Rabu, 12 September 2018

(Meng)Inspirasi dari dataran Timor

1000 Guru Kupang bersama Siswa SD GMIT Fatumnasi

Day 1
Jumat, 24 Agustus 2018.

Malam itu sedang hebohnya ASIAN Games. Cabang olahraga bulutangkis sedang bertanding, Indonesia melawan entah negara apa, aku lupa. Yang kuingat adalah janji pertemuan keberangkatan menuju lokasi TNT (Travelling ‘n Teaching) jadi ngaret karena aku yang setengah bengek nonton pertandingan malam itu. Bad impression sekali yah di pertemuan pertama. Ampuni aku tim, ini pengakuan dosa ku sebelum memulai sebagian kecil kisah dalam hidupku yang kelak dapat ku kenang sambal tersenyum (siap-siap sungkem minta maaf).

Dinginnya Kupang malam itu menemani kami di dalam bus yang membawa kami menuju Soe, Ibukota Kecamatan Timor Tengah Selatan. Perjalanan malam membuatku menghabiskan waktu untuk beristirahat sejenak setelah seharian menghabiskan waktu jadi anak mall Kupang. Sebelumnya aku sempat bercakap dengan salah satu volunteer asal Medan yang saat itu bertugas di Kota Kupang di sebuah NGO, Kak Tika (@rentikanaga). Percakapan awal berbagi pengalaman dari daerah asal sampai tiba di dataran Timor dan mengikuti TNT. Salah satu percakapan yang sangat menarik buat ku pribadi, karena percakapan semacam ini menjadi salah satu hal yang memotivasiku. Percakapan singkat harus berakhir seiring dengan topik pembahasan yang mulai berkurang dan mata yang mulai mengantuk.

2 jam perjalanan sukses membuatku teler, bahkan bus parkir pun rasanya mau lanjut tidur saja. Turun dari bus, udara malam Soe yang super duper dingin menyambut kami. Buset dahhh, rasanya Toraja pindah ke NTT. Sepertinya bukan pilihan yang tepat untuk berlama-lama di luar rumah berteman udara malam Soe yang nyaris tengah malam itu. Tuan rumah sudah menyediakan tempat untuk tidur. Jangan pernah membayangkan bisa tidur di tempat tidur yang nyaman kalo ikut kegiatan volunteering, kondisi yang di luar zona nyaman akan kalian temukan. Masih dapat tempat tidur? Oh, itu mah bonus. Ruang tamu dan ruang keluarga di sulap menjadi tempat untuk memasang tempat tidur masing-masing. Cari posisi paling nyaman yang bisa kita lakukan. Sleeping bad dan selimut sudah menempati posisi dengan pemilik masing-masing meringkuk di dalamnya. Mencoba tidur dengan nyaman dalam udara malam Soe yang semakin malam semakin dingin.  Curly? Sudah nyempil di antara sesama volunteer supaya lebih terasa hangat. Namanya saja yang berdarah Toraja, yang notabene terkenal dengan dinginnya, tapi berada di tempat dengan cuaca dingin, hidung udah meler dan konser single bersin sudah terdengar. 

Selamat malam Soe. Sampai Jumpa besok pagi.


Day 2
Sabtu, 25 Agustus 2018

            Dinginnya udara Soe membuatkan sulit untuk tidur nyenyak akibat hidung yang tersumbat dengan tidak sopan. Telat tidur tidak membuat ku telat bangun. Dalam kondisi rame seperti ini, bangun sebelum waktunya sudah jadi hal yang biasa. Harus ngantri mandi jadi hal yang menyebalkan. Tapi dinginnya udara pagi Soe membuat rasa mager (malas gerak) lebih besar daripada hasrat untuk ingin mandi. Namun melihat beberapa teman volunteer sudah ada yang mandi, sekalian promosi kalo setelah mandi malah gak dingin, jadi motivasi tersendiri bagiku untuk mandi. Cusss ngantri mandi.


Sarapan bersama Volunteer


            Terbukti! Setelah mandi ternyata gak sedingin  ketika belum mandi, plus tambah segar. Mungkin sudah lama tidak merasakan mandi air dingin di tengah suhu dingin jadi segarnya lebih terasa. Berganti pakaian merah #tnt12fatumnasi plus dempul-dempul wajah, lalu sarapan. Pagi ini kami melanjutkan perkenalan antar volunteer, dan di sinilah saya mengenal mereka dari berbagai daerah, ada anak Nias yang kuliah di Bandung tapi lagi magang di Lembata, ada orang Sabu yang tugas di Kupang, ada orang Madiun yang tugas di Kupang, ada anak Jakarta yang lagi kuliah Sastra Prancis, dan masih banyak lagi. Perkenalan singkat yang kemungkinan akan bertahan beberapa minggu bahkan semoga berbulan-bulena kedepan. Jadwal awal yang harusnya kami berangkat pukul 6 pagi harus ngaret jadi jam 7 pagi, tapi hal itu malah membuatku bersyukur sih. Setidaknya gak perlu berdingin-dingin ria di atas mobil kalo berangkatnya jam 7, matahari kan sudah nongol jam segitu. Briefing singkat, berdoa, berfoto tim & volunteer, lalu kami berangkat menuju Fatumnasi menggunakan mobil pick up yang sudah dimodifikasi jadi kendaraan umum. Saya dan beberapa teman memilih duduk di mobil pick up yang duduknya berhadap-hadapan. Saya duduk bersama 8 teman lainnya yang belum terlalu saling kenal.
Foto dulu yuk sebelum berangkat

Angkot kami ke Fatumnasi

             Perjalanan menuju Fatumnasi yang di tempuh selama 2 jam kami isi dengan mendengarkan music sambil karaoke dari mike + speaker portable yang ku bawa.
Terkadang, dalam sebuah perjalanan, bukan hanya tujuannya yang akan membuat berkesan, tapi juga dengan siapa kita  melalui perjalanan tersebut. 
Ya gak sih? Menurutku perjalanan dua jam seperti ini, kami menghabiskan waktu dengan nyanyi bareng, seru-seruan bareng apalagi ada salah satu volunteer, kak Daniel (@dhiidaniel_90), yang tenaganya gak ada habis-habisnya. Kupikir dialah penyanyi yang sesungguhnya, yang mana dalam goncangan mobil yang membanting kiri kanan saja suaranya masih tetap stabil tanpa hambatan apapun. He is the real singer J. Dan kupikir inilah salah satu cara yang dapat kami lakukan untuk membunuh kebosanan perjalanan selama 2 jam bersama orang yang belum terlalu kami kenal. Lagu SIA yang di bawakan oleh Kak Daniel walaupun kami tidak tahu dan tidak paham liriknya, namun bisa membawa kami untuk berteriak bersama di akhir lagu. Dan silih berganti lagu-lagu mengisi perjalanan kami, Manusia Kuat, Memulai Kembali, Fix You, de el el. Selain personil di dalam mobil yang seru-seru, perjalanan kami juga di suguhkan oleh pemandangan keren luar biasa. Hamparan rumput yang luas di kiri kanan jalan menghiasi perjalanan kami, melewati hutan pinus, bukit hijau ala-ala bukit Teletubbies, yang dihiasi beberapa ekor sapi yang dengan kusyuk menikmati makan mereka tanpa merasa terganggu dengan suara kami yang sedang karaoke dari mobil. Walaupun harus melewati jalanan jelek berbatu selama 2 jam tapi ku pikir itu semua terbayar. Namun perjalanan ini sedikit ternodai dengan insiden kursi mobil roboh, mungkin saking tergocangnya mobil (tergoncang dari atas dan tergoncang dari bawah, hahaha). Tapi yang jelas tidak ada korban dalam insiden ini, dan yang paling penting artis kami tidak mengalami gangguan yang berarti. Yang jelas, tidak boleh ada yang mengantuk di perjalanan kami yang mengalami turbulensi sepanjang jalan karena sedikit tanda-tanda mengantuk akan di hempaskan oleh Kak Daniel, pakar mata melek.
Jalanan Fatumnasi yang bikin bergetaarrrr

View sepanjang perjalanan, padang rumput

Sapi makan dengan tenangnya

            Dua jam berlalu dan mobil berhenti di depan sebuah rumah. Ternyata kami sudah tiba di Fatumnasi. Kami memasuki sebuah pekarangan dengan rumah khas NTT di samping kiri kanannya, rumah ini milik Bapa Matheos Anin, Ketua Adat setempat. Semakin ke bagian belakang rumah, ternyata semakin banyak rumah seperti yang ada di depan tadi. Rumah ini dikenal dengan nama Lopo. Lopo merupakan rumah adat masyarakat Timor, khususnya di daerah Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara. Bentuknya kurang lebih seperti Rumah Honai dari Papua. Bentuknya setengah lonjong yang sebagian besar di tutupi oleh atap, bahkan ada yang atapnya sampai ke tanah, yang kelihatan dari luar hanya pintunya. Atapnya terbuat dari daun gewang, sedangkan tiangnya dari batang pohon gewang juga. Pohon gewang adalah sejenis pohon palma tinggi, memiliki nama yang berbeda-beda di setiap daerah seperti Gabang (Dayak Ngaju), Lontar Utan (Betawi), Pocok (Madura), Ibus (Batak & Sasak), Silar (Minahasa), kuala (Makassar), mungkin ini yang sering saya sebut dengan pohon lontar kali yah.  Kalau masuk ke dalam Lopo, akan kelihatan jelas ada sekat antara ruangan bawah dan ruangan atas (loteng). Ruangan bagian bawah digunakan sebagai rumah tinggal, dan bagian loteng dijadikan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian. Ada juga Lopo yang khusus dijadikan tempat pertemuan. Nah, di rumah Bapa Matheos ini ada sekitar 8 Lopo, salah satunya dijadikan tempat tinggal bagi beliau dan sisanya di sewakan bagi wisatawan ataupun pendaki Gunung Mutis yang ingin merasakan tidur di dalam Lopo. Harga sewanya berkisar 100ribu – 150 ribu per malam dengan fasilitas 3 tempat tidur dan suasana gelap ala Lopo.
Homestay Lopo Mutis dari depan

Salah satu Lopo yang disewakan

            Kedatangan kami ke rumah Bapa Matheos adalah untuk membuat izin melakukan kegiatan di daerah tersebut. Berhubung Bapa adalah Ketua Adat di wilayah tersebut jadi perizinan harus melalui Bapa Matheos. Begitu pula dengan pengunjung lainnya yang datang ke daerah Mutis, entah untuk mendaki gunung atau apapun itu. Sembari menunggu, terlihat beberapa anak SD yang menggunakan pakaian adat dari kain tenunan plus berbagai pernak Pernik di tubuh mereka, sepertinya ini persiapan tarian penyambutan, batinku.
Seorang bapa melintas di depan Lopo

            Tiga puluh menit berlalu, tibalah saatnya kami akan memasuki area sekolah. Kembali naik ke mobil pick up rasa Garuda Indonesia untuk melanjutkan perjalanan ke lokasi SD Fatumnasi yang ditempuh hanya dalam waktu kurang lebih 5 menit. Dekat sekali. Adik-adik sudah menunggu di sana dan beberapa dari mereka menggunakan pernak-pernik khas daerah tersebut. Para volunteer berjalan sambil berbaris ke dalam area lapangan sekolah dan saya salah satu yang berada di barisan paling depan. Excited? Bangeeetttt. Untuk ukuran tinggi minimal seperti ini, berada di barisan paling depan untuk menikmati pertunjukan adalah hal yang tidak boleh di tolak. Bapa Matheos kembali muncul dan mempersilahkan kami memasuki lapangan dan menunjukkan tempat kami harus berdiri.
Bapa Matheos mempersilahkan kami memasuki lapangan

            Kami di sambut dengan tarian perang yang dilakukan oleh adik-adik SD GMIT Fatumnasi. Tarian ini disebut juga dengan Tarian Giring-Giring. Tarian ini dilakukan oleh 7 orang anak laki-laki yang masing-masing membawa parang. Setelah berbaris di depan kami, mereka langsung memulai tariannya. Mareka menarik parang dari sarung parangnya TEPAT didepan ku. Ini bagian yang membuat ku harus menahan napas, jangan sampai ujung pisau menyambar bagian tubuhku, hehe, ini parno berlebihan sih. Tarian di lanjutkan dengan mereka melompat ke sana kemari sambil menggerak-gerakkan parang di udara, gerakan perpaduan antara menari dan berperang. Setelah menari beberapa menit, barisan kami dipersilahkan memasuki lapangan dan berbaris di hadapan kumpulan warga masyarakat dan anak sekolah yang sudah berkumpul di sana.
Tari Giring-Giring oleh Siswa SD GMIT Fatumnasi

             Di hadapan kami  kembali hadir Bapa Matheos dan bapak ibu lainnya dengan pakaian adatnya masing-masing. Seketika itu juga Bapa Matheos melakukan prosesi Natoni. Natoni itu semacam doa berkat untuk tamu dan sebagai tanda kalo tamu sudah diterima dengan baik oleh masyarakat desa. Dalam prosesi ini, mama bapa yang ada di hadapan kami berbicara seperti sedang berbalas pantun, yang diucapkan dalam Bahasa Dawan (Bahasa Timor yang digunakan oleh orang-orang Timor, TTU, dan TTS). Menariknya, tidak semua masyarakat tahu akan bahasa syair alias Bahasa tingkat tinggi seperti itu karena hanya boleh dilakukan oleh tua-tua adat saja.  Selesai bercakap-cakap, prosesi dilanjutkan dengan menari (lagi). 
Prosesi Natoni oleh tua-tua adat

            Sebelum tarian ini, seorang tetua adat mengalungkan tenunan kepada tamu (kalau dari kami ada perwakilan 5 orang), tenunan ini merupakan tenunan khas Suku Mollo dari Fatumnasi. Tamu yang mendapatkan kalung tersebut wajib ikut menari di tengah bersama penari lainnya selama 10 menit, hal ini menjadi pertanda bahwa tamu yang datang sudah di terima dengan baik oleh warga masyarakat dan karena sudah diterima maka tamu wajib berbaur dengan masyarakat setempat yang dilambangkan dengan menari bersama.  Salah satu tamu yang dikalungkan tenunan adalah diriku, jadi menari bersama mereka menjadi suatu kewajiban bagiku. Senang bisa berbaur bersama mereka dalam keragaman budaya yang ada. Tarian berlangsung menyenangkan, dan 10 menit pun berlalu. Kegiatan dilanjutkan dengan perkenalan guru, dan dimulailah kegiatan Teaching.
Menari bersama adik-adik SD GMIT Fatumnasi

Siswi SD GMIT Fatumnasi sebagai penari

            Saya dan 4 orang lainnya bertugas di kelas 3, ada Kak Hafif, Kak Inda, Kak Laily, dan Kak Putri. Kelas dengan jumlah siswa 30 orang yang super lugu, kadang malu-malu tapi juga ada yang berani. Seru sekali bermain bersama mereka. Materi yang kami sampaikan adalah tentang nasionalisme, jadi kami memperkenalkan tokoh nasional Indonesia. Hal yang paling miris adalah ketika kami bertanya tentang nama presiden pertama Indonesia dan dengan lantang mereka menjawab, “JOKOWI!!!”. Tidak ada satupun yang tahu siapa proklamator Bangsa Indonesia. Tidak ada sama sekali gambaran bagi mereka. Bahkan kami memperlihatkan gambar Ibu Sukmawati, mereka malah menjawab, “KARTINI!!”. Mereka sepertinya hanya tahu Kartini dan Jokowi yah? Belum lagi kalo ngomongin soal membaca, dari 30 siswa di kelas ini, ada sekitar 100% yang tidak dapat membaca, ALIAS SEMUANYA gak bisa baca. Aku hanya bisa terdiam, tertunduk, geleng-geleng kepala melihat kenyataan ini.
Siswa kelas 3

            Ketika kami membahas tentang cita-cita, awalnya mereka diam. Entahlah, mungkin mereka sedang berpikir, makhluk macam apakah yang di sebut dengan Cita-Cita itu? Sampai kami menjelaskan tentang cita-cita. Namun ketika kami bertanya apa cita-cita mereka, mereka gak ada yang menjawab. Yasudah, kami mulai berinisiatif bertanya seperti ini:
Volunteer      : Siapa yang mau jadi guru??
Siswa              : SAYA!!!! (semua angkat tangan)
Volunteer      : Siapa yang mau jadi tentara??
 Siswa             : SAYA!!!! (semua angkat tangan)
Volunteer      : Siapa yang mau jadi guru??
Siswa              : SAYA!!!! (semua angkat tangan)
Volunteer      : Siapa yang mau jadi pendeta??
Siswa              : SAYA!!!! (masih semua angkat tangan)
Dan saya kembali berpikir, sepertinya mereka masih belum memahami cita-cita itu.
Kelas 3 & Kelas 4

            Kami memperkenalkan profesi kami kepada adik-adik ini. Mereka antusias tentunya, mendengarkan penjelasan kami tentang pekerjaan yang mungkin sebelumnya belum pernah mereka dengarkan. Ahli Gizi, Auditor, Dokter, dan Astronot, mungkin masih sangat baru bagi mereka. Giliran mereka menyampaikan cita-cita mereka. Kami membantu menuliskan di kertas berbentuk daun untuk mereka tempelkan di Pohon Impian.
“Nama saya Adel, saya bercita-cita menjadi dokter”
“Nama saya Desti, saya mau menjadi guru.”
Berganti-gantian mereka menyebutkan profesi guru, polisi, tentara, dan dokter sebagai cita-cita mereka. Menyenangkan sekali melihat mereka akhirnye bersemangat untuk menyebutkan cita-cita mereka. Setelah menempelkan cita-cita mereka di pohon impian, kami memberikan alat tulis sebagai bantuan dari 1000 Guru dengan sedikit motivasi dari kami, berharap melalui pemberian motivasi mereka bisa lebih semangat untuk bersekolah. Bagi saya pribadi, untuk kegiatan seperti ini kami sebaiknya lebih banyak memberikan motivasi, menceritakan pengalaman kami agar mereka lebih bersemangat untuk meraih cita-cita. Setidaknya mereka merasa lebih berharga karena bisa di kunjungi oleh orang-orang dari luar daerah mereka dengan berbagai latar belakang profesi, dan harapannya hal itu tetap melekat dalam pikiran mereka dan kelak mereka bisa menjadi inspirasi bagi orang lain melalui kegiatan yang sama.
Kak Dokter Putri membantu menempelkan cita-cita di pohon impian

Si penari menggantungkan impiannya di ppohon impian

            Kegiatan teaching berakhir, dan mereka kembali ke rumah masing-masing, dan dilanjutkan dengan kegiatan keakraban bersama tim dan volunteer. Selayaknya orang yang belum pernah ketemu, tentunya belum saling mengenal satu sama lain kan? Berbagai games dilakukan panitian untuk saling mengakrabkan, games konsentrasi, games truth or dare, dll. Sejam berlalu, acara bebas sebelum kegiatan nonton bareng Film Denias ‘Senandung di Atas Awan’. Acara bebas, sebagaian besar teman-teman menghabiskan waktu untuk bersitirahat di ruangan kelas yang akan dijadikan tempat menginap kami malam ini. Saya yang tidak bisa diam rasanya sayang jika sudah jauh-jauh ke Fatumnasi dan hanya tiduran di dalam ruangan.  Saat itu ku ajak salah satu volunteer yang menarik perhatian ku dari awal karena dia salah satu volunteer yang betugas untuk dokumentasi (awal lihat kameranya yang ternyata sodaraan sama anakku Sonya – Sonya @ -5100) – Kak Elisa. Ku ajakin dia jalan-jalan sekitar lokasi kegiatan sambil membawa anak kami masing-masing.
Baine Toraya (Curly) & Onoalabe Nias (Kak Elisa)

            Lokasi kegiatan yang berada di bawah kaki Gunung Mutis ini memberikan pemandangan yang keren. Sejauh mata memandang terlihat topografi wilayah dengan gunung dan lembah sejauh mata memandang. Pemandangan gunung batu di kejauhan membuat tangan gatal untuk foto-foto. Satu hal yang menarik di tempat ini adalah cuacanya yang sangat dingin. Waktu baru mengumpulkan pukul 4 sore tapi dinginnya sudah mulai terasa. Untung syal tenun hasil pengalungan tadi siang masih melekat di leher, lumayan untuk menghangatkan. Puas berjalan-jalan kami kembali ke sekolah. 
Desa Fatumnasi di sore hari

Curly dengan Latar Gunung Batu

            Good timing! Belum 5 menit masuk di kelas, kami di tawari lagi oleh Kak Ida untuk jalan-jalan ke rumah Bapa Matheos, Ketua Adat tadi. Di sana kami bisa berfoto menggunakan pakaian adat tradisional. Tidak di tawarkan dua kali, saya langsung setuju. Kapan lagi. Kami hanya berjalanan kaki selama 5 menit untuk tiba di Homestay Lopo Mutis, nama penginapan Bapa Mateos. Waktu sudah sore ketika kami menuju Lopo, yang artinya tidak boleh terlalu lama karena ada kegiatan lain yang akan dilaksanakan. Penuh semangat kami berjalan kaki ke Lopo, dan setibanya di sana langsung minta izin untuk menggunakan pakaian adat setempat. Demi foto yang total, saya dan Elisa rela dingin-dingin untuk pakai pakaian adat tersebut. Thanks to Kak Ida (@idabanunaek) untuk informasinya yang jadi bahan tulisan dan ajakan ke lopo untuk bisa pake pakaian khas sana.
Volunteer menggunakan Pakaian Adat suku Mollo

Rela menahan dingin demi foto yang maksimal

Puas dengan berfoto-foto, kami kembali ke sekolah, dingin juga sudah semakin menggigit, dan kegiatan juga sudah akan dilanjutkan. Malam datang, dingin menjemput, mandi pun enggan.  Dingin yang begitu keterlaluan malam itu membuat ku memakai pakaian sampai 3 lapis, di tambah kupluk, di tambah kaos kaki, luar biasa. Di dalam ruangan masih lumayan hangat walaupun sedikit, seketika badan sudah melewati pintu menuju ke luar, angin malam langsung menerjang. Kabur ke tempat nonton adalah pilihan terbaik, demi gak hipotermia di luar, hehe. Nonton bersama adik-adik menyenangkan juga, melihat reaksi mereka ketika menonton, melihat ada adik-adik yang menangis karena seram sama musiknya, melihat mereka tertawa ketika ada adegan lucu, dan banyak lagi ekspresi priceless mereka. Tidak hanya adik-adik saja, ada beberapa orang tua yang ikut menonton walaupun mereka hanya bisa duduk melantai di samping pintu masuk.  2 jam berlalu, film berakhir, dan penonton kembali ke rumah masing-masing. Volunteer? Belum waktunya, this is the best thing for today. Joget!

Our lovely Kak Ida as Guide yang merekomendasikan ke tempat ini


NTT di kenal dengan orang-orangnyah yang suka bergoyang, entah itu berdansa, joget, atau apapun itu. Nah, karena cuaca Fatumnasi dingin sekali (bahkan mencapai minus 13 derajat celcius), panitia memutuskan untuk berjogettt, wuuhhuuuuuu! Goyang di awali dengan goyang Maumere, dilanjutkan Goyang Tobelo, Goyang Meti Kei, Goyang Meri-Meri. Seruuu sekali. Aku kebanyakan capek mempelajari gerakannya sih, dari semua goyang itu hanya Meti Kei dan Goyang Maumere yang ku tahu gerakannya, selebihnya hanya sibuk belajar. Haha. Apalagi yang bagian Tari Meri-Meri. Fanassssss!! Untuk senam lainnya harus sibuk mengikuti gerakan para nona dan nyong NTT yang jago joget. Tarian di akhiri dengan Tari Tebe, salah satu tarian Khas NTT.  Dan hasilnya? Keringaaatttt!!



Berakhirnya Tarian Tebe, berakhir pula acara goyang-goyang. Saatnya evaluasi kegiatan bersama tim. Disinilah ajang kami para volunteer untuk lebih saling mengenal lagi dan berbagi kesan dan masukan untuk kegiatan 1000 Guru Kupang hari ini. Kemudian di akhiri dengan tukar kado. Dari awal kami sudah mempersiapkan kado untuk kemudian di tukar bersama semua yang bawa kado. Menyenangkan sekali. Saat itu saya mendapatkan tempat air untuk the, jadi kek ada saringannya gitu. Malam semakin larut, kami pun beristirahat di tempat yang super dingin itu.  Sementara kami bersiap-siap untuk tidur, beberapa teman masih sibuk latihan gerakan yang kami lakukan tadi. Ahh, sepertinya aku lebih butuh istirahat, seharian rasanya sudah terlalu lelah. Namun tidur nyenyak sepertinya jauh dari harapan. Lantai terlalu dingin untuk bisa tidur nyenyak. Aku tidur hanya beralas tenda tipis yang langsung bersentuhan dengan kantong tidur ku yang juga tipis. Segala bagian tubuh sudah berusaha ku tutupi demi untuk menjaga tubuh tetap hangat, bahkan seluruh tubuh sudah ku masukkan ke dalam kantong tidur menghindari angin yang masuk ke tubuh. Belum lagi hidung yang langsung bereaksi jika terkena perubahan suhu yang drastis, meler maksimal. Ditambah perut yang tiba-tiba minta asupan saking dinginnnya, jadilah mengunyah coklat kacang ‘Cha Cha’ kulakukan sembari menunggu kantuk datang. Lumayan tersiksa yah, hehe.  Namun inilah esensi dari menjadi volunteer, kenyamanan bukanlah hal yang akan ditemukan di sini. Satu saja doaku malam itu, semoga pagi segera datang supaya penderitaan tidur seperti ini bisa berakhir.
Add caption


Day 3

26 Agustus 2018

            Happy Sunday! Aku terbangun karena kebelet. Kebelet yang gak enak sekali. Namun dari info semalam, bahwa air tidak ada di sekolah ini mengurungkan niatku untuk pipis. Sepertinya aku akan menumpang pipis saja di rumah warga. Ternyata ada sumur di dekat situ, hanya perlu berjalan sebentar untuk bisa sampai di sumur itu. Pencerahan. Beberapa teman ternyata ada yang sudah menuju sumur, UNTUK MANDI! Wah, udara sedingin itu mereka akan mandi? Gila kali yah, pikirku. Aku hanya akan pipis, titik. Terbersit pikiran untuk mandi, tapi nantilah, setelah aku memasak. Kebetulan hari ini giliran kelas kami untuk memasak. Perjalanan menuju sumur kami lalui dengan melewati gereja. Kaki terhenti ketika tepat di depan gereja, dan kami melihat pemandangan yang luar biasa biking ngiler. Matahari mulai terbit di sebelah timur dan menunjukkan pemandangan yang begitu eksotis. Kami galau, antara melanjutkan ke sumur atau kembali ke kelas untuk mengambil kamera, demi untuk mengabadikan gambar kece ini.
Sunrise di Fatumnasi

Sunrise

            Sedikit gila mungkin, tapi pemandangan seperti ini sayang untuk dilewatkan. Berlari kembali ke kelas untuk mengambil HP dan kamera hanya untuk merekam keindahan alam pagi itu. Lambat sedikit maka momennya tidak akan dapat. Wah, matahari pagi itu begitu mempesona. Penangkapan diakhiri dan kami kembali kepada tujuan awal kami, ke sumur. Sumur terletak tidak jauh dari sekolah. Dengan jerigen yang dimodifikasi menjadi alat untuk mengambil air dari sumur, yang selanjutnya airnya diangkat ke WC umum yang tidak jauh dari sumur tersebut. Ternyata sudah ada beberapa yang mengantri mandi. Wah, berani sekali mereka. Di pagi hari yang diselimuti kabut seperti ini jangan harap aku mau menyiramkan air dingin itu di tubuhku.

            Karena kelas kami punya jadwal memasak pagi ini jadi itu menjadi alasan ku untuk belum mandi, mubazir nanti, masih akan terkena asap. Hehe. Matahari semakin meninggi, memasak pun selesai. Sesuai janjiku pada diri sendiri aku akan mandi setelah memasak. Wah, pilihan yang sukar. Tapi harus ku lakukan. Wah, ternyata meningginya matahari tidak berbanding lurus dengan suhu air di sana. Airnya masih sangat dingin. Tapi kesegaran tidak tertandingi ku dapatkan, wesshhh. Segarnya gak main-main, walaupun dingin tapi segar sekali rasanya. Namun itu tidak lantas membuat ku akan berlama-lama dalam kamar mandi yang diiringi oleh suara babi di kandang sebelah. 
WC umum tempat mandi

Sumur tempat timba air


            Persiapan sebelum meninggalkan area SD dilakukan. Makan siang dan packing tas selesai. Menunggu mobil angkot jemputan, kami manfaatkan dengan berjemur di depan ruang kelas. Angka di jam semakin bertambah namun suhu di tempat ini tidak jua ingin bertambah. Berjemur sambil bermain games yang di pimpin oleh kak Sonya kami lakukan. Yah, inilah games permainan otak yang membuat kami (utamanya yang belum tahu gamesnya) jadi terlihat bodoh. But, it was so fun!  
Pose sebelum berpisah

            Kendaraan sudah datang dan kami harus bersiap untuk melanjutkan kegiatan travelling. Mempertahankan posisi dan personil awal ketika berangkat dengan iming-iming mike portable yang bikin suasana suram jadi ceria. Berkat our one and only kak Daniel, pramugara plus singer andalan dari awal berangkat. Perpisahan yang menyedihkan sebenarnya bersama adik-adik ini. Pulang dari Sekolah Minggu mereka langsung ke halaman sekolah untuk melambaikan tangan bersama kami. Tidak lupa ada beberapa yang membawakan hasil kebun mereka berupa daun bawang, yang dengan wajah malu-malu mereka bawa untuk kami. Ekspresi mereka begitu priceless. Mobil berangkat dan mereka  masih semangat mengejar kami sambil melambaikan tangan. “Daaaggg Kak Lydia,” teriak mereka. 

Tampilan belakang Garuuda Indonesia kami untuk travelling


            Travelling bersama volunteer dan team dimulai. Diawali dengan mengunjungi Hutan Bonsai yang berada dalam Cagar Alam Mutis, terus balik ke Hutan Pinus, belok ke Gunung Bukit Marmer Nausus. Seharian itu kami disuguhkan dengan pemandangan alam Timor Tengah Selatan yang eksotis sekali dengan hamparan padang rumput deretan pohon pinus di sepanjang jalan berdebu yang saat itu masih sementara di perbaiki. Sampai di puncak, suguhan keindahan pegunungan terlihat dari jauh. Intinya tempat ini eksotis lah.
Hutan Bonsai, Cagar Alam Mutis

Latar hutan pinus dan hamparan rumput

View dari Bukit Marmer Nausus

            Travelling berakhir dan rombongan kembali ke Soe untuk selanjutnya ke Kupang. What a great day. 2 hari bersamam mereka yang notabene masih asing namun berakhir dengan berbagai kisah yang kesannya seperti kami sudah kenal lama. Di akhir perjalanan kami ini menjadi awal berbagai kisah dan pertemuan kami di berbagai kegiatan lainnya. Akhir perjalanan di TTS ini menjadi awal berbagai kegilaan yang kami lakukan bersama tanpa memandang siapa kamu, agama mu apa, asal daerah mu di mana. Dan di akhir perjalanan ini menunjukkan bahwa inilah Indonesia dengan berbagai keberagamannya. Bhinneka Tunggal Ika.

            Terima kasih 1000 Guru Kupang untuk pertemuan yang mengesankan ini. Karena peduli butuh aksi. Semua orang bisa jadi Guru.
Bae sonde bae, Flobamora lebe bae

Kalabahi, 11 September 2018


NB:
Video kegiatan kami bisa di lihat di sini
Beberapa pertemuan kami di kupang sebelum akhirnya berpisah ke tempat masing-masing :
Antar Adel ke Bandara

Salome ria berujung pengusuran saking rusuhnya :D

Cafe Tebing tempat ngobrol jaim

First Time ketemu kak Alif




Senin, 10 September 2018

_homesick_


Merantau menjadi hal yang sudah kutekuni sejak 3 tahun lalu. Menjalani kehidupan di Pulau Kalimantan yang kemudian berpindah ke Pulau Alor di Selatan Indonesia membuatku harus terbiasa tinggal jauh dari orang tua. Tidak sedikit yang berkomentar bahwa aku keren, seorang perempuan yang berani melanglang buana ke berbagai pulau di Indonesia, katanya jarang yang mau seperti itu. Ditempatkan di daerah terpencil lagi. Mereka kadang berkomentar, enak yah bisa ke mana-mana, pasti seru sekali hidupnya.

Okelah, tidak dapat ku pungkiri bahwa kehidupan seperti ini lumayan ku nikmati. Hati ku yang selalu berpikir untuk jalan-jalan di dukung oleh pekerjaan dan penempatan ku. Bertemu orang baru sekaan menjadi suntikan semangat bagiku. Entah itu untuk bertukar pengalaman, bertukar pendapat, maupun berbagi ide. Pengalaman baru bagiku seperti mendapatkan sekoper berisi emas batangan. Bahkan lebih dari itu. Pengalaman bagiku adalah suatu hal yang tidak dapat dinilai dengan angka, bahkan kemungkinan tidak dapat di beli dengan uang. Apalagi aku terbiasa di larang-larang dari kecil, jadi berada jauh dari orang tua menjadi kesempatan bagiku untuk memperpanjang langkah kakiku tanpa larangan berarti. Menyenangkan bukan?

Tapi sebenarnya jika kau merasakannya, tidak semenyenangkan yang kau lihat. Seorang perempuan yang tinggal jauh dari orang tua bukanlah pilihan yang baik, bagiku pribadi. Aneh yah? Suka jalan, tapi gak suka pisah sama orang tua. Siapa sih yang suka pisah jauh dari orang tua. Dari kecil sudah terbiasa mendapatkan perhatian dari orang tua yang bahkan bagiku kesannya sangat berlebihan. Perhatian dalam bentuk gak boleh makan ini, gak boleh ke sana, gak boleh bikin itu, dkk. Semakin bertambahnya usia, semakin ku sadari bahwa hal itu dilakukan kedua orang tua ku bukan karena mereka tidak mau anaknya berkembang. Ku pikir, mereka hanya khawatir dengan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga kami. Dari kecil aku dimarahi jika terluka, itulah aku tidak terbiasa terluka. Setelah dewasa ku pikir, ketika aku terluka, pasti mereka yang lebih merasa terluka. Intinya setelah dewasa, semua larangan-larangan mereka terhadapku tidak lebih karena mereka ingin menjaga anak perempuannya ini. Yahh, walaupun memang kadang aku berpikir hal tersebut terlalu berlebihan, apalagi beberapa hal berlanjut sampai sekarang ketika aku sudah tinggal jauh (sekali) dari mereka.

Kebiasaan ditelpon 3 kali sehari sejak kuliah  yang mulai berkurang jadi 1 kali sehari sejak kerja. Stabil setiap hari. Rasanya? Kadang sangat membosankan dan kadang ku pikir terlalu mengganggu, tapi mungkin karena kebiasaan di telpon, ketika sehari tidak di telpon koq rasanya kosong yah? Addicted. Aku hanya mencoba menjelaskan kepada mereka bahwa tidak usah terlalu khawatir dengan cara menelpon terus, kadang mengganggu pekerjaan juga. Dosa ga sih? Yah, tapi memang begitu kenyataannya. Kadang memang kita harus menerima kenyataan kan? Kadang jika di pikir bukan hal penting yang di bahas ketika mereka menelpon, hanya menanyakan sudah makan atau belum, atau lagi di mana, atau sedang apa. Kadang durasi telponnya juga tidak lebih dari 3 menit, tapi jika sedang seru-serunya bisa sampai sejam bahkan lebih. Mereka masih tetap menjadi tempat curhatku, apalagi masalah pekerjaan.Metode yang diterapkan orang tua ku ini secara tidak langsung membentuk hubungan jarak jauh kami agar tetap terasa dekat. Mungkin tidak seperti keluarga lainnya, tapi bagiku aku nyaman dengan cara seperti ini.

Beberapa hari lalu, aku di telpon mamak dengan berita yang gak enak banget menurutku. Beliau cerita kalau sedang sakit, bahkan beberapa hari tidak bisa bangun. Kaget sekali rasanya. Mamak yang jarang sekali menelpon untuk cerita kalau beliau sakit, tapi sore itu datang dengan berita itu. Ku sarankan berobat namun beliau tidak mau dengan alasan malu, tapi berusaha ku bujuk hingga akhirnya beliau bersedia. Kejadian ini betul-betul menyita perhatianku. Sejak merantau, tidak pernah sebelumnya beliau mengaku sakit parah. Bagiku ini parah sekali. Memang ku tahu alasan mereka kadang tidak memberitahukan jika ada yang sakit adalah untuk menghindari jika aku khawatir dengan kondisi mereka, tapi jika sudah parah malahan akan lebih kepikiran lagi.

Terbukti. Aku begitu kepikiran dengan berita itu. Bahkan tidak niat untuk melakukan apapun. Rasa rindu itu tiba-tiba menyerbu. Rindu untuk berada di rumah dan dipeluk. Menjadi orang yang tidak terbiasa mengungkapkan beban kepada orang lain yang belum dikenal itu tidak mengenakkan sebenarnya. Berbagi beban dengan orang rumah bergitu berat untuk ku lakukan, alhasil aku hanya menelpon sahabat dan saudara ku untuk berbagi keluh. Dalam kondisi itu, aku hanya butuh pelukan untuk berbagi beban, namun rasanya begitu sulit kudapatkan. 

Segala cara kulakukan agar tidak terlalu khawatir namun semuanya seakan memiliki hubungan yang mengarah pada beban pikiranku saat ini. Ku isi waktuku dengan membersihkan dapur, tapi ketika mencuci [iring di belakang rumah, lewatlah seekor anjing dengan anaknya yang asik bermain. Baperlah lagi. Kusibukkan diri dengan membaca buku Bung Fiersa yang belum kuselesaikan itu (Judulnya  Arah Langkah) tapi ternyata aku sudah tiba pada bab ketika Ibu Bung mengirimkan SMS kepada Bung yang sedang berkelana di Manado, meminta agar Bung ber-lebaran di rumah orang tua dengan isi pesan “selagi orang tua, sempatkanlah untuk lebaran di rumah orang tua”. Huh! Namun akan kulakukan berbagai cara untuk membunuh rasa khawatir ini.

Beratnya menjadi perantau yah seperti ini. Hanya doa yang bisa menguatkan. Hanya doa yang menjadi jembatan penghubung antara aku dan orang tua.
Tidak semua yang kelihatan menyenangkan itu betul-betul menyenangkan. Ada perasaan yang harus di pendam. Ada rasa iri kepada mereka yang bisa bertemu dengan orang tua. Dan aku hanya bisa berkata bahwa, setiap pilihan memiliki resikonya masing-masing.


Padang Alang, 09 September 2018


Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts