Sabtu, 02 September 2017

Dongeng 'Butiran Debu' - Part 1

Di suatu Minggu siang, sepulang gereja, saya duduk di teras belakang rumah dan menghadapi laptop, bermaksud menyelesaikan tulisan di blog yang gak kelar-kelar, tiba-tiba HP bunyi menandakan ada pesan masuk via WA. Sebagai perempuan jomblo, saya tentu gak berharap ada pesan dari pacar dong yahh, pede amat bukk. Ogah-ogahan angkat HP yang menganggu ke-khusyuk-an mengumpulkan niat untuk nulis, tapi setelah melihat 1 nama di pesan masuk terbaru mata langsung melek otak langsung sigap. Yang awalnya otak nyaris nonaktif kek abis minum Antimo 15 butir, langsung aktif maksimal kek abis minum 15 gelas doble shot espresso, CLING! Pesan masuk dari Kak Jemi Ngadiono! Tahu kan? Itu loh, Foundernya 1000 Guru. Belum tahu? Follow aja IG-nya @1000_guru yah. Setelah beberapa kali balas chat dan voice call via WA, intinya Kak Jemi akan datang ke Toraja bersama Ibu Anita Tanjung, Founder CT ARSA Foundation, untuk mengunjungi sekolah yang layak bantu.

Kenapa bisa dapat contact Kak Jemi? Karena kami sempat ketemu di .tnt (Travelling & Teaching) #7 1000 Guru Kalsel pada Desember 2016 lalu, sempat sharing tentang komunitas yang akan dibentuk oleh saya dan beberapa teman-teman di Toraja, jadi tukeran contact-lah untuk keperluan sharing. Beberapa minggu sebelumnya juga saya pernah menghubungi Kak Jemi untuk konsultasi tentang Komunitas kami, Galampang Pustaka Toraja, dengan panjang lebar saking bingungnya saya saat itu dengan komunitas ini. Maklum, pertama kali membentuk komunitas. 
Pertama kali Ketemu Kak Jemi di .tnt Kalsel

Apa itu CT ARSA? Nah, pada saat itu saya sempat diperkenalkan sedikit oleh Kak Jemi mengenai CT ARSA yang merupakan sebuah Yayasan yang diketuai oleh Ibu Anita Tanjung yang berada di bawah naungan CT Corporate. Yayasan ini bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan, yaa kurang lebih untuk mewujudkan pemerataan pendidikan di pelosok negeri ini. Boleh cek IG-nya di @ctarsafoundation.

Nah, karena saat itu saya sedang berada di Toraja, jadi Kak Jemi menghubungi saya tentang rencana kegiatan CT ARSA tersebut. Wowwww! Sebagai 'butiran debu' saya tentunya excited dengan rencana tersebut. Salah satu orang penting Indonesia akan mengunjungi kampung halaman kami yang melalui 'kacamata' saya belum berkembang secara signifikan ini, utamanya dalam bidang pendidikan. Jiwa volunteer yang belakangan sedang minta diperhatikan akhirnya semangat kembali. Melalui pembicaraan singkat tersebut, Kak Jemi meminta untuk mengumpulkan 10 orang volunteer untuk kegiatan tersebut, mencari lokasi sekolah yang akan dikunjungi untuk diberikan bantuan yang jaraknya maksimal 1 jam dari hotel di Rantepao. Kegiatan akan dilaksanakan tanggal 29 Agustus 2017 yang artinya persiapan dalam 9 hari.

Sebenarnya permintaannya agak susah untuk direalisasikan utamanya pada bagian 'sekolah layak bantu yang jaraknya sejam dari Rantepao' karena di beberapa tempat terpencil di Toraja yang memang layak bantu versi Kak Jemi, jarak tempuhnya lebih dari waktu yang telah ditetapkan. Namun, masih ada usaha untuk mencari informasi kan? Siapa tahu memang masih ada sekolah yang belum diperhatikan di sekitaran kota. Nah, masalah kedua adalah, lokasi sekolah yang belum diketahui apakah di Kabupaten Tana Toraja ataukah di Kabupaten Toraja Utara. Behubung kedatangan Ibu Anita adalah undangan dari bupati, jadi tentunya kegiatannya harus dilaksanakan di kabupaten tersebut (kan udah pisah boo). Kalau lokasinya di Toraja Utara, yaaa bisalah yah dapat sekolah dengan jarak tempuh segitu, tapi kalau di Tana Toraja, waduh, mati awak. 

Sambil menunggu konfirmasi lokasi pelaksanaan kegiatan, saya sudah mulai mengumpulkan nama lokasi yang memungkinkan terdapat sekolah yang di maksud, tentunya dengan jarak 1 jam perjalanan dari Rantepao. Disamping itu juga, saya sambil mengumpulkan 10 orang volunteer yang diminta. Nah, mencari volunteer 10 orang ini susah-susah gampang. Setelah mengetahui bahwa kami membutuhkan 10 volunteer, saya langsung mengajak teman-teman tim Galampang Pustaka Toraja yang saat itu sedang berada di Toraja. Merekrut volunteer dalam keadaan seperti ini membutuhkan effort yang lebih karena dibutuhkan orang-orang yang memiliki visi yang sama. Nah, saya menghubungi langsung teman terdekat yang saya tahu memiliki kecintaan yang sama. Beberapa teman mengajak teman yang lain sehingga terkumpullah 10 orang tersebut. Mereka adalah Kak Novhi, Kak Wirda, Kak Desmi, Kak Citra, Kak Adri, Kak Nova, Kak Vera, Kak Ros, Kak Megi, dan saya sendiri. Meet up perdana sekaligus technical meeting dilaksanakan di rumah Kak Novhi. Lumayan sih drama pencarian volunteer ini. Sebenarnya banyak yang tertarik namun terkendala beberapa hal, ada yang berbenturan dengan jadwal kerja, ada yang lagi keluar kota, dan ada yang tidak saya hubungi karena saya emang gak tahu kalo ternyata lagi di Toraja, hehehe. Ya meneketehe, 9 hari itu mepet banget boo :D.

Nah drama pencarian tempat ini yang lumayan menguras tenaga, pikiran, dan dompet, hehehe. Dari beberapa teman yang sering ke pelosok, saya diinfokan bahwa mencari sekolah yang belum permanen di sekitaran kota itu susah. Sudah jarang sekolah yang belum permanen dengan jarak 1 jam dari Rantepao. Awalnya saya mempersiapkan tempat pelaksanaan di sebuah SD di Bangkelekila' di Toraja Utara, mengingat seorang teman yang adalah guru di sana mengatakan bahwa siswa di sana masih kurang termotivasi untuk sekolah. Jaraknya juga bisa ditempuh selama sejam dari Rantepao. Tapi ternyata tempat pelaksanaannya adalah di Wilayah Tana Toraja, maka tambah jauhlah lokasinya, mati awak. Harus memanfaatkan waktu yang singkat sekali untuk mencari sekolah sekaligus ceklok, apalagi waktu saya terpotong 3 hari karena upacara kematian nenek selama 3 hari yang tidak bisa ditinggalkan.

Berikut saya ceritakan hari-hari menuju hari H kegiatan yang penuh drama.

20 Agustus 2017 (H-9)
Di telpon Kak Jemi untuk mencari sekolah untuk kegiatan tanggal 29 Agustus 2017 (9 hari lagi) dengan jarak tempuh 1 jam dari Rantepao

21 - 23 Agustus 2017 (H-6)
Cari informasi tentang sekolah layak bantu di daerah Tana Toraja baik itu secara langsung ataupun telpon. Cari info via chating juga sebenarnya hati-hati banget. Saya mencari informasi dari teman-teman terpercaya, menghindari kegiatan seperti ini ditunggangi kepentingan lain. Ternyata sudah ada sekolah yang ditunjuk oleh Pemda yang dikunjungi oleh Ibu Anita, sebuah SD di Daerah Malimbong Balepe. Dari gambar sekolah yang dikirimkan oleh Kak Jemi, menurut saya sekolah tersebut masih memiliki bangunan yang layak. Well, sekolah inilah yang menjadi patokan saya untuk mencari informasi mengenai sekolah yang leboh layak untuk dibantu. Lokasi terdekat yang saya dapatkan berdasarkan rekomendasi beberapa orang yaitu di daerah Manggau, setengah jam dari kota Makale. Teman-teman tempat saya mencari informasi mengatakan bahwa sekolah layak bantu di daerah Tana Toraja dengan jarak 1 jam dari Rantepao itu sudah jarang, kalo di pelosok sih masih banyak, gitu kata mereka. Well, agak pesimis juga sih, tapi tetap usaha aja mencari. 

24 Agustus  2017 (H-5)
Saya, Citra, dan seorang teman, Rano, ceklok di daerah Manggau. Ternyata sekolah yang dimaksud sudah permanen, namun melihat kondisi siswanya yang masih menggunakan sendal jepit dan lapangan yang sangat becek, sepertinya sekolah ini agak terpinggirkan. Setelah menginformasikan kepada Kak Jemi bahwa sekolah layak bantu berjarak 1 jam dari Rantepao adalah sekolah tersebut, sekalian kirim gambarnya juga, ternyata tidak sesuai kriteria. 
Siswa SD di Daerah Manggau

Tampilan Sekolah di Daerah Manggau
Maka jadilah sekolah yang ditunjuk oleh Pemda yang akan dikunjungi, yaitu di daerah Malimbong Balepe'. Akhirnya kami memutuskan untuk ceklok saja ke sekolah yang dimaksud, untuk bertemu kepala sekolah dan melihat lokasi untuk menyusun kegiatan yang akan dilaksanakan. Menuju Malimbong, Rano gak ikut karena akan lanjut kerja, tapi di ganti sama Ryan. Jadilah kami bertiga menyusuri jalan menuju SD yang di maksud. Sempat kelewatan ke arah Malimbong Balepe'. Setelah mendapatkan sekolah yang di maksud, ternyata sekolahnya agak di luar ekspektasi. Sekolahnya masih layak digunakan dengan siswa yang menggunakan sepatu, tas, dan baju yang boleh dikatakan layak. Kami berhenti di tengah lapangan dan berembuk mengenai hal ini. Jujur, saat itu saya rasanya dilemparin tai kebo 15 gerobak melihat sekolah yang katanya akan di bantu itu padahal jelas-jelas ada yang lebih layak. Tidak beranjak dari tempat parkir di tengah lapangan, saya berembuk dengan Citra, dan sepakat untuk mencari sekolah lebih layak bantu lainnya, urusan bertemu kepala sekolah kami akan kembali keesokan harinya. Yasudah, saya mah ngikut orang bawa motor aja, aku mah apa atuh, hehe. Serasa gak terima dengan kenyataan tersebut, kami akhirnya di antar sama Ryan menuju arah Batusura' untuk mencari sekolah yang lebih layak di bantu. Setiap terdapat papan informasi adanya sekolah, kami singgah dan mengecek keadaan sekolah tersebut. Ternyata masih belum sesuai kriteria. Lanjut lagi, dan menemukan sebuah sekolah yang jaraknya sekitar 800 meter dari jalan poros di Lembang Limbong. Well, ini lumayan sih, soalnya sekolahnya terbagi 2 gedung. Gedung pertama sudah permanen karena gedung baru, tapi sekitar 100 meter dari gedung baru terdapat gedung lama yang masih digunakan namun dengan kondisi yang masih semi permanen. Setelah mengecek keadaan kami kembali ke Makale.
Ruang Kelas SD di Daerah Lembang Limbong

Pembatas antar kelas yang sudah tidak ada

Jujur agak tidak terima dengan keputusan mendatangi sekolah yang di pilih Pemda karena sebenarnya masih layak. Masih ada sekolah yang lebih layak di bantu, buktinya 15 menit dari sekolah tersebut kami menemukan sebuah sekolah dengan bagunan semi permanen. Setelah laporan ke Kak Jemi tentang kondisi sekolah yang telah ditentukan Pemda (yang gak bisa di ganggu gugat lagi karena udah sounding dari yang di atas, hikss gak asik), akhirnya diputuskan untuk tetap cari sekolah 'jelek' walaupun jaraknya jauh berjam-jam, sekolahnya akan tetap dikunjungi walaupun tanpa kegiatan, uyeaahhhhh, harapan. Tanya sana sini lagi siss.

25 Agustus 2017 (H-5)
Hari ini adalah hari dimana kami (saya & Citra) di tetapkan (atau merasa?) sebagai 'butiran debu', atau sisa rengginang di pinggiran toples, yaa semacam itulah. Kami berencana untuk ceklok ke sekolah tujuan kegiatan untuk bertemu kepala sekolah dan melihat lokasi untuk menyusun kegiatan yang akan dilaksanakan pada hari H. Tiba di lokasi, kami langsung menuju ruang guru, yaa gak lupa rapi-rapikan pakean dan wajah dong yah soalnya abis tertiup angin manja selama perjalanan naik motor. Emang butiran debu banget yah. Di ruang guru terdapat beberapa guru, setelah bersalaman kami di suruh duduk, ternyata ibu kepala sekolahnya lagi sibuk pasang gorden di salah satu dinding ruang guru. Sibuk banget sih kelihatannya, soalnya ibunya manjat-manjat meja, pasang foto bupati, dll. Sementara itu kami menunggu kesibukan ibu kepala sekolah sambil duduk di sofa ruang guru. Agak 'krik-krik' juga sih, soalnya guru-guru lain sibuk bercerita dengan sesama guru, ibu kepala sekolah sibuk manjat-manjat, dan kami berdua sibuk memperhatikan kesibukan tersebut dalam diam (untung gak sambil nganga, hehe). 15 menit berlalu yang kami isi dengan bisik-bisik tetangga plus memperhatikan anak sekolah sedang melakukan kegiatan masing-masing di lapangan sekolah yang kelihatan dari ruang guru. Akhirnya ibu kepala sekolah menyelesaikan kegiatannya. Saya sudah siap mengutarakan tujuan kami jika di tanya, 50% siap. Ibu kepala sekolah menepuk-nepuk tangan untuk membersihkan debu di tangannya, saya sudah siap 60%. Ibu kepala sekolah berjalan keluar dari tempatnya tadi memasang gorden, saya sudah siap 70%. Ibu kepala sekolah duduk di sebuah meja yang penuh tumpukan buku, saya sudah siap 80%, pantat udah siap terangkat dari sofa sekiranya akan ditanya tujuan kedatangan. Ibu kepala sekolah memasang kacamata, saya sudah siap 90%. Ibu kepala membuka buku dan langsung menuliskan sesuatu sambil berguman, "banyak sekali kerjaan ini." SAYA NGANGA! Niat yang sudah sampai 90% akhirnya turun drastis menjadi -90%. Tarik Napas, hembuskan, sabaaarrrr. Sambil menulis, ibu kepala sekolah memalingkan wajahnya sedikit kepada kami dan memandang dari ujung kacamatanya sambil berkata dengan suara dipasang berwibawa, "ada apa yah?" Kami berdua angkat pantat dari sofa, berjalan menuju ibu kepala sekolah, dan melempar bom molotov *ehhhh engga ding, emang kita sefrontal itu, haha. Kami berjalan menuju ibu kepala sekolah, memperkenalkan diri sembari bersalaman. Sambil berdiri kami menyampaikan tujuan kami. Setelah mengetahui tujuan kami untuk mengisi kegiatan dalam kunjungan Ibu Anita nanti, ibu kepala yang ekspresinya seperti abis cium bau sampah busuk yang sudah menumpuk lama di tempat sampah berubah drastis jadi seperti abis menemukan segudang harta karung. CLING! Sulapnya memang luar biasa. "Aduhh, maaf tangan saya kotor, habis bersih-bersih" NGEE?? Maksud EL? Ilfeel deh, tambah drop niat gue. -_-
Butiran Debu 1

Butiran Debu 2

Jadilah 'butiran debu' ini di persilahkan untuk duduk dan ngobrol bersama ibu kepala sekolah. Senyuman ibu ini benar-benar, yaaa gimanaa gitu. Saya langsung menanyakan beberapa pertanyaan yang perlu di tanyakan sehubungan dengan kegiatan. Setelah itu berkeliling sekolah untuk melihat kondisi ruangan yang akan digunakan. Sambil berkeliling, bapak guru yang mengantarkan kami sempat mengatakan beberapa kalimat 'sekolah ini baru bangunan pertama' (tapi kan sudah permanen pakk), 'terpencil sekali kasihan ini tempat' (masih ada yang lebih terpencil kelessss), 'sudah rusah-rusak ini kursinya' (buooodoo amatt!). Sekali hilang feeling sih selesai, terserah deh mau ngomong apa. Setelah selesai dengan urusan dengan sekolah tersebut, cepat-cepat pengen meninggalkan tempat itu dan dalam perjlanan menuju ke parkiran keluarlah kata-kata yang tertahan dari tadi di mulut, 'KAMPRET'. Sekali lagi, ilfeel maksimal bo'. Gini yah rasanya dianggap butiran debu, hehehe. 


Dari sekolah kami langsung menuju kedai kopi untuk menyusun kegiatan yang akan dilakukan di sekolah. Pilihan jatuh kepada sebuah Kafe di daerah Tandung Makale, soalnya kalo saya dirumah, kerja sendiri pasti gak selesai, terlalu banyak godaan. Butuh teman ngobrol dan suasana baru aja sih. Garis besar kegiatan selesai sambil diselingi dengan komentarin tema kafe tersebut yang menurut saya abstrak, dengerin penjelasan baristanya tentang kopi Jantan yang entahlah, rasanya seperti kopi yang di roast kegosongan, pengunjung (Ryan) yang buat kopi sendiri gegara baristanya lagi keluar, dengerin bapak-bapak yang ngomongin politik sambil tebak-tebak kami ini datang penelitian tentang kopi atau abis dari jalan-jalan plus nanyain tempat print A1, well, abstrak. 
Pembahasan abstrak, bersama orang abstrak, ditempat abstrak

26 Agustus 2017 (H-2)
Free. Di rumah seharian, mengistirahatkan badan setelah beberapa hari keluar rumah, tapi otak gak istirahat untuk mencari sekolah 'jelek' yang diminta Kak Jemi. Sampai sore hari kami berusaha mencari sekolah yang dimaksud namun belum ada kejelasan, sampai akhirnya saya menyampaikan ke Kak Jemi bahwa belum ada sekolah, dan kemungkinan besar tidak akan ada sekolah 'layak bantu' yang akan dikunjungi. 
Malam harinya, Citra menemukan kejelasan sebuah sekolah yang layak untuk dibantu. Sebenarnya saya sudah tidak terlalu berharap, karena belum melihat langsung sekolahnya, sementara kegiatannya sudah hari Senin (H-2), karena gak mungkin memberikan rekomendasi sekolah yang tidak saya lihat secara langsung. Tapi Citra tetap semangat untuk ceklok dengan situasi belum mengetahui lokasi dari sekolah tersebut. Jadilah kami sepakat untuk ceklok keesokan harinya ke sekolah yang di maksud dengan catatan, "Kalo sudah tiba di sekolah yang di maksud, trus layak bantu, tapi tidak sempat dikunjungi oleh Tim ARSA gak boleh kecewa, karena saya sudah menyampaikan sebelumnya bahwa belum ada sekolah." Gambling sih sebenarnya, tapi saya juga kembali mendapatkan harapan. Makasih Citra :D. Setelah sepakat dan siap menerima setiap konsekuensi yang terjadi, fix maksimal besoknya gereja pagi biar bisa berangkat siang trus lanjut technical meeting bersama volunteer pada sore harinya. Yuhuuuuuu. Pengganguran sibuk yah.


27 Agustus 2017 (H-1)Bersama Citra, perempuan strong ini, berangkat ke Palesan untuk mencari sekolah yang dimaksud. Sebenarnya cari 1 teman cowok untuk menemani ke sana tapi ternyata semuanya pada sibuk. Jadilah kami berangkat bermodalkan tanya sana sini, melewati jalan sempit berliku-liku naik turun yang pada bagian tertentu ada yang robek-robek. Tapi pemandangan di sebelah kiri setelah memasuki Wilayah Lembang To'Pao itu kece banget!!!
Jalanan belok-belok menanjak menuju lokasi
Toraja menyimpan begitu banyak keindahan, pikirku saat itu. Suguhan gunung dan lembah dari kejauhan membuat perjalanan tidak terasa jauh (entahlah dengan Citra yang nge-drive pada saat itu, hehehe). Kece dah pokoknya. Sepanjang perjalanan mata awas mencari informasi nama kampung tempat sekolah. Beberapa kali kami singgah menanyakan warga setempat. "Ooo, kambela pa, da'dua pa tete mi olai" informasi dari orang pertama. Jauh versi kampung dan versi kota itu berbeda loh, begitu pengalaman kami. 2 km versi kampung bisa jadi 4 kilo versi kota, hehehe.
Pemandangan gunung di perjalanan
Setelah 2 jam perjalanan, akhirnya dapat sekolahnya. Kami menemukan sebuah papan informasi Sekolah jauh, namun yang menjadi patokan kami dari informan adalah sebuah gereja. Setelah bertanya pada warga setempat, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Ternyata gereja yang dimaksud tidak berada di pinggir jalan, melainkan berada agak di bawah sehingga tidak terlihat dari jalan, papan informasinya pun sudah rusak dan terbalik. Untung kami singgah bertanya lagi, kalo tidak singgah mungkin kami sudah terus ke daerah Buakayu. Ternyata sekolah yang dimaksud adalah yang kami baca papan informasinya, hanya menurut warga lebih dekat jika berjalan kaki melalui gereja.
Papan Informasi Lokasi
Diantar oleh beberapa anak-anak daerah tersebut menuju sekolah, kami memarkir motor di depan rumah warga, dan berjalan bersama adik-adik melewati beberapa rumah warga dengan jalanan turunan curam (plus di setiap rumah ada anjing minimal 3 ekor, wowwwww!). Akhirnya kami tiba di sekolah yang dimaksud, dan tadaaaaa, memang benar satu dari tiga bangunan masih berupa kayu dengan alas tanah. Yeayyy, we find it! FYI, karena lokasi sekolah ini berada di lereng bukit, jadi angin sangat terasa jika berada di tempat ini. Rasanya kami di kelilingi oleh angin, brrrrr, untung perlengkapan lengkap.
View dari Sekolah
Butiran Debu 1 lagi survey

Butiran Debu 2 juga survey


Puas mengambil gambar dan mewawanncarai adik-adik yang mengantar, kami berencana kembali ke Makale, tapi sebelumnya singgah dulu ke rumah Kepala Lembang setempat untuk mencari informasi tentang sekolah tersebut. Ternyata, rumah Pak Lembang berjarak 20 menit naik motor, mungkin sekitar 4 km dari kelas jauh tersebut. Di dekat rumah juga terdapat sekolah induk tempat kelas 4-6 di daerah sekolah jauh bersekolah. Buset, kalo jalan kaki pulang-pergi ada berapa kilo yah? 8 kilo ada kali yah. Setelah ngobrol sebentar dan dijamu makan siang oleh Ibu Lembang, kami pamit dan kembali ke Makale untuk technical meeting. Actually, sedikit banyak saya pribadi merasa puas dengan adanya sekolah ini karena setidaknya ada yang lebih layak dibantu dan dilihat langsung medannya untuk melakukan kegiatan di tempat ini. Sepanjang perjalanan pulang kembali disuguhi oleh pemandangan luar biasa yang bikin mata gak berkedip dan mulut terus-menerus mengucapkan kata, "wowwww". Gak afdol rasanya kalau tidak berfoto berlatar pemandangan indah tersebut, jadilah cewek narsis ini tinggal berfoto-foto sebentar.


No special day without eksis-eksis
Butiran debu 2 berlatar belakang gunung

Dari Palesan kami langsung menuju Makale untuk melakukan technical meeting. Tim Volunteer ARSA technical meeting di rumah Novhi yang dihadiri oleh 9 orang, pertemuan nyaris lengkap pertama kali dan kita sudah berasa klop, hehehe, gila ngaseng. Membahas rundown kegiatan, pembagian kelompok, materi di kelas, dan berbagai hal teknis lainnya. Woww, padat sekali kegiatan yahh. 
Technical Meeting Tim Volunteer ARSA


28 Agustus 2017
Seharian tepar di rumah karena kelelahan abis dari tondok yang banyak anginnya, hehehe, rasanya di tampar angin dari segala arah jadi masuk anginnya 4 kali lipat. Teman-teman di Rantelemo yang deketan rumah ngumpul di rumah Wie untuk membuat nametag untuk keperluan kegiatan tanggal 30. Ternyata buat nametag yang di pasang di kepala itu lumayan menguras tenaga juga yah? Mulai dari gambar polanya, potong pola, lalu disatukan, luarrrr biasa. Dibawa lapar bo', yaheyalaahhhh kita mulainya juga jam berapa sis :D. Makasih Wie sudah menyediakan makan siang untuk kami, hahaha.
Buat nametag - kapal pecah
Hari ini juga Kak Jemi sudah perjalanan dari Makassar menuju tanya teToraja, sebenarnya rencana pengen meet up tapi karena Kak Jemi tiba malam di Toraja, which is di Toraja saja jam 7 sudah gelap banget, jadi pertemuan ditunda besok sekalian cek lokasi sekolah yang akan di bantu pembangunannya. Jadi fiksnya, kunjungan ke sekolah 'jelek' akan dilaksanakan tanggal 29 yang akan dikunjungi langsung oleh kak Jemi. Sebelumnya juga aku sempat ditanya soal lokasi sekolah yang akan di tuju, mulai dari kondisi bangunannya, keadaan rumah di sekitarnya, jarak dengan sekolah induk, bahkan minta foto jalanannya padahal aku gak ada foto sama sekali, hehe. Dan Kak Jemi ngasih tahu bahwa hal-hal seperti itu yang perlu diperhatikan saat survey, jangan sampai kegiatan kita ditipu-tipu sama orang yang tidak bertanggung jawab. 
"Nah, itu yang harus kamu tahu kalo pengen bangun komunitas," katanya.

Oyah, saya sempat di suruh untuk menghubungi pihak Frisian Flag untuk konfirmasi donasi susu, daann gak tau mau ngomong apa. Cuma di kasih nomernya trus di suruh telpon, sekalinya di telpon aku di suruh kasitau yang ngasih nomer telpon bapak untuk nelpon langsung, lah, iki piye toh. Bingung? Sama. Tapi di sinilah awal saya belajar untuk mengurus hal-hal seperti ini sekiranya kedepan bisa berkesempatan mengurus seperti ini lagi kan?

29 Agustus 2017
Palesan,,, here we go!!


(bersambung......................)

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts