Rabu, 03 Oktober 2018

Pantai Pasir Putih di Alor Barat Daya


“Sempatkanlah setidaknya sekali seumur hidupmu untuk berkunjung ke salah satu pantai pasir putih di Indonesia.”

          Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Indonesia kan negara kepulauan, ada sekitar 13ribu pulau, gimana gak mungkin punya garis pantai terpanjang. Wagelaseh! Tapi sepanjang-panjangnya garis pantai di Indonesia, saya adalah salah satu dari sekian banyak warga Indonesia yang jarang sekali berkunjung ke pantai, soalnya saya adalah anak gunung. Dari kecil hidup di dataran tinggi (tanpa pantai) membuat ku terlalu excited jika bertemu dengan pantai. Pantai tanpa pasir pun membuatku mencoba menikmatinya. Untungnya ibukota provinsi memberikan kesempatan untuk menikmati pantai. 4 tahun menghabiskan waktu di ibukota provinsi, aku bisa refreshing sejenak ke beberapa pantai, dari pantai berpasir, berbatu, bahkan berbeton pun ada. Mulai dari pantai pasir halus maupun pantai batu, ataupun dari pantai pasir putih sampai pasir hitam di suguhkan di Sulawesi Selatan.

          Penempatan tugas di salah satu pulau di wilayah kepulauan NTT menambah lokasi pantai yang dapat di kunjungi oleh perempuan gunung ini. Berbicara tentang Nusa Tenggara Timur, sudah bukan rahasia lagi kalau tempat ini adalah surganya pantai dan wisata bawah laut, salah satunya Pulau Alor. Pulau ini sukses meningkatkan standar pantai keren di dalam otakku. Pantai bersih, belum terjamah public, dan menjadi tempat warga asli untuk beraktivitas. Perjalanan menuju lokasi kerja juga melewati beberapa pantai yang bagi orang di sana biasa banget tapi bagi pendatang seperti saya dan beberapa orang kota lainnya akan menganggapnya sebagai pantai yang ‘super-duper-keren-yang-tak-tertandingi’.

          Beberapa minggu lalu, kebetulan kami sedang ada di Kota Kalabahi, ibukota kabupaten Alor. Mumpung libur jadi turun gunung dulu, sekalian refreshing (lebih tepatnya sebelum di tahan di Kalabahi untuk mengerjakan berkas akreditasi yang sukses bikin otak mumet). Di hari libur itu kami di ajak untuk piknik ke salah satu pantai yang lokasinya berada di kampung halaman dokter, teman 1 instansi  kami. Ajakan jalan-jalan gak mungkin ku tolak kan? Itu kan tujuan ku ke Kalabahi, walaupun jalan-jalan ini tidak direncakanan jadi agak kurang prepare.  So, here we go.
         
Kami berangkat dari kontrakan di daerah Kadelang sekitar pukul 2 siang ketika matahari lagi terik teriknya dan perut sedang lapar laparnya. Perjalanan selama kurang lebih 30 menit ke rumah dokter di Moru untuk ganti kendaraan plus numpang isi perut. Maklum yah, anak kontrakan jadi jarang masak dan gak kepikiran untuk makan setelah dapat ajakan jalan-jalan kek gini, hehe. Dari Moru kami menuju Pantai Langleki yang bertempat di Kecamatan Alor Barat Daya atau kadang disingkat Abad.
Mogok di tengah jalan

Perjalanan menuju pantai melalui jalan aspal harus terhambat sedikit karena masalah motor. Motor yang dikendarai oleh saya dan Seno tiba-tiba gak bisa jalan dan mesinnya mati tepat sebelum masuk di Desa Wolwal Tengah, Tamalpei. Awalnya kami pikir motornya ‘ngambek ‘ lagi karena motor pinjaman yang kami gunakan dari Padang Alang ini sempat mogok di tengah jalan. Segala macam kemungkinan diluncurkan sampai kami harus menunggu motor pengganti datang (pinjam motor dokter). Dari segala spekulasi yang ada, AKI soak lah, ini lah, itulah, ternyata motor kami gak bisa jalan karenaaaaaa BENSIN HABIS! Gubrak!!! Ini mah suuzon parah namanya, hehe.. … Fuel meter motornya juga udah gak fungsi sih jadi gak ketahuan dari awal, hehehe.
Mogok boleh, dokumentasi wajib :)

Permasalahan motor sudah selesai dengan mengganti motor lalu kami melanjutkan perjalanan. Kembali melewati jalanan aspal yang tidak lama berganti menjadi aspal ‘robek’ lalu akhirnya berganti jalanan berbatu dengan sumbangan debu di sepanjang perjalanan, sepertinya masih jalan perintis sih. Ternyata jalanan ke pantai tidak semulus yang ku pikir. Pemandangan sepanjang perjalanan cukup menarik karena kami berjalan di sepanjang tepi Teluk Mutiara dengan suguhan perahu motor, tambak ikan, nelayan yang sedang mencari ikan. Satu hal yang menarik adalah kami melewati sebuah tambak mutiara, tapi sayang kami tidak singgah karena katanya tambak tersebut tidak dibuka untuk umum.

