yang kemungkinan akan bertahan beberapa minggu
bahkan semoga berbulan-bulena kedepan. Jadwal awal yang harusnya kami berangkat
pukul 6 pagi harus ngaret jadi jam 7 pagi, tapi hal itu malah membuatku
bersyukur sih. Setidaknya gak perlu berdingin-dingin ria di atas mobil kalo
berangkatnya jam 7, matahari kan sudah nongol jam segitu. Briefing singkat,
berdoa, berfoto tim & volunteer, lalu kami berangkat menuju Fatumnasi
menggunakan mobil pick up yang sudah dimodifikasi jadi kendaraan umum. Saya dan
beberapa teman memilih duduk di mobil pick up yang duduknya berhadap-hadapan.
Saya duduk bersama 8 teman lainnya yang belum terlalu saling kenal.
![]() |
Foto dulu yuk sebelum berangkat |
Angkot kami ke Fatumnasi |
Perjalanan menuju Fatumnasi yang di tempuh
selama 2 jam kami isi dengan mendengarkan music sambil karaoke dari mike +
speaker portable yang ku bawa.
Terkadang, dalam sebuah perjalanan, bukan hanya tujuannya yang akan membuat berkesan, tapi juga dengan siapa kita melalui perjalanan tersebut.
Ya gak sih? Menurutku perjalanan dua jam seperti
ini, kami menghabiskan waktu dengan nyanyi bareng, seru-seruan bareng apalagi
ada salah satu volunteer, kak Daniel (@dhiidaniel_90), yang tenaganya gak ada
habis-habisnya. Kupikir dialah penyanyi yang sesungguhnya, yang mana dalam
goncangan mobil yang membanting kiri kanan saja suaranya masih tetap stabil
tanpa hambatan apapun. He is the real singer
J.
Dan kupikir inilah salah satu cara yang dapat kami lakukan untuk membunuh
kebosanan perjalanan selama 2 jam bersama orang yang belum terlalu kami kenal.
Lagu SIA yang di bawakan oleh Kak Daniel walaupun kami tidak tahu dan tidak
paham liriknya, namun bisa membawa kami untuk berteriak bersama di akhir lagu.
Dan silih berganti lagu-lagu mengisi perjalanan kami, Manusia Kuat, Memulai
Kembali, Fix You, de el el. Selain personil di dalam mobil yang seru-seru, perjalanan
kami juga di suguhkan oleh pemandangan keren luar biasa. Hamparan rumput yang
luas di kiri kanan jalan menghiasi perjalanan kami, melewati hutan pinus, bukit
hijau ala-ala bukit Teletubbies, yang dihiasi beberapa ekor sapi yang dengan kusyuk
menikmati makan mereka tanpa merasa terganggu dengan suara kami yang sedang
karaoke dari mobil. Walaupun harus melewati jalanan jelek berbatu selama 2 jam
tapi ku pikir itu semua terbayar. Namun perjalanan ini sedikit ternodai dengan
insiden kursi mobil roboh, mungkin saking tergocangnya mobil (tergoncang dari
atas dan tergoncang dari bawah, hahaha). Tapi yang jelas tidak ada korban dalam
insiden ini, dan yang paling penting artis kami tidak mengalami gangguan yang berarti.
Yang jelas, tidak boleh ada yang mengantuk di perjalanan kami yang mengalami
turbulensi sepanjang jalan karena sedikit tanda-tanda mengantuk akan di
hempaskan oleh Kak Daniel, pakar mata melek.
Jalanan Fatumnasi yang bikin bergetaarrrr |
View sepanjang perjalanan, padang rumput |
Sapi makan dengan tenangnya |
Dua
jam berlalu dan mobil berhenti di depan sebuah rumah. Ternyata kami sudah tiba
di Fatumnasi. Kami memasuki sebuah pekarangan dengan rumah khas NTT di samping
kiri kanannya, rumah ini milik Bapa Matheos Anin, Ketua Adat setempat. Semakin
ke bagian belakang rumah, ternyata semakin banyak rumah seperti yang ada di
depan tadi. Rumah ini dikenal dengan nama Lopo. Lopo merupakan rumah adat
masyarakat Timor, khususnya di daerah Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan,
dan Timor Tengah Utara. Bentuknya kurang lebih seperti Rumah Honai dari Papua.
Bentuknya setengah lonjong yang sebagian besar di tutupi oleh atap, bahkan ada
yang atapnya sampai ke tanah, yang kelihatan dari luar hanya pintunya. Atapnya
terbuat dari daun gewang, sedangkan tiangnya dari batang pohon gewang juga.
Pohon gewang adalah sejenis pohon palma tinggi, memiliki nama yang berbeda-beda
di setiap daerah seperti Gabang (Dayak Ngaju), Lontar Utan (Betawi), Pocok
(Madura), Ibus (Batak & Sasak), Silar (Minahasa), kuala (Makassar), mungkin
ini yang sering saya sebut dengan pohon lontar kali yah. Kalau masuk ke dalam Lopo, akan kelihatan
jelas ada sekat antara ruangan bawah dan ruangan atas (loteng). Ruangan bagian
bawah digunakan sebagai rumah tinggal, dan bagian loteng dijadikan sebagai
tempat menyimpan hasil pertanian. Ada juga Lopo yang khusus dijadikan tempat
pertemuan. Nah, di rumah Bapa Matheos ini ada sekitar 8 Lopo, salah satunya
dijadikan tempat tinggal bagi beliau dan sisanya di sewakan bagi wisatawan
ataupun pendaki Gunung Mutis yang ingin merasakan tidur di dalam Lopo. Harga
sewanya berkisar 100ribu – 150 ribu per malam dengan fasilitas 3 tempat tidur
dan suasana gelap ala Lopo.
Homestay Lopo Mutis dari depan |
Salah satu Lopo yang disewakan |
Kedatangan
kami ke rumah Bapa Matheos adalah untuk membuat izin melakukan kegiatan di
daerah tersebut. Berhubung Bapa adalah Ketua Adat di wilayah tersebut jadi perizinan
harus melalui Bapa Matheos. Begitu pula dengan pengunjung lainnya yang datang
ke daerah Mutis, entah untuk mendaki gunung atau apapun itu. Sembari menunggu,
terlihat beberapa anak SD yang menggunakan pakaian adat dari kain tenunan plus
berbagai pernak Pernik di tubuh mereka, sepertinya ini persiapan tarian
penyambutan, batinku.
Seorang bapa melintas di depan Lopo |
Tiga
puluh menit berlalu, tibalah saatnya kami akan memasuki area sekolah. Kembali
naik ke mobil pick up rasa Garuda
Indonesia untuk melanjutkan perjalanan ke lokasi SD Fatumnasi yang ditempuh
hanya dalam waktu kurang lebih 5 menit. Dekat sekali. Adik-adik sudah menunggu di
sana dan beberapa dari mereka menggunakan pernak-pernik khas daerah tersebut.
Para volunteer berjalan sambil berbaris ke dalam area lapangan sekolah dan saya
salah satu yang berada di barisan paling depan. Excited? Bangeeetttt. Untuk ukuran tinggi minimal seperti ini,
berada di barisan paling depan untuk menikmati pertunjukan adalah hal yang
tidak boleh di tolak. Bapa Matheos kembali muncul dan mempersilahkan kami
memasuki lapangan dan menunjukkan tempat kami harus berdiri.
Bapa Matheos mempersilahkan kami memasuki lapangan |
Kami
di sambut dengan tarian perang yang dilakukan oleh adik-adik SD GMIT Fatumnasi.
Tarian ini disebut juga dengan Tarian Giring-Giring. Tarian ini dilakukan oleh
7 orang anak laki-laki yang masing-masing membawa parang. Setelah berbaris di
depan kami, mereka langsung memulai tariannya. Mareka menarik parang dari
sarung parangnya TEPAT didepan ku. Ini bagian yang membuat ku harus menahan
napas, jangan sampai ujung pisau menyambar bagian tubuhku, hehe, ini parno
berlebihan sih. Tarian di lanjutkan dengan mereka melompat ke sana kemari
sambil menggerak-gerakkan parang di udara, gerakan perpaduan antara menari dan
berperang. Setelah menari beberapa menit, barisan kami dipersilahkan memasuki
lapangan dan berbaris di hadapan kumpulan warga masyarakat dan anak sekolah
yang sudah berkumpul di sana.
Tari Giring-Giring oleh Siswa SD GMIT Fatumnasi |
Prosesi Natoni oleh tua-tua adat |
Sebelum
tarian ini, seorang tetua adat mengalungkan tenunan kepada tamu (kalau dari
kami ada perwakilan 5 orang), tenunan ini merupakan tenunan khas Suku Mollo
dari Fatumnasi. Tamu yang mendapatkan kalung tersebut wajib ikut menari di
tengah bersama penari lainnya selama 10 menit, hal ini menjadi pertanda bahwa
tamu yang datang sudah di terima dengan baik oleh warga masyarakat dan karena
sudah diterima maka tamu wajib berbaur dengan masyarakat setempat yang dilambangkan
dengan menari bersama. Salah satu tamu
yang dikalungkan tenunan adalah diriku, jadi menari bersama mereka menjadi
suatu kewajiban bagiku. Senang bisa berbaur bersama mereka dalam keragaman
budaya yang ada. Tarian berlangsung menyenangkan, dan 10 menit pun berlalu.
Kegiatan dilanjutkan dengan perkenalan guru, dan dimulailah kegiatan Teaching.
![]() |
Menari bersama adik-adik SD GMIT Fatumnasi |
![]() |
Siswi SD GMIT Fatumnasi sebagai penari |
Saya
dan 4 orang lainnya bertugas di kelas 3, ada Kak Hafif, Kak Inda, Kak Laily,
dan Kak Putri. Kelas dengan jumlah siswa 30 orang yang super lugu, kadang
malu-malu tapi juga ada yang berani. Seru sekali bermain bersama mereka. Materi
yang kami sampaikan adalah tentang nasionalisme, jadi kami memperkenalkan tokoh
nasional Indonesia. Hal yang paling miris adalah ketika kami bertanya tentang
nama presiden pertama Indonesia dan dengan lantang mereka menjawab,
“JOKOWI!!!”. Tidak ada satupun yang tahu siapa proklamator Bangsa Indonesia.
Tidak ada sama sekali gambaran bagi mereka. Bahkan kami memperlihatkan gambar
Ibu Sukmawati, mereka malah menjawab, “KARTINI!!”. Mereka sepertinya hanya tahu
Kartini dan Jokowi yah? Belum lagi kalo ngomongin soal membaca, dari 30 siswa
di kelas ini, ada sekitar 100% yang tidak dapat membaca, ALIAS SEMUANYA gak
bisa baca. Aku hanya bisa terdiam, tertunduk, geleng-geleng kepala melihat
kenyataan ini.
Siswa kelas 3 |
Ketika
kami membahas tentang cita-cita, awalnya mereka diam. Entahlah, mungkin mereka
sedang berpikir, makhluk macam apakah yang di sebut dengan Cita-Cita itu?
Sampai kami menjelaskan tentang cita-cita. Namun ketika kami bertanya apa
cita-cita mereka, mereka gak ada yang menjawab. Yasudah, kami mulai berinisiatif
bertanya seperti ini:
Volunteer :
Siapa yang mau jadi guru??
Siswa :
SAYA!!!! (semua angkat tangan)
Volunteer :
Siapa yang mau jadi tentara??
Siswa : SAYA!!!! (semua angkat tangan)
Volunteer :
Siapa yang mau jadi guru??
Siswa :
SAYA!!!! (semua angkat tangan)
Volunteer :
Siapa yang mau jadi pendeta??
Siswa :
SAYA!!!! (masih semua angkat tangan)
Dan saya kembali berpikir, sepertinya
mereka masih belum memahami cita-cita itu.
![]() |
Kelas 3 & Kelas 4 |
Kami
memperkenalkan profesi kami kepada adik-adik ini. Mereka antusias tentunya,
mendengarkan penjelasan kami tentang pekerjaan yang mungkin sebelumnya belum
pernah mereka dengarkan. Ahli Gizi, Auditor, Dokter, dan Astronot, mungkin
masih sangat baru bagi mereka. Giliran mereka menyampaikan cita-cita mereka.
Kami membantu menuliskan di kertas berbentuk daun untuk mereka tempelkan di
Pohon Impian.
“Nama saya Adel, saya bercita-cita menjadi
dokter”
“Nama saya Desti, saya mau menjadi guru.”
Berganti-gantian mereka menyebutkan profesi
guru, polisi, tentara, dan dokter sebagai cita-cita mereka. Menyenangkan sekali
melihat mereka akhirnye bersemangat untuk menyebutkan cita-cita mereka. Setelah
menempelkan cita-cita mereka di pohon impian, kami memberikan alat tulis
sebagai bantuan dari 1000 Guru dengan sedikit motivasi dari kami, berharap
melalui pemberian motivasi mereka bisa lebih semangat untuk bersekolah. Bagi
saya pribadi, untuk kegiatan seperti ini kami sebaiknya lebih banyak memberikan
motivasi, menceritakan pengalaman kami agar mereka lebih bersemangat untuk
meraih cita-cita. Setidaknya mereka merasa lebih berharga karena bisa di
kunjungi oleh orang-orang dari luar daerah mereka dengan berbagai latar
belakang profesi, dan harapannya hal itu tetap melekat dalam pikiran mereka dan
kelak mereka bisa menjadi inspirasi bagi orang lain melalui kegiatan yang sama.
Kak Dokter Putri membantu menempelkan cita-cita di pohon impian |
Si penari menggantungkan impiannya di ppohon impian |
Kegiatan
teaching berakhir, dan mereka kembali
ke rumah masing-masing, dan dilanjutkan dengan kegiatan keakraban bersama tim
dan volunteer. Selayaknya orang yang belum pernah ketemu, tentunya belum saling
mengenal satu sama lain kan? Berbagai games
dilakukan panitian untuk saling mengakrabkan, games konsentrasi, games truth or dare, dll. Sejam berlalu, acara
bebas sebelum kegiatan nonton bareng Film Denias ‘Senandung di Atas Awan’.
Acara bebas, sebagaian besar teman-teman menghabiskan waktu untuk bersitirahat
di ruangan kelas yang akan dijadikan tempat menginap kami malam ini. Saya yang
tidak bisa diam rasanya sayang jika sudah jauh-jauh ke Fatumnasi dan hanya
tiduran di dalam ruangan. Saat itu ku
ajak salah satu volunteer yang menarik perhatian ku dari awal karena dia salah
satu volunteer yang betugas untuk dokumentasi (awal lihat kameranya yang
ternyata sodaraan sama anakku Sonya – Sonya @ -5100) – Kak Elisa. Ku ajakin dia
jalan-jalan sekitar lokasi kegiatan sambil membawa anak kami masing-masing.
Baine Toraya (Curly) & Onoalabe Nias (Kak Elisa) |
Lokasi
kegiatan yang berada di bawah kaki Gunung Mutis ini memberikan pemandangan yang
keren. Sejauh mata memandang terlihat topografi wilayah dengan gunung dan
lembah sejauh mata memandang. Pemandangan gunung batu di kejauhan membuat
tangan gatal untuk foto-foto. Satu hal yang menarik di tempat ini adalah
cuacanya yang sangat dingin. Waktu baru mengumpulkan pukul 4 sore tapi dinginnya
sudah mulai terasa. Untung syal tenun hasil pengalungan tadi siang masih
melekat di leher, lumayan untuk menghangatkan. Puas berjalan-jalan kami kembali
ke sekolah.
Desa Fatumnasi di sore hari |
Curly dengan Latar Gunung Batu |
Good timing! Belum 5 menit masuk di
kelas, kami di tawari lagi oleh Kak Ida untuk jalan-jalan ke rumah Bapa
Matheos, Ketua Adat tadi. Di sana kami bisa berfoto menggunakan pakaian adat
tradisional. Tidak di tawarkan dua kali, saya langsung setuju. Kapan lagi. Kami
hanya berjalanan kaki selama 5 menit untuk tiba di Homestay Lopo Mutis, nama
penginapan Bapa Mateos. Waktu sudah sore ketika kami menuju Lopo, yang artinya
tidak boleh terlalu lama karena ada kegiatan lain yang akan dilaksanakan. Penuh
semangat kami berjalan kaki ke Lopo, dan setibanya di sana langsung minta izin
untuk menggunakan pakaian adat setempat. Demi foto yang total, saya dan Elisa
rela dingin-dingin untuk pakai pakaian adat tersebut. Thanks to Kak Ida (@idabanunaek) untuk informasinya yang jadi bahan
tulisan dan ajakan ke lopo untuk bisa pake pakaian khas sana.
Volunteer menggunakan Pakaian Adat suku Mollo |
Rela menahan dingin demi foto yang maksimal |
Puas dengan
berfoto-foto, kami kembali ke sekolah, dingin juga sudah semakin menggigit, dan
kegiatan juga sudah akan dilanjutkan. Malam datang, dingin menjemput, mandi pun
enggan. Dingin yang begitu keterlaluan
malam itu membuat ku memakai pakaian sampai 3 lapis, di tambah kupluk, di
tambah kaos kaki, luar biasa. Di dalam ruangan masih lumayan hangat walaupun
sedikit, seketika badan sudah melewati pintu menuju ke luar, angin malam
langsung menerjang. Kabur ke tempat nonton adalah pilihan terbaik, demi gak
hipotermia di luar, hehe. Nonton bersama adik-adik menyenangkan juga, melihat
reaksi mereka ketika menonton, melihat ada adik-adik yang menangis karena seram
sama musiknya, melihat mereka tertawa ketika ada adegan lucu, dan banyak lagi
ekspresi priceless mereka. Tidak
hanya adik-adik saja, ada beberapa orang tua yang ikut menonton walaupun mereka
hanya bisa duduk melantai di samping pintu masuk. 2 jam berlalu, film berakhir, dan penonton kembali
ke rumah masing-masing. Volunteer? Belum waktunya, this is the best thing for today. Joget!
Our lovely Kak Ida as Guide yang merekomendasikan ke tempat ini |
NTT di kenal
dengan orang-orangnyah yang suka bergoyang, entah itu berdansa, joget, atau
apapun itu. Nah, karena cuaca Fatumnasi dingin sekali (bahkan mencapai minus 13
derajat celcius), panitia memutuskan untuk berjogettt, wuuhhuuuuuu! Goyang di
awali dengan goyang Maumere, dilanjutkan Goyang Tobelo, Goyang Meti Kei, Goyang
Meri-Meri. Seruuu sekali. Aku kebanyakan capek mempelajari gerakannya sih, dari
semua goyang itu hanya Meti Kei dan Goyang Maumere yang ku tahu gerakannya,
selebihnya hanya sibuk belajar. Haha. Apalagi yang bagian Tari Meri-Meri.
Fanassssss!! Untuk senam lainnya harus sibuk mengikuti gerakan para nona dan
nyong NTT yang jago joget. Tarian di akhiri dengan Tari Tebe, salah satu tarian
Khas NTT. Dan hasilnya? Keringaaatttt!!
Berakhirnya
Tarian Tebe, berakhir pula acara goyang-goyang. Saatnya evaluasi kegiatan
bersama tim. Disinilah ajang kami para volunteer untuk lebih saling mengenal
lagi dan berbagi kesan dan masukan untuk kegiatan 1000 Guru Kupang hari ini.
Kemudian di akhiri dengan tukar kado. Dari awal kami sudah mempersiapkan kado
untuk kemudian di tukar bersama semua yang bawa kado. Menyenangkan sekali. Saat
itu saya mendapatkan tempat air untuk the, jadi kek ada saringannya gitu. Malam
semakin larut, kami pun beristirahat di tempat yang super dingin itu. Sementara kami bersiap-siap untuk tidur, beberapa
teman masih sibuk latihan gerakan yang kami lakukan tadi. Ahh, sepertinya aku
lebih butuh istirahat, seharian rasanya sudah terlalu lelah. Namun tidur
nyenyak sepertinya jauh dari harapan. Lantai terlalu dingin untuk bisa tidur
nyenyak. Aku tidur hanya beralas tenda tipis yang langsung bersentuhan dengan
kantong tidur ku yang juga tipis. Segala bagian tubuh sudah berusaha ku tutupi
demi untuk menjaga tubuh tetap hangat, bahkan seluruh tubuh sudah ku masukkan
ke dalam kantong tidur menghindari angin yang masuk ke tubuh. Belum lagi hidung
yang langsung bereaksi jika terkena perubahan suhu yang drastis, meler
maksimal. Ditambah perut yang tiba-tiba minta asupan saking dinginnnya, jadilah
mengunyah coklat kacang ‘Cha Cha’ kulakukan sembari menunggu kantuk datang. Lumayan
tersiksa yah, hehe. Namun inilah esensi
dari menjadi volunteer, kenyamanan bukanlah hal yang akan ditemukan di sini.
Satu saja doaku malam itu, semoga pagi segera datang supaya penderitaan tidur
seperti ini bisa berakhir.
Add caption |
Day
3
26
Agustus 2018
Happy
Sunday! Aku terbangun karena kebelet. Kebelet yang gak enak sekali. Namun dari
info semalam, bahwa air tidak ada di sekolah ini mengurungkan niatku untuk
pipis. Sepertinya aku akan menumpang pipis saja di rumah warga. Ternyata ada
sumur di dekat situ, hanya perlu berjalan sebentar untuk bisa sampai di sumur
itu. Pencerahan. Beberapa teman ternyata ada yang sudah menuju sumur, UNTUK
MANDI! Wah, udara sedingin itu mereka akan mandi? Gila kali yah, pikirku. Aku
hanya akan pipis, titik. Terbersit pikiran untuk mandi, tapi nantilah, setelah
aku memasak. Kebetulan hari ini giliran kelas kami untuk memasak. Perjalanan
menuju sumur kami lalui dengan melewati gereja. Kaki terhenti ketika tepat di
depan gereja, dan kami melihat pemandangan yang luar biasa biking ngiler.
Matahari mulai terbit di sebelah timur dan menunjukkan pemandangan yang begitu
eksotis. Kami galau, antara melanjutkan ke sumur atau kembali ke kelas untuk
mengambil kamera, demi untuk mengabadikan gambar kece ini.
Sunrise di Fatumnasi |
Sunrise |
Sedikit
gila mungkin, tapi pemandangan seperti ini sayang untuk dilewatkan. Berlari kembali
ke kelas untuk mengambil HP dan kamera hanya untuk merekam keindahan alam pagi
itu. Lambat sedikit maka momennya tidak akan dapat. Wah, matahari pagi itu
begitu mempesona. Penangkapan diakhiri dan kami kembali kepada tujuan awal
kami, ke sumur. Sumur terletak tidak jauh dari sekolah. Dengan jerigen yang
dimodifikasi menjadi alat untuk mengambil air dari sumur, yang selanjutnya
airnya diangkat ke WC umum yang tidak jauh dari sumur tersebut. Ternyata sudah
ada beberapa yang mengantri mandi. Wah, berani sekali mereka. Di pagi hari yang
diselimuti kabut seperti ini jangan harap aku mau menyiramkan air dingin itu di
tubuhku.
Karena
kelas kami punya jadwal memasak pagi ini jadi itu menjadi alasan ku untuk belum
mandi, mubazir nanti, masih akan terkena asap. Hehe. Matahari semakin meninggi,
memasak pun selesai. Sesuai janjiku pada diri sendiri aku akan mandi setelah
memasak. Wah, pilihan yang sukar. Tapi harus ku lakukan. Wah, ternyata
meningginya matahari tidak berbanding lurus dengan suhu air di sana. Airnya
masih sangat dingin. Tapi kesegaran tidak tertandingi ku dapatkan, wesshhh.
Segarnya gak main-main, walaupun dingin tapi segar sekali rasanya. Namun itu
tidak lantas membuat ku akan berlama-lama dalam kamar mandi yang diiringi oleh
suara babi di kandang sebelah.
![]() |
WC umum tempat mandi |
![]() |
Sumur tempat timba air |
Persiapan
sebelum meninggalkan area SD dilakukan. Makan siang dan packing tas selesai.
Menunggu mobil angkot jemputan, kami manfaatkan dengan berjemur di depan ruang
kelas. Angka di jam semakin bertambah namun suhu di tempat ini tidak jua ingin
bertambah. Berjemur sambil bermain games yang di pimpin oleh kak Sonya kami
lakukan. Yah, inilah games permainan otak yang membuat kami (utamanya yang
belum tahu gamesnya) jadi terlihat bodoh. But,
it was so fun!
![]() |
Pose sebelum berpisah |
Kendaraan
sudah datang dan kami harus bersiap untuk melanjutkan kegiatan travelling.
Mempertahankan posisi dan personil awal ketika berangkat dengan iming-iming mike portable yang bikin suasana suram
jadi ceria. Berkat our one and only
kak Daniel, pramugara plus singer
andalan dari awal berangkat. Perpisahan yang menyedihkan sebenarnya bersama
adik-adik ini. Pulang dari Sekolah Minggu mereka langsung ke halaman sekolah
untuk melambaikan tangan bersama kami. Tidak lupa ada beberapa yang membawakan
hasil kebun mereka berupa daun bawang, yang dengan wajah malu-malu mereka bawa
untuk kami. Ekspresi mereka begitu priceless.
Mobil berangkat dan mereka masih
semangat mengejar kami sambil melambaikan tangan. “Daaaggg Kak Lydia,” teriak
mereka.
Tampilan belakang Garuuda Indonesia kami untuk travelling |
Travelling bersama volunteer dan team dimulai. Diawali dengan mengunjungi Hutan Bonsai
yang berada dalam Cagar Alam Mutis, terus balik ke Hutan Pinus, belok ke Gunung
Bukit Marmer Nausus. Seharian itu kami disuguhkan dengan pemandangan alam Timor
Tengah Selatan yang eksotis sekali dengan hamparan padang rumput deretan pohon
pinus di sepanjang jalan berdebu yang saat itu masih sementara di perbaiki.
Sampai di puncak, suguhan keindahan pegunungan terlihat dari jauh. Intinya
tempat ini eksotis lah.
Hutan Bonsai, Cagar Alam Mutis |
Latar hutan pinus dan hamparan rumput |
View dari Bukit Marmer Nausus |
Travelling berakhir dan rombongan
kembali ke Soe untuk selanjutnya ke Kupang.
What a great day. 2 hari bersamam mereka yang notabene masih asing namun
berakhir dengan berbagai kisah yang kesannya seperti kami sudah kenal lama. Di
akhir perjalanan kami ini menjadi awal berbagai kisah dan pertemuan kami di
berbagai kegiatan lainnya. Akhir perjalanan di TTS ini menjadi awal berbagai
kegilaan yang kami lakukan bersama tanpa memandang siapa kamu, agama mu apa,
asal daerah mu di mana. Dan di akhir perjalanan ini menunjukkan bahwa inilah
Indonesia dengan berbagai keberagamannya. Bhinneka Tunggal Ika.
Terima
kasih 1000 Guru Kupang untuk pertemuan yang mengesankan ini. Karena peduli
butuh aksi. Semua orang bisa jadi Guru.
Bae sonde bae,
Flobamora lebe bae
Kalabahi, 11 September 2018
NB:
Video kegiatan kami bisa di lihat di sini
Beberapa pertemuan kami di kupang sebelum
akhirnya berpisah ke tempat masing-masing :
![]() |
Antar Adel ke Bandara |
![]() |
Salome ria berujung pengusuran saking rusuhnya :D |
![]() |
Cafe Tebing tempat ngobrol jaim |
![]() |
First Time ketemu kak Alif |