Sekitar pukul 4 kami memasuki sebuah desa, yang belakangan saya tahu bernama Desa Probur, Kec. Alor Barat Daya, yang ternyata adalah lokasi pantai tujuan kami. Sebelum memasuki desa kami melewati pantai-pantai yang menurutku keren sekali untuk dijadikan spot hunting foto. Pantai pasir putih dengan batu berlumut di ujung pantainya. Gradasi warna dari biru laut menjadi hijau terang begitu jelas terlihat, bahkan airnya begitu jernih. Back to our destination. Tiba di desa, parkir motor, and then ku berlari kepantai, ku bertemu air laut.. yaheyalahhh…
Landscape Pantai Langleki

Pantai pasir putih dengan suguhan Pulau Pura dan beberapa pulau lain di depannya. What an amazing place. Gradasi warnanya air lautnya keren banget apalagi saat kami tiba, matahari masih lumayan terik. Sendal udah lepas dan mari kita berlari-lari. Gak mandi laut? Wah, gak tuh, gak bisa berenang soalnya. Jiaahhhh, hahaha. Ya ini kekurangannya, aku gak bisa berenang, dan masih belum berani untuk berenang. Bisa sih berenang, apke gaya dada..dadaaaahhhhh (sambil melambaikan tangan). Jadi deh kalau ke pantai bisanya cuma main air doang, injak-injak pasir, main-main ombak dan foto-foto. Yasudahlah, mau gimana lagi, dinikmati saja kan yah? Aku dan Butet menghabiskan waktu main-main sambil saling foto aja. Sementara itu Ical dan Dokter pergi mencari kelapa muda untuk melengkapi main-main di pantai sore itu. Wessss, pantai dan kelapa muda katanya perpaduan yang sempurna.

Pantai ini tergolong sepi karena ketika kami datang, tidak ada satupun pengunjung lain berlalu lalang di pantai ini, padahal hari libur loh. Mungkin pantainya belum dikenal sampai seantero negri jadi belum dikunjungi kali yah. Anak-anak desa juga tidak ada yang bermain di tempat ini, apa mereka udah bosan kali yah main di pantai sekeren ini, tiap hari di lihatin soalnya. Jadinya malah enak liburan di sini, karena esensi pikniknya benar-benar terasa. Sepi tanpa gangguan orang lain, entah itu terganggu oleh orang selfi (Cuma kami yang selfie di sana), oleh anak-anak yang teriak-teriak, ataupun bule berjemur di sana-sini, hehe. Taulah yah, bule sukanya berjemur di pantai, ada pantai keren dikittt aja, langusng rebahan di sono. Jadi ingat ada sebuah pantai di Bali, lumayan tersembuyi dan sempit, tapi sekalinya turun ke pantainya, wadawwww, malah banyakan bulenya daripada pasir pantainya. Jadi bagi yang ingin menikmati pantai dengan suasana tenang tanpa banyak gangguan, untuk saat ini pantai Langleki lebih rekomendasi, tapi lain hal kalo udah terkenal kemana-mana. Selama kami main di Pantai Langleki, hanya ada satu orang bapak yang menyelam dan kembali dengan membawa tangkapan beberapa ikan. Menyelamnya gak pake alat bantu macam-macam loh, hanya mengandalkan goggle aja. Gilakkk, keren. Oyah, kebersihan pantai ini juga masih terjaga, tidak ada sampah yang berarti, yah walaupun ada satu dua sih bertebaran manjah di ujung pantai, tapi overall masih bersih. Semoga kebersihan pantai ini tidak ternodai yah. Sayang aja kan pantai kece seperti ini harus jadi jelek karena orang kamseupay yang gak bisa membedakan mana pantai dan mana tempat sampah.
Pantai Langleki dengan Latar belakang Pulau Pura

Bermain ombak sambil lari-lari. Lelah. Duduk di balik perahu yang lagi parkir di pantai. Ngobrol, bercandaan. Udah gak capek. Balik lagi ke pantai. Main lagi ke pantai sebelahnya. Gitu aja terus sirkulasi permainan kami saat itu, sampai kelapa yang dinantikan akhirnya datang juga. Yeayyy! Katanya minum air kelapa di pantai itu rasanya beda dengan minum air kelapa selain di pantai. Kalau dipikir-pikir benar juga sih. Soalnya kan kalo di pantai, kelapanya fresh from the oven, baru di petik dari pohon langsung minum jadi lebih segar, lah kalo yang udah di gerobak kan fresh from gerobak, hehe (garing yah? Gak bermaksud melucu sih). Selain itu suasananya juga mendukung karena di pantai tujuannya piknik sedangkan kalo di gerobak tujuannya minum karena haus aja. Itulah sedikit analisis singkat super gak penting dari saya yang pada akhirnya harus kamu baca J
Pantai X Kelapa Muda
Pantai X Kelapa Muda X Teman

          Sebenarnya salah satu tujuan kami berangkat siang adalah untuk menikmati sunset di Pantai Langleki ini. Menurut si dokter, di pantai ini kita bisa menikmati sunset. Salah satu hal yang membuatku lebih excited lagi. Soalnya tidak semua pantai di Pulau Alor bisa dijadikan lokasi untuk menikmati sunset. Pantainya menghadap barat sih, tapi masih di tutupi pulau lain. Pulau-pulau di sini jaraknya dekat-dekat, seperti anak MABA (mahasiswa baru) yang kemana-mana harus jalan rombongan, hehe. Menghabiskan waktu lagi sambil bermain air (sementara Ical dan Bu Andi sudah berenang) sambil menunggu matahari turun.
Berenang X Main Air

          Sekitar pukul 5.11 matahari sudah mulai menguning. It’s time to enjoy the sunset!! How to? Sebagai orang Indonesia, hal yang kami lakukan adalah, poseeeeee. Sepertinya segala sesuatu harus di rekam di lensa kamera yah. Setelah puas foto dan bikin video, kami duduk sebentar untuk menikmati sunset yang sesungguhnya. Melihat semburat jingganya, menikmati sang surya tenggelam di balik Pulau Pantar. Lah, koq pulau? Iyup, di hadapan pantai ini juga ada 2 pulau, yaitu Pulau Pura dan di baliknya lagi ada Pulau Pantar, jadi mataharinya tenggelam di balik Pulau Pantar. Tapi lumayanlah, daripada tidak sama sekali. 
Sunset di Pantai Langleki

          Semakin lama matahari semakin tenggelam yang menandakan kami harus kembali, mengingat perjalanan kami ke Moru tidaklah singkat. Harus melewati 1 jam perjalanan melintasi sepanjang Teluk Mutiara. Kami meninggalkan pantai sambil menyapa warga sekitar yang sedang membersihkan diri di sumur, sekalian pamit dan berterima kasih telah sudi menerima kami masuk di wilayahnya. Akhir dari perjalanan kami, ternyata dokter membawa kami ke sebuah dataran tinggi dekat pantai untuk melihat landscape ‘Senja di Desa Probur’ dari  ketinggian, lengkap dengan siluet Pulau Pura dan Pulau Pantar, bahkan siluet Pulau Kepa (atau Pulau Buaya yah?) pun terlihat dari dataran ini. 
Landscape Desa Probur dengan Latar  Beberapa Pulau

          Hari semakin gelap, waktunya kami kembali. Kembali ke Kalabahi, kembali kepada kenyataan, hehe. Bukan hanya kenyataan bahwa kami harus kembali ke pedalaman dengan berbagai permasalahan yang tidak penting, namun sebenarnya kenyataan bahwa kami harus melanjutkan hari-hari di Kalabahi untuk tidur 4 jam setiap hari untuk mengerjakan berkas akreditasi dengan berbagai drama yang tidak penting namun juga merasakan kebersamaan dalam tekanan (jiaahhh).

          What a great short trip to Langleki Beach. Meninggalkan pantai ini dengan harapan, semoga nanti kembali lagi ke sini untuk hunting foto soalnya kali ini karena tanpa rencana jadi gak bawa Sonya dari Padang Alang. Pantai pasir putih dengan airnya yang jernih dan batu-batu karangnya yang bersandingan dengan pasir putih (minta banget untuk di foto sihhhhh). Dan spot-spot lainnya di sepanjang perjalanan di pinggir pantai. Arrgghhh, take me back there, to Langleki, a beautiful beach on Alor Barat Daya. Pokoknya keindahan pantainya sulit digambarkan lewat foto apalagi tulisan, harus dilihat langsung.

          Jadi, kapan kamu ke sini? Kamu! Iyah kamu! 
Travelmates

Travelmates - full team


Padang Alang, 25 September 2018

Nb.
Akhirnyaaaaa bisa selesaikan tulisan ini setelah 14 hari terbengkalai dan kepikiran terus diakibatkan harus mendahulukan akreditasi, padahal udah sempat curi-curi waktu nulis pagi-pagi sebelum yang lain bangun, bahkan kepikiran untuk nulis di Pantai Sebanjar tapi sayangnya gak jadi nginap, hehe. Soon yah nginapnya.


Oyah, video tentang pantai ini bisa kamu lihat di sini. Enjoy it.





Rabu, 12 September 2018

(Meng)Inspirasi dari dataran Timor

1000 Guru Kupang bersama Siswa SD GMIT Fatumnasi

Day 1
Jumat, 24 Agustus 2018.

Malam itu sedang hebohnya ASIAN Games. Cabang olahraga bulutangkis sedang bertanding, Indonesia melawan entah negara apa, aku lupa. Yang kuingat adalah janji pertemuan keberangkatan menuju lokasi TNT (Travelling ‘n Teaching) jadi ngaret karena aku yang setengah bengek nonton pertandingan malam itu. Bad impression sekali yah di pertemuan pertama. Ampuni aku tim, ini pengakuan dosa ku sebelum memulai sebagian kecil kisah dalam hidupku yang kelak dapat ku kenang sambal tersenyum (siap-siap sungkem minta maaf).

Dinginnya Kupang malam itu menemani kami di dalam bus yang membawa kami menuju Soe, Ibukota Kecamatan Timor Tengah Selatan. Perjalanan malam membuatku menghabiskan waktu untuk beristirahat sejenak setelah seharian menghabiskan waktu jadi anak mall Kupang. Sebelumnya aku sempat bercakap dengan salah satu volunteer asal Medan yang saat itu bertugas di Kota Kupang di sebuah NGO, Kak Tika (@rentikanaga). Percakapan awal berbagi pengalaman dari daerah asal sampai tiba di dataran Timor dan mengikuti TNT. Salah satu percakapan yang sangat menarik buat ku pribadi, karena percakapan semacam ini menjadi salah satu hal yang memotivasiku. Percakapan singkat harus berakhir seiring dengan topik pembahasan yang mulai berkurang dan mata yang mulai mengantuk.

2 jam perjalanan sukses membuatku teler, bahkan bus parkir pun rasanya mau lanjut tidur saja. Turun dari bus, udara malam Soe yang super duper dingin menyambut kami. Buset dahhh, rasanya Toraja pindah ke NTT. Sepertinya bukan pilihan yang tepat untuk berlama-lama di luar rumah berteman udara malam Soe yang nyaris tengah malam itu. Tuan rumah sudah menyediakan tempat untuk tidur. Jangan pernah membayangkan bisa tidur di tempat tidur yang nyaman kalo ikut kegiatan volunteering, kondisi yang di luar zona nyaman akan kalian temukan. Masih dapat tempat tidur? Oh, itu mah bonus. Ruang tamu dan ruang keluarga di sulap menjadi tempat untuk memasang tempat tidur masing-masing. Cari posisi paling nyaman yang bisa kita lakukan. Sleeping bad dan selimut sudah menempati posisi dengan pemilik masing-masing meringkuk di dalamnya. Mencoba tidur dengan nyaman dalam udara malam Soe yang semakin malam semakin dingin.  Curly? Sudah nyempil di antara sesama volunteer supaya lebih terasa hangat. Namanya saja yang berdarah Toraja, yang notabene terkenal dengan dinginnya, tapi berada di tempat dengan cuaca dingin, hidung udah meler dan konser single bersin sudah terdengar. 

Selamat malam Soe. Sampai Jumpa besok pagi.


Day 2
Sabtu, 25 Agustus 2018

            Dinginnya udara Soe membuatkan sulit untuk tidur nyenyak akibat hidung yang tersumbat dengan tidak sopan. Telat tidur tidak membuat ku telat bangun. Dalam kondisi rame seperti ini, bangun sebelum waktunya sudah jadi hal yang biasa. Harus ngantri mandi jadi hal yang menyebalkan. Tapi dinginnya udara pagi Soe membuat rasa mager (malas gerak) lebih besar daripada hasrat untuk ingin mandi. Namun melihat beberapa teman volunteer sudah ada yang mandi, sekalian promosi kalo setelah mandi malah gak dingin, jadi motivasi tersendiri bagiku untuk mandi. Cusss ngantri mandi.


Sarapan bersama Volunteer


            Terbukti! Setelah mandi ternyata gak sedingin  ketika belum mandi, plus tambah segar. Mungkin sudah lama tidak merasakan mandi air dingin di tengah suhu dingin jadi segarnya lebih terasa. Berganti pakaian merah #tnt12fatumnasi plus dempul-dempul wajah, lalu sarapan. Pagi ini kami melanjutkan perkenalan antar volunteer, dan di sinilah saya mengenal mereka dari berbagai daerah, ada anak Nias yang kuliah di Bandung tapi lagi magang di Lembata, ada orang Sabu yang tugas di Kupang, ada orang Madiun yang tugas di Kupang, ada anak Jakarta yang lagi kuliah Sastra Prancis, dan masih banyak lagi. Perkenalan singkat yang kemungkinan akan bertahan beberapa minggu bahkan semoga berbulan-bulena kedepan. Jadwal awal yang harusnya kami berangkat pukul 6 pagi harus ngaret jadi jam 7 pagi, tapi hal itu malah membuatku bersyukur sih. Setidaknya gak perlu berdingin-dingin ria di atas mobil kalo berangkatnya jam 7, matahari kan sudah nongol jam segitu. Briefing singkat, berdoa, berfoto tim & volunteer, lalu kami berangkat menuju Fatumnasi menggunakan mobil pick up yang sudah dimodifikasi jadi kendaraan umum. Saya dan beberapa teman memilih duduk di mobil pick up yang duduknya berhadap-hadapan. Saya duduk bersama 8 teman lainnya yang belum terlalu saling kenal.
Foto dulu yuk sebelum berangkat

Angkot kami ke Fatumnasi

             Perjalanan menuju Fatumnasi yang di tempuh selama 2 jam kami isi dengan mendengarkan music sambil karaoke dari mike + speaker portable yang ku bawa.
Terkadang, dalam sebuah perjalanan, bukan hanya tujuannya yang akan membuat berkesan, tapi juga dengan siapa kita  melalui perjalanan tersebut. 
Ya gak sih? Menurutku perjalanan dua jam seperti ini, kami menghabiskan waktu dengan nyanyi bareng, seru-seruan bareng apalagi ada salah satu volunteer, kak Daniel (@dhiidaniel_90), yang tenaganya gak ada habis-habisnya. Kupikir dialah penyanyi yang sesungguhnya, yang mana dalam goncangan mobil yang membanting kiri kanan saja suaranya masih tetap stabil tanpa hambatan apapun. He is the real singer J. Dan kupikir inilah salah satu cara yang dapat kami lakukan untuk membunuh kebosanan perjalanan selama 2 jam bersama orang yang belum terlalu kami kenal. Lagu SIA yang di bawakan oleh Kak Daniel walaupun kami tidak tahu dan tidak paham liriknya, namun bisa membawa kami untuk berteriak bersama di akhir lagu. Dan silih berganti lagu-lagu mengisi perjalanan kami, Manusia Kuat, Memulai Kembali, Fix You, de el el. Selain personil di dalam mobil yang seru-seru, perjalanan kami juga di suguhkan oleh pemandangan keren luar biasa. Hamparan rumput yang luas di kiri kanan jalan menghiasi perjalanan kami, melewati hutan pinus, bukit hijau ala-ala bukit Teletubbies, yang dihiasi beberapa ekor sapi yang dengan kusyuk menikmati makan mereka tanpa merasa terganggu dengan suara kami yang sedang karaoke dari mobil. Walaupun harus melewati jalanan jelek berbatu selama 2 jam tapi ku pikir itu semua terbayar. Namun perjalanan ini sedikit ternodai dengan insiden kursi mobil roboh, mungkin saking tergocangnya mobil (tergoncang dari atas dan tergoncang dari bawah, hahaha). Tapi yang jelas tidak ada korban dalam insiden ini, dan yang paling penting artis kami tidak mengalami gangguan yang berarti. Yang jelas, tidak boleh ada yang mengantuk di perjalanan kami yang mengalami turbulensi sepanjang jalan karena sedikit tanda-tanda mengantuk akan di hempaskan oleh Kak Daniel, pakar mata melek.
Jalanan Fatumnasi yang bikin bergetaarrrr

View sepanjang perjalanan, padang rumput

Sapi makan dengan tenangnya

            Dua jam berlalu dan mobil berhenti di depan sebuah rumah. Ternyata kami sudah tiba di Fatumnasi. Kami memasuki sebuah pekarangan dengan rumah khas NTT di samping kiri kanannya, rumah ini milik Bapa Matheos Anin, Ketua Adat setempat. Semakin ke bagian belakang rumah, ternyata semakin banyak rumah seperti yang ada di depan tadi. Rumah ini dikenal dengan nama Lopo. Lopo merupakan rumah adat masyarakat Timor, khususnya di daerah Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara. Bentuknya kurang lebih seperti Rumah Honai dari Papua. Bentuknya setengah lonjong yang sebagian besar di tutupi oleh atap, bahkan ada yang atapnya sampai ke tanah, yang kelihatan dari luar hanya pintunya. Atapnya terbuat dari daun gewang, sedangkan tiangnya dari batang pohon gewang juga. Pohon gewang adalah sejenis pohon palma tinggi, memiliki nama yang berbeda-beda di setiap daerah seperti Gabang (Dayak Ngaju), Lontar Utan (Betawi), Pocok (Madura), Ibus (Batak & Sasak), Silar (Minahasa), kuala (Makassar), mungkin ini yang sering saya sebut dengan pohon lontar kali yah.  Kalau masuk ke dalam Lopo, akan kelihatan jelas ada sekat antara ruangan bawah dan ruangan atas (loteng). Ruangan bagian bawah digunakan sebagai rumah tinggal, dan bagian loteng dijadikan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian. Ada juga Lopo yang khusus dijadikan tempat pertemuan. Nah, di rumah Bapa Matheos ini ada sekitar 8 Lopo, salah satunya dijadikan tempat tinggal bagi beliau dan sisanya di sewakan bagi wisatawan ataupun pendaki Gunung Mutis yang ingin merasakan tidur di dalam Lopo. Harga sewanya berkisar 100ribu – 150 ribu per malam dengan fasilitas 3 tempat tidur dan suasana gelap ala Lopo.
Homestay Lopo Mutis dari depan

Salah satu Lopo yang disewakan

            Kedatangan kami ke rumah Bapa Matheos adalah untuk membuat izin melakukan kegiatan di daerah tersebut. Berhubung Bapa adalah Ketua Adat di wilayah tersebut jadi perizinan harus melalui Bapa Matheos. Begitu pula dengan pengunjung lainnya yang datang ke daerah Mutis, entah untuk mendaki gunung atau apapun itu. Sembari menunggu, terlihat beberapa anak SD yang menggunakan pakaian adat dari kain tenunan plus berbagai pernak Pernik di tubuh mereka, sepertinya ini persiapan tarian penyambutan, batinku.
Seorang bapa melintas di depan Lopo

            Tiga puluh menit berlalu, tibalah saatnya kami akan memasuki area sekolah. Kembali naik ke mobil pick up rasa Garuda Indonesia untuk melanjutkan perjalanan ke lokasi SD Fatumnasi yang ditempuh hanya dalam waktu kurang lebih 5 menit. Dekat sekali. Adik-adik sudah menunggu di sana dan beberapa dari mereka menggunakan pernak-pernik khas daerah tersebut. Para volunteer berjalan sambil berbaris ke dalam area lapangan sekolah dan saya salah satu yang berada di barisan paling depan. Excited? Bangeeetttt. Untuk ukuran tinggi minimal seperti ini, berada di barisan paling depan untuk menikmati pertunjukan adalah hal yang tidak boleh di tolak. Bapa Matheos kembali muncul dan mempersilahkan kami memasuki lapangan dan menunjukkan tempat kami harus berdiri.
Bapa Matheos mempersilahkan kami memasuki lapangan

            Kami di sambut dengan tarian perang yang dilakukan oleh adik-adik SD GMIT Fatumnasi. Tarian ini disebut juga dengan Tarian Giring-Giring. Tarian ini dilakukan oleh 7 orang anak laki-laki yang masing-masing membawa parang. Setelah berbaris di depan kami, mereka langsung memulai tariannya. Mareka menarik parang dari sarung parangnya TEPAT didepan ku. Ini bagian yang membuat ku harus menahan napas, jangan sampai ujung pisau menyambar bagian tubuhku, hehe, ini parno berlebihan sih. Tarian di lanjutkan dengan mereka melompat ke sana kemari sambil menggerak-gerakkan parang di udara, gerakan perpaduan antara menari dan berperang. Setelah menari beberapa menit, barisan kami dipersilahkan memasuki lapangan dan berbaris di hadapan kumpulan warga masyarakat dan anak sekolah yang sudah berkumpul di sana.
Tari Giring-Giring oleh Siswa SD GMIT Fatumnasi

             Di hadapan kami  kembali hadir Bapa Matheos dan bapak ibu lainnya dengan pakaian adatnya masing-masing. Seketika itu juga Bapa Matheos melakukan prosesi Natoni. Natoni itu semacam doa berkat untuk tamu dan sebagai tanda kalo tamu sudah diterima dengan baik oleh masyarakat desa. Dalam prosesi ini, mama bapa yang ada di hadapan kami berbicara seperti sedang berbalas pantun, yang diucapkan dalam Bahasa Dawan (Bahasa Timor yang digunakan oleh orang-orang Timor, TTU, dan TTS). Menariknya, tidak semua masyarakat tahu akan bahasa syair alias Bahasa tingkat tinggi seperti itu karena hanya boleh dilakukan oleh tua-tua adat saja.  Selesai bercakap-cakap, prosesi dilanjutkan dengan menari (lagi). 
Prosesi Natoni oleh tua-tua adat

            Sebelum tarian ini, seorang tetua adat mengalungkan tenunan kepada tamu (kalau dari kami ada perwakilan 5 orang), tenunan ini merupakan tenunan khas Suku Mollo dari Fatumnasi. Tamu yang mendapatkan kalung tersebut wajib ikut menari di tengah bersama penari lainnya selama 10 menit, hal ini menjadi pertanda bahwa tamu yang datang sudah di terima dengan baik oleh warga masyarakat dan karena sudah diterima maka tamu wajib berbaur dengan masyarakat setempat yang dilambangkan dengan menari bersama.  Salah satu tamu yang dikalungkan tenunan adalah diriku, jadi menari bersama mereka menjadi suatu kewajiban bagiku. Senang bisa berbaur bersama mereka dalam keragaman budaya yang ada. Tarian berlangsung menyenangkan, dan 10 menit pun berlalu. Kegiatan dilanjutkan dengan perkenalan guru, dan dimulailah kegiatan Teaching.
Menari bersama adik-adik SD GMIT Fatumnasi

Siswi SD GMIT Fatumnasi sebagai penari

            Saya dan 4 orang lainnya bertugas di kelas 3, ada Kak Hafif, Kak Inda, Kak Laily, dan Kak Putri. Kelas dengan jumlah siswa 30 orang yang super lugu, kadang malu-malu tapi juga ada yang berani. Seru sekali bermain bersama mereka. Materi yang kami sampaikan adalah tentang nasionalisme, jadi kami memperkenalkan tokoh nasional Indonesia. Hal yang paling miris adalah ketika kami bertanya tentang nama presiden pertama Indonesia dan dengan lantang mereka menjawab, “JOKOWI!!!”. Tidak ada satupun yang tahu siapa proklamator Bangsa Indonesia. Tidak ada sama sekali gambaran bagi mereka. Bahkan kami memperlihatkan gambar Ibu Sukmawati, mereka malah menjawab, “KARTINI!!”. Mereka sepertinya hanya tahu Kartini dan Jokowi yah? Belum lagi kalo ngomongin soal membaca, dari 30 siswa di kelas ini, ada sekitar 100% yang tidak dapat membaca, ALIAS SEMUANYA gak bisa baca. Aku hanya bisa terdiam, tertunduk, geleng-geleng kepala melihat kenyataan ini.
Siswa kelas 3

            Ketika kami membahas tentang cita-cita, awalnya mereka diam. Entahlah, mungkin mereka sedang berpikir, makhluk macam apakah yang di sebut dengan Cita-Cita itu? Sampai kami menjelaskan tentang cita-cita. Namun ketika kami bertanya apa cita-cita mereka, mereka gak ada yang menjawab. Yasudah, kami mulai berinisiatif bertanya seperti ini:
Volunteer      : Siapa yang mau jadi guru??
Siswa              : SAYA!!!! (semua angkat tangan)
Volunteer      : Siapa yang mau jadi tentara??
 Siswa             : SAYA!!!! (semua angkat tangan)
Volunteer      : Siapa yang mau jadi guru??
Siswa              : SAYA!!!! (semua angkat tangan)
Volunteer      : Siapa yang mau jadi pendeta??
Siswa              : SAYA!!!! (masih semua angkat tangan)
Dan saya kembali berpikir, sepertinya mereka masih belum memahami cita-cita itu.
Kelas 3 & Kelas 4

            Kami memperkenalkan profesi kami kepada adik-adik ini. Mereka antusias tentunya, mendengarkan penjelasan kami tentang pekerjaan yang mungkin sebelumnya belum pernah mereka dengarkan. Ahli Gizi, Auditor, Dokter, dan Astronot, mungkin masih sangat baru bagi mereka. Giliran mereka menyampaikan cita-cita mereka. Kami membantu menuliskan di kertas berbentuk daun untuk mereka tempelkan di Pohon Impian.
“Nama saya Adel, saya bercita-cita menjadi dokter”
“Nama saya Desti, saya mau menjadi guru.”
Berganti-gantian mereka menyebutkan profesi guru, polisi, tentara, dan dokter sebagai cita-cita mereka. Menyenangkan sekali melihat mereka akhirnye bersemangat untuk menyebutkan cita-cita mereka. Setelah menempelkan cita-cita mereka di pohon impian, kami memberikan alat tulis sebagai bantuan dari 1000 Guru dengan sedikit motivasi dari kami, berharap melalui pemberian motivasi mereka bisa lebih semangat untuk bersekolah. Bagi saya pribadi, untuk kegiatan seperti ini kami sebaiknya lebih banyak memberikan motivasi, menceritakan pengalaman kami agar mereka lebih bersemangat untuk meraih cita-cita. Setidaknya mereka merasa lebih berharga karena bisa di kunjungi oleh orang-orang dari luar daerah mereka dengan berbagai latar belakang profesi, dan harapannya hal itu tetap melekat dalam pikiran mereka dan kelak mereka bisa menjadi inspirasi bagi orang lain melalui kegiatan yang sama.
Kak Dokter Putri membantu menempelkan cita-cita di pohon impian

Si penari menggantungkan impiannya di ppohon impian

            Kegiatan teaching berakhir, dan mereka kembali ke rumah masing-masing, dan dilanjutkan dengan kegiatan keakraban bersama tim dan volunteer. Selayaknya orang yang belum pernah ketemu, tentunya belum saling mengenal satu sama lain kan? Berbagai games dilakukan panitian untuk saling mengakrabkan, games konsentrasi, games truth or dare, dll. Sejam berlalu, acara bebas sebelum kegiatan nonton bareng Film Denias ‘Senandung di Atas Awan’. Acara bebas, sebagaian besar teman-teman menghabiskan waktu untuk bersitirahat di ruangan kelas yang akan dijadikan tempat menginap kami malam ini. Saya yang tidak bisa diam rasanya sayang jika sudah jauh-jauh ke Fatumnasi dan hanya tiduran di dalam ruangan.  Saat itu ku ajak salah satu volunteer yang menarik perhatian ku dari awal karena dia salah satu volunteer yang betugas untuk dokumentasi (awal lihat kameranya yang ternyata sodaraan sama anakku Sonya – Sonya @ -5100) – Kak Elisa. Ku ajakin dia jalan-jalan sekitar lokasi kegiatan sambil membawa anak kami masing-masing.
Baine Toraya (Curly) & Onoalabe Nias (Kak Elisa)

            Lokasi kegiatan yang berada di bawah kaki Gunung Mutis ini memberikan pemandangan yang keren. Sejauh mata memandang terlihat topografi wilayah dengan gunung dan lembah sejauh mata memandang. Pemandangan gunung batu di kejauhan membuat tangan gatal untuk foto-foto. Satu hal yang menarik di tempat ini adalah cuacanya yang sangat dingin. Waktu baru mengumpulkan pukul 4 sore tapi dinginnya sudah mulai terasa. Untung syal tenun hasil pengalungan tadi siang masih melekat di leher, lumayan untuk menghangatkan. Puas berjalan-jalan kami kembali ke sekolah. 
Desa Fatumnasi di sore hari

Curly dengan Latar Gunung Batu

            Good timing! Belum 5 menit masuk di kelas, kami di tawari lagi oleh Kak Ida untuk jalan-jalan ke rumah Bapa Matheos, Ketua Adat tadi. Di sana kami bisa berfoto menggunakan pakaian adat tradisional. Tidak di tawarkan dua kali, saya langsung setuju. Kapan lagi. Kami hanya berjalanan kaki selama 5 menit untuk tiba di Homestay Lopo Mutis, nama penginapan Bapa Mateos. Waktu sudah sore ketika kami menuju Lopo, yang artinya tidak boleh terlalu lama karena ada kegiatan lain yang akan dilaksanakan. Penuh semangat kami berjalan kaki ke Lopo, dan setibanya di sana langsung minta izin untuk menggunakan pakaian adat setempat. Demi foto yang total, saya dan Elisa rela dingin-dingin untuk pakai pakaian adat tersebut. Thanks to Kak Ida (@idabanunaek) untuk informasinya yang jadi bahan tulisan dan ajakan ke lopo untuk bisa pake pakaian khas sana.
Volunteer menggunakan Pakaian Adat suku Mollo

Rela menahan dingin demi foto yang maksimal

Puas dengan berfoto-foto, kami kembali ke sekolah, dingin juga sudah semakin menggigit, dan kegiatan juga sudah akan dilanjutkan. Malam datang, dingin menjemput, mandi pun enggan.  Dingin yang begitu keterlaluan malam itu membuat ku memakai pakaian sampai 3 lapis, di tambah kupluk, di tambah kaos kaki, luar biasa. Di dalam ruangan masih lumayan hangat walaupun sedikit, seketika badan sudah melewati pintu menuju ke luar, angin malam langsung menerjang. Kabur ke tempat nonton adalah pilihan terbaik, demi gak hipotermia di luar, hehe. Nonton bersama adik-adik menyenangkan juga, melihat reaksi mereka ketika menonton, melihat ada adik-adik yang menangis karena seram sama musiknya, melihat mereka tertawa ketika ada adegan lucu, dan banyak lagi ekspresi priceless mereka. Tidak hanya adik-adik saja, ada beberapa orang tua yang ikut menonton walaupun mereka hanya bisa duduk melantai di samping pintu masuk.  2 jam berlalu, film berakhir, dan penonton kembali ke rumah masing-masing. Volunteer? Belum waktunya, this is the best thing for today. Joget!

Our lovely Kak Ida as Guide yang merekomendasikan ke tempat ini


NTT di kenal dengan orang-orangnyah yang suka bergoyang, entah itu berdansa, joget, atau apapun itu. Nah, karena cuaca Fatumnasi dingin sekali (bahkan mencapai minus 13 derajat celcius), panitia memutuskan untuk berjogettt, wuuhhuuuuuu! Goyang di awali dengan goyang Maumere, dilanjutkan Goyang Tobelo, Goyang Meti Kei, Goyang Meri-Meri. Seruuu sekali. Aku kebanyakan capek mempelajari gerakannya sih, dari semua goyang itu hanya Meti Kei dan Goyang Maumere yang ku tahu gerakannya, selebihnya hanya sibuk belajar. Haha. Apalagi yang bagian Tari Meri-Meri. Fanassssss!! Untuk senam lainnya harus sibuk mengikuti gerakan para nona dan nyong NTT yang jago joget. Tarian di akhiri dengan Tari Tebe, salah satu tarian Khas NTT.  Dan hasilnya? Keringaaatttt!!



Berakhirnya Tarian Tebe, berakhir pula acara goyang-goyang. Saatnya evaluasi kegiatan bersama tim. Disinilah ajang kami para volunteer untuk lebih saling mengenal lagi dan berbagi kesan dan masukan untuk kegiatan 1000 Guru Kupang hari ini. Kemudian di akhiri dengan tukar kado. Dari awal kami sudah mempersiapkan kado untuk kemudian di tukar bersama semua yang bawa kado. Menyenangkan sekali. Saat itu saya mendapatkan tempat air untuk the, jadi kek ada saringannya gitu. Malam semakin larut, kami pun beristirahat di tempat yang super dingin itu.  Sementara kami bersiap-siap untuk tidur, beberapa teman masih sibuk latihan gerakan yang kami lakukan tadi. Ahh, sepertinya aku lebih butuh istirahat, seharian rasanya sudah terlalu lelah. Namun tidur nyenyak sepertinya jauh dari harapan. Lantai terlalu dingin untuk bisa tidur nyenyak. Aku tidur hanya beralas tenda tipis yang langsung bersentuhan dengan kantong tidur ku yang juga tipis. Segala bagian tubuh sudah berusaha ku tutupi demi untuk menjaga tubuh tetap hangat, bahkan seluruh tubuh sudah ku masukkan ke dalam kantong tidur menghindari angin yang masuk ke tubuh. Belum lagi hidung yang langsung bereaksi jika terkena perubahan suhu yang drastis, meler maksimal. Ditambah perut yang tiba-tiba minta asupan saking dinginnnya, jadilah mengunyah coklat kacang ‘Cha Cha’ kulakukan sembari menunggu kantuk datang. Lumayan tersiksa yah, hehe.  Namun inilah esensi dari menjadi volunteer, kenyamanan bukanlah hal yang akan ditemukan di sini. Satu saja doaku malam itu, semoga pagi segera datang supaya penderitaan tidur seperti ini bisa berakhir.
Add caption


Day 3

26 Agustus 2018

            Happy Sunday! Aku terbangun karena kebelet. Kebelet yang gak enak sekali. Namun dari info semalam, bahwa air tidak ada di sekolah ini mengurungkan niatku untuk pipis. Sepertinya aku akan menumpang pipis saja di rumah warga. Ternyata ada sumur di dekat situ, hanya perlu berjalan sebentar untuk bisa sampai di sumur itu. Pencerahan. Beberapa teman ternyata ada yang sudah menuju sumur, UNTUK MANDI! Wah, udara sedingin itu mereka akan mandi? Gila kali yah, pikirku. Aku hanya akan pipis, titik. Terbersit pikiran untuk mandi, tapi nantilah, setelah aku memasak. Kebetulan hari ini giliran kelas kami untuk memasak. Perjalanan menuju sumur kami lalui dengan melewati gereja. Kaki terhenti ketika tepat di depan gereja, dan kami melihat pemandangan yang luar biasa biking ngiler. Matahari mulai terbit di sebelah timur dan menunjukkan pemandangan yang begitu eksotis. Kami galau, antara melanjutkan ke sumur atau kembali ke kelas untuk mengambil kamera, demi untuk mengabadikan gambar kece ini.
Sunrise di Fatumnasi

Sunrise

            Sedikit gila mungkin, tapi pemandangan seperti ini sayang untuk dilewatkan. Berlari kembali ke kelas untuk mengambil HP dan kamera hanya untuk merekam keindahan alam pagi itu. Lambat sedikit maka momennya tidak akan dapat. Wah, matahari pagi itu begitu mempesona. Penangkapan diakhiri dan kami kembali kepada tujuan awal kami, ke sumur. Sumur terletak tidak jauh dari sekolah. Dengan jerigen yang dimodifikasi menjadi alat untuk mengambil air dari sumur, yang selanjutnya airnya diangkat ke WC umum yang tidak jauh dari sumur tersebut. Ternyata sudah ada beberapa yang mengantri mandi. Wah, berani sekali mereka. Di pagi hari yang diselimuti kabut seperti ini jangan harap aku mau menyiramkan air dingin itu di tubuhku.

            Karena kelas kami punya jadwal memasak pagi ini jadi itu menjadi alasan ku untuk belum mandi, mubazir nanti, masih akan terkena asap. Hehe. Matahari semakin meninggi, memasak pun selesai. Sesuai janjiku pada diri sendiri aku akan mandi setelah memasak. Wah, pilihan yang sukar. Tapi harus ku lakukan. Wah, ternyata meningginya matahari tidak berbanding lurus dengan suhu air di sana. Airnya masih sangat dingin. Tapi kesegaran tidak tertandingi ku dapatkan, wesshhh. Segarnya gak main-main, walaupun dingin tapi segar sekali rasanya. Namun itu tidak lantas membuat ku akan berlama-lama dalam kamar mandi yang diiringi oleh suara babi di kandang sebelah. 
WC umum tempat mandi

Sumur tempat timba air


            Persiapan sebelum meninggalkan area SD dilakukan. Makan siang dan packing tas selesai. Menunggu mobil angkot jemputan, kami manfaatkan dengan berjemur di depan ruang kelas. Angka di jam semakin bertambah namun suhu di tempat ini tidak jua ingin bertambah. Berjemur sambil bermain games yang di pimpin oleh kak Sonya kami lakukan. Yah, inilah games permainan otak yang membuat kami (utamanya yang belum tahu gamesnya) jadi terlihat bodoh. But, it was so fun!  
Pose sebelum berpisah

            Kendaraan sudah datang dan kami harus bersiap untuk melanjutkan kegiatan travelling. Mempertahankan posisi dan personil awal ketika berangkat dengan iming-iming mike portable yang bikin suasana suram jadi ceria. Berkat our one and only kak Daniel, pramugara plus singer andalan dari awal berangkat. Perpisahan yang menyedihkan sebenarnya bersama adik-adik ini. Pulang dari Sekolah Minggu mereka langsung ke halaman sekolah untuk melambaikan tangan bersama kami. Tidak lupa ada beberapa yang membawakan hasil kebun mereka berupa daun bawang, yang dengan wajah malu-malu mereka bawa untuk kami. Ekspresi mereka begitu priceless. Mobil berangkat dan mereka  masih semangat mengejar kami sambil melambaikan tangan. “Daaaggg Kak Lydia,” teriak mereka. 

Tampilan belakang Garuuda Indonesia kami untuk travelling


            Travelling bersama volunteer dan team dimulai. Diawali dengan mengunjungi Hutan Bonsai yang berada dalam Cagar Alam Mutis, terus balik ke Hutan Pinus, belok ke Gunung Bukit Marmer Nausus. Seharian itu kami disuguhkan dengan pemandangan alam Timor Tengah Selatan yang eksotis sekali dengan hamparan padang rumput deretan pohon pinus di sepanjang jalan berdebu yang saat itu masih sementara di perbaiki. Sampai di puncak, suguhan keindahan pegunungan terlihat dari jauh. Intinya tempat ini eksotis lah.
Hutan Bonsai, Cagar Alam Mutis

Latar hutan pinus dan hamparan rumput

View dari Bukit Marmer Nausus

            Travelling berakhir dan rombongan kembali ke Soe untuk selanjutnya ke Kupang. What a great day. 2 hari bersamam mereka yang notabene masih asing namun berakhir dengan berbagai kisah yang kesannya seperti kami sudah kenal lama. Di akhir perjalanan kami ini menjadi awal berbagai kisah dan pertemuan kami di berbagai kegiatan lainnya. Akhir perjalanan di TTS ini menjadi awal berbagai kegilaan yang kami lakukan bersama tanpa memandang siapa kamu, agama mu apa, asal daerah mu di mana. Dan di akhir perjalanan ini menunjukkan bahwa inilah Indonesia dengan berbagai keberagamannya. Bhinneka Tunggal Ika.

            Terima kasih 1000 Guru Kupang untuk pertemuan yang mengesankan ini. Karena peduli butuh aksi. Semua orang bisa jadi Guru.
Bae sonde bae, Flobamora lebe bae

Kalabahi, 11 September 2018


NB:
Video kegiatan kami bisa di lihat di sini
Beberapa pertemuan kami di kupang sebelum akhirnya berpisah ke tempat masing-masing :
Antar Adel ke Bandara

Salome ria berujung pengusuran saking rusuhnya :D

Cafe Tebing tempat ngobrol jaim

First Time ketemu kak Alif




Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts