Rabu, 05 Februari 2020

Ditinggal Saat Memang Lagi Sayang-Sayangnya



Ketololan ketinggalan pesawat pernah ku alami. Setidaknya sekali seumur hidupku. Dan itu rasanya benar-benar patah hati. Seperti lagi sayang, trus ditinggal.

Datang di waktu mepet sebelum pesawat berangkat sudah menjadi kebiasaanku sejak sering menggunakan pesawat sebagai transportasi kembali dari perantauan ataupun saat traveling. Ada saja hal-hal aneh yang kulakukan hingga telat tiba di bandara. Terkadang, 2 jam sebelum boarding, saya baru berangkat ke bandara, padahal sudah tahu kalau jalanan macet parah. Alhasil, cuma bisa diam dan berdoa di dalam hati sambil dada berdebar-debar, berharap tidak ketinggalan pesawat. Kadang sudah telat berangkat, masih singgah beli ole-ole lagi, jadi makin telat. Alhasil, banyak drama yang kulakukan di bandara.

Lari-lari menuju gate menjadi salah satu drama yang sering kulakukan di bandara. Saya menyebut adegan lari-larian di bandara ini dengan sebutan ‘Adegan Rangga-Cinta’. Ingat kan pas Cinta lagi lari-lari di bandara untuk ketemu Rangga di AADC 1?  Entah kenapa setiap kali ke bandara bawaannya pasti lari-lari, bandara seakan kelihatan seperti jogging track untukku saat itu. Hehe.. Padahal memang ga bisa manage waktu aja.

Pernah satu kali, saya sudah telat tiba di bandara Hasanuddin Makassar, untungnya masih bisa check in, tapi tetap harus “Adegan Rangga-Cinta’ dong karena sudah detik-detik terakhir. Apalagi jarak antar gate bandara ini naudzubillah jauhnya, jadi harus lari demi tidak mendapat tatapan ngeri dari penumpang lainnya. Sesampainya di gate tersebut malah ada info pindah gate (padahal ini belum duduk dan tarik nafas loh), dan sialnya kami harus pindah dari gate 2 ke gate 6, yaampuunnnn. Tapi yang penting tidak ketinggalan pesawat sih.
Bandara Hasanuddin-Makassar, yang jarak antar Gate-nya jauh

Pernah juga telat ke bandara karena ole-ole ketinggalan di hotel. Saat itu saya akan penerbangan pagi dari Manado-Makassar, menggunakan Maskapai warna hijau yang kalo setelah landing kita akan mendapatkan pantun. Saya sengaja nginap bersama teman-teman di hotel terdekat dari bandara supaya tidak lama di perjalanan, apalagi maskapainya jarang delay. Pagi setelah sarapan, saya langsung berangkat dari hotel menggunakan ojek online. Lagi ngobrol sama bapak ojol, tiba-tiba baru ingat kalau saya meninggalkan ole-ole wajib di kamar hotel. Ole-ole khas Manado yang kubela-belain beli untuk dibawa pulang. Alhasil saya meminta bapak ojol untuk balik ke hotel, tapi ternyata harus mutar karna jalannya jalur 1 arah. Setelah memastikan bahwa penerbangan masih bisa terkejar, kami akhirnya kembali ke hotel. Long story short, perjalanan menuju bandara dilalui sambil si bapak ojol ngebut. Untungnya tiba tepat waktu, tapiii tidak sampai disitu, sebelum bapak ojol kembali, saya minta tolong untuk memotret saya di depan bandara Sam Ratulangi dengan latar tulisan "Sitou Timou Tumou Tou". Biar dikata hampir telat, foto di bandara itu wajib, apalagi belum tentu akan balik ke sana lagi. Hihi. Setelah itu barulah dimulai drama ngantri di pemeriksaan tiket dan “Adegan Rangga-Cinta’ lagi menuju gate, dengan carrier di punggung dan ole-ole di tangan. Untungnya bandara Sam Satulangi tidak besar, hanya ada 4 gate yang tidak berjauhan. Thank God
Sempatkan foto walaupun hampir telat di depan Bandara Sam Ratulangi - Manado

Kejadian nyaris ketinggalan pesawat tidak semuanya karena kesalahanku, ada juga karna kelalaian dan kekeliruan (pembenaran sih ini). Saat itu saya penerbangan subuh dari Surabaya-Denpasar, pukul 6 bo', jadi harus berangkat dari kosan teman pukul 4 subuh, apalagi bandara Juanda Surabaya itu jauh sekali yah dari pemukiman. Untung saat itu saya diperkenalkan oleh supir antar jemput mahasiswa langganan teman saya, sebutannya 'Suk'. Kami berangkat jam 4 subuh sambil bercerita sepanjang jalan dengan Suk. Suk adalah seorang bapak keturunan Tionghoa yang memberikan wejangan-wejangan tentang keuangan. Menarik sekali memang pembahasannya sepanjang jalan, apalagi bagiku yang saat itu sedang mencoba mengatur keuangan. Kami tiba di bandara sejam sebelum boarding, tapi ternyata wejangan Suk masih berlanjut saat mobil sudah parkir. 15 menit dihabiskan mendengarkan wejangan Suk, sampai saya harus memotong pembicaraannya demi untuk tidak ketinggalan pesawat, mana antrian masuk panjang skali. Yasudahlah, terima nasib aja. Untungnya saat sedang ngantri, dibuka jalur khusus bagi penumpang dengan penerbangan paling pertama. Selamaattt. Tidak ada drama di dalam bandara.
Surabaya, jam 4 subuh, menunggu Suk

Drama telat ke bandara memang menjadi kebiasaanku dari dulu, entah karena disengaja atau tidak disengaja, sampai-sampai seorang sahabat selalu mengingatkan untuk on time ke bandara. “KE BANDARA ITU, 2 JAM SEBELUM TAKE OFF, BUKAN 15 MENIT!!” kata sahabatku. Tapi memang dasar belum kena batunya, jadi yah dilakukan saja terus.

Pernah sekali, di Bandara Sepinggan Balikpapan, udah telat tiba dan waktu check in sudah ditutup. Kebetulan saat itu saya diantar oleh sepupu, maka dimulailah drama memelas di bandara. "saudara saya ini dari jauh mas, tadi busnya telat tiba, kasian mas," kata sepupu saya. Segala macam alasan sambil memelas-melas kami lakukan di depan petugas check in. Setelah dikonfirmasi, untungnya saya masih bisa masuk, tapi sudah tidak bisa masukkan bagasi lagi, padahal saat itu posisinya saya sedang membawa 2 karton berisi ole-ole (yang singgah saya beli dulu dalam perjalanan ke bandara) plus 1 ransel. Alhasil, harus muka tebal menuju boarding room yang kebetulan saat itu gatenya paling ujung. Mana bandaranya sekece Sepinggan lagi, salah satu bandara keren Indonesia saat itu. Yasudahlah, daripada tiket hangus, lebih baik bermuka tebal aja.
Bandara Sepinggan - Balikpapan

Kupikir kejadian Bandara Sepinggan ini jadi kejadian tersial ku di Bandara, ternyata tidak. Beberapa kali diselamatkan dari ketinggalan pesawat dan tidak kapok untuk datang telat, sepertinya semesta memang harus memberikan pelajaran.

Saat itu penerbangan dari Denpasar-Makassar. Rencananya saya mau ikut rombongan mama yang saat itu sedang ikut lomba di Bali, tapi ternyata saat akan memesan tiket, seatnya sudah full. Terpaksa saya mengambil tiket paling murah di hari itu, yang sebenarnya lebih mahal 3 kali lipat dari harga normal karna saya beli tiket di hari keberangkatan. Setelah mengantar mama dan rombongan, saya masih harus menunggu sekitar 6 jam sampai waktu flight. Rasanya sayang sekali kalau hanya menghabiskan waktu selama 6 jam di bandara Ngurah Rai, apalagi akses menuju pusat keramaian sangat gampang. Saya memutuskan untuk jalan-jalan ke Beachwalk Mall, apalagi saya cuma bawa 1 tas tentengan karna carrier sudah dikirim duluan bersama rombongan mama. Dari bandara ke Beachwalk Mall hanya memakan waktu 5 menit menggunakan ojol, bisalah beberapa jam di sini. Setelah keliling-keliling dan makan siang, saya mulai bosan dan memutuskan untuk menonton. Lihat jam, mepet sih, tapi bisalah dengan 5 menit ke bandara nanti. Jadilah keputusan tolol itu ku ambil, nonton. Ternyata tidak tenang juga selama nonton, malah tidak fokus karna kepikiran akan waktu penerbangan. Akhirnya, setengah jam sebelum flight, saya memutuskan kembali ke bandara, dengan perkiraan 5 menit perjalanan. Sial memang, karena jalur 1 arah jadi harus memutar, jadilah perjalanan ke bandara memakan waktu 15 menit. Tiba di bandara langsung lari-lari ke counter check in, saat itu belum mengenal online check in, dan ternyata sudah tutup, duaaarrrrr. Petugasnya memberikan informasi bahwa chech in ditutup 15 menit sebelum pesawat take off. Selamaattt.. Saya jadi uring2an menuju ke customer service maskapai itu. Mau re-schedule harus bayar sesuai harga tiket yg 3 kali lipat lebih mahal itu, wahhh, tidak deh. Jadilah saya keluar dan duduk di lantai bandara memikirkan nasib saya yang ketinggalan pesawat karena ketololan sendiri. Akhirnya saya memutuskan untuk memesan kamar hotel di dekat bandara, untuk menenangkan diri dan tidur seharian sambil mencari tiket murah keesokan harinya untuk pulang. Untungnya dapat tiket sesuai budget keesokan harinya walaupun last flight ke Makassar. Yaudahlah, daripada tahan sehari lagi, malah kepikiran ketololan terus.
Saat itu saya berbohong ke mama kalau saya sudah di Makassar tapi masih ada urusan, jadi balik ke Toraja besoknya lagi, padahal lagi merutuki nasib di Bali karena ketinggalan pesawat. Ampun mak.. Haha.
di Bandara Ngurah Rai - Bali, dengan barang seadanya, setelah 'ditinggal saat lagi sayang'

Ketinggalan pesawat itu rasanya seperti ditinggal saat lagi sayang-sayangnya. Dan memang lagi sayang. Sayang duitnya, sayang waktunya, dan lain-lain.

Nahh, sejak kejadian itu, saya jadi sangat menghargai waktu untuk ke bandara ketika akan flight. Sebuah titik balik yah. Tidak pernah lagi berangkat telat ke  bandara. Paling lambat 2 jam sebelum waktu keberangkatan sudah stand by di bandara. Sedekat apapun bandara itu dengan tempat menginap, bahkan di bandara kecil seperti Bandara Mali (Alor) yang cuma 30 menit dari kota dan jalan bebas hambatan.

Saking traumanya, saya pernah flight jam 10 siang dan sudah stand by di bandara dari jam 5 subuh.. 

So, akan ada kejadian-kejadian yang membuat kita berbalik dari hal-hal tidak baik dalam hidup kita. Kadang harus dibuat sakit dulu supaya tidak terbiasa melakukan hal yang nantinya akan merugikan diri sendiri. Eaaaaaa…. Jadi jangan sampe ketinggalan pesawat yah. Sakit..

Selasa, 03 Desember 2019

Aku Takut Berada di Alor


Jakarta, 2017

Alor
Sebuah pulau kecil di gugusan kepulauan Nusa Tenggara Timur
Pulau yang sekilas mungkin tidak akan kau temukan di peta Indonesia
Atau bahkan mendengar namanya pun kau belum pernah?
Sebuah Pulau yang kelak akan menjadi tempat tinggalku selama 2 tahun

Bukan kisah menyenangkan ketika ku dengar akan bertugas di sana.
Kisah horor menemani perkenalan pertamaku dengan pulau ini
Aku percaya, apalagi sumbernya dari seorang teman yang asli Alor
Entah itu ilmunya yang masih kental
Atau makhluk ‘terbang’nya yang masih beroperasi
Apalagi di wilayah tugas kami yang notabene adalah daerah terpencil, pegunungan, dan akses susah

Belum lagi anjuran dari sanak family ketika tahu diriku akan ke pulau kecil ini
Tidak boleh sebut inilah
Tidak boleh makan itulah
Kalo bertamu seperti inilah
Bahkan seorang teman mewanti-wanti untuk tidak berjodoh dengan orang di pulau ini
Aku harus pulang dengan selamat, anjurannya saat itu.
Aku Takut Berada di Alor, belum apa-apa sudah ditakut-takuti

Waktunya tiba untukku ke pulau ini
Kesan pertama, indah!
Laut biru menyambut ketika pesawat akan menapakkan rodanya di Bandara Mali (Jalan-Jalan di Pedalaman Alor)
Sepanjang jalan menuju kota, pesona laut biru dan pantainya memanjakan mata
Kami dibuat terperangah dengan keindahannya

Tapi bukan hanya pesona alamnya yang membuat terperangah
Kota Kalabahi, Ibukota Alor
Jam malam di kota ini juga membuat kami terperangah
Jam 7 malam, secara serentak seluruh toko di sekitaran Pasar Kalabahi sudah mulai tutup
Membuat kami harus berburu dengan waktu untuk membeli keperluan,
untuk di bawa keesokan harinya ke Padang Alang
Suasana kota yang gelap dan mulai sepi sekitaran jam 8
Okeh, aku tidak akan hidup di kota ini, tapi di sebuah desa bernama Padang Alang

Aku Takut Berada di Alor
Sebuah desa bernama Padang Alang akan menjadi tempatku bertugas
Jaraknya dari Kota Kalabahi memang hanya 45 km tapi kau harus melihat medannya dulu
Menurutku tidak manusiawi
Jalan yang lebih layak di sebut kali kering ini harus dilewati selama 3 jam
2 tahun bukan waktu yang singkat untuk mencoba ‘menikmati’ jalanan ini.

Padang Alang..
Lain lagi kisahnya
Tidak ada sinyal internet
Sinyal telpon pun kadang hilang jika cuaca buruk atau si penjaga tower belum dibayar
Lucu memang, permasalahan di desa yang tidak akan kau temukan di kota

Tidak ada sinyal internet membuat ku sejenak melupakan handphone
Mengobrol menjadi hal paling sering kami lakukan
Entah itu pembicaraan penting sampai absurd.
Kebanyakan membahas hal yang tidak penting memang
Membahas pimpinan kami yang tidak pernah habis sebagai bahan pembicaraan
Menceritakan kehidupan kami yang seakan menyedihkan berujung pada menertawai diri sendiri

Listrik di mess hanya menyala 4 jam sehari
Jam 6 - 10 malam adalah momen terang kami
Penerangan yang terbatas membuatku belajar menghargai waktu dan listrik
Membuatku belajar untuk tidak mengeluh jika lampu mati hanya beberapa menit
Aku takut berada di Alor, akses susah, sinyal susah, listrik pun tak ada.

Terkadang bosan. Sudah pasti.
Kegiatan berulang setiap hari tanpa sinyal dan listrik sangat mungkin membuat mati gaya
Segala cara kami lakukan untuk membunuh penat
Bermain UNO sampai tengah malam dengan penerangan seadanya
Karaoke dengan mike portable sambil membayangkan teras rumah kami adalah panggung
Tidak jarang kami dianggap gila, tapi daripada gila sungguhan karena bosan

Puskesmas Padang Alang memperkenalkan ku pada stafnya yang adalah orang-orang Alor asli
Hitam kulit, keriting rambut, ditambah suara keras
Sedikit khas dari sini adalah kata maki yang di tempat asalku sudah tergolong sangat kasar
Di sini? Biasa saja.
Menyeramkan pikirku
Mereka  yang bertampang sangar, tapi berhati Hello Kitty

Tapi kekuatan bersosialisasi membuatku memahami bahwa fisik bisa menipu
Mereka asik
Mungkin hanya terkendala di bahasa, tapi semakin lama bersua, 
semakin ku memahami bahwa mereka menyenangkan
Mereka selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kami para perantau yang jauh dari rumah
Mereka berusaha membuat kami merasa nyaman seperti di rumah
“kami ini orang asli di sini, gampang hidup di sini. 
Ibu dong orang pendatang pasti susah kalau mau apa-apa jadi kami yg orang asli harus bantu.”
Kata seorang perempuan bernama Susana yang kelak menjadi segalanya bagi kami di Padang Alang.

Lain lagi dengan masyarakatnya
Sapaan hangat setiap kali bertemu tidak pernah alpa setiap harinya.
“Syalom, Ibu!” begitu sapaan mereka.
Entah kenal atau tidak, sapaan itu wajib diteriakkan.
Ramah, pikirku.

Belum lagi melihat tawa lepas mereka ketika kami melakukan hal yang  baru menurut mereka
Atau sekedar mencoba berbicara dalam bahasa mereka,
Ahh, tidak ternilai senyuman itu.
Aku Takut Berada di Alor, orangnya ramah, baik, penyayang.

2 tahun berlalu,
Jangan katakan semuanya mulus,
Rasaku tidak ada yang mulus.
Seperti melalui jalan kerikil, tiba-tiba batu gunung, trus kena banjir, lalu ban bocor
Rasanya, keras bertemu keras.
Struggle
Berat.

Ketika ternyata setengah dari tim kami harus selesai masa tugas sebelum waktunya
Rasanya seperti, “ditinggal saat lagi sayang-sayangnya!”
Menjalankan program menjadi salah satu pilihan menyibukkan diri,
Demi mencoba melupakan berapa lama lagi hingga waktu memanggil pulang

Pada prosesnya, ada datang yang pergi,
Dan ada baru yang datang.
Sedikit angin segar untuk jalanan yang selama ini tidak mulus
Seperti menemukan oase di tengah gurun
Yang sepemikiran datang, membuat banyak kisah baru
Awalnya pesimis, jadi sedikit lebih optimis
Aku Takut Berada di Alor, banyak yang memiliki pemikiran hebat.

2 tahun semakin mendekat,
Sedikit demi sedikit program dilalui
Kerjasama demi kerjasama terbangun satu per Satu
Emosi di awal kegiatan berakhir senyum pada akhirnya
Nyaman itu sedikit demi sedikit terbentuk
Mereka seakan membuatkan ‘rumah’ bagiku di sini..
Dan mereka memang berhasil membuatku menjadikan tempat ini menjadi rumah kedua
Aku semakin Takut Berada di Alor, kutemukan persaudaraan dan rasa cinta di sini

Bukan hanya tentang partner kerja kutemukan di sini,
Teman satu visi ternyata ada
Mereka menemukanku di akhir pengabdianku
Menjadikan diri sebagai relawan dan menemukan kebahagiaan tersendiri di dalamnya
Beda suku, beda agama, beda bahasa, beda warna kulit, bukan penghalang
Seperti saudara, walaupun tidak sedarah
Aku Takut Berada di Alor, kutemukan Indonesia yang sesungguhnya di sini

Tempat ini membuatku mendapatkan banyak hal baru
Orangnya, pemikirannya, tidak semuanya sesuai mau ku
Tapi ku dibuat belajar darinya
Bahwa, tidak semua hal terjadi sesuai mau ku
Tidak semua hal bisa dibuat POSITIF, butuh NEGATIF untuk mengimbangi
Dan aku dibuat tersadar untuk belajar
Negatif ada untuk dijadikan pembelajaran
Aku Takut Berada di Alor, ku temukan sekolah dan guru di sini.

Sudah cukup?
Belum rasaku
Banyak racun di sini
Tempat piknik di  mana-mana
Dari yang sangat ramai sampai yang seakan private beach
Alor membuat standar pantai indah di otakku meningkat (Artikel terkait : Pantai Pasir Putih di Alor Barat Daya)
Alor menyediakan tempat jalan bagiku yang tukang jalan ini
Dari Sunrise hingga Sunset, dari gunung hingga pantai
Gugusan pulaunya
Semuanya indah

Lalu, tenun lokalnya
Seakan menjadi prioritas bagiku mendapatkan tenunannya
Setiap kecamatan dengan motif dan ciri khas masing-masing
Aku Takut Berada di Alor, alamnya membuatku tidak betah di rumah, tenunnya menguras dompet

Waktu 2 tahun tiba, surat penarikan keluar malam itu
Ingin ku katakan, “akhirnya”, tapi tidak mampu.
Senang, tapi tidak bisa tertawa.
Banyak kisah, banyak kenangan
Mulai dari struggle sampai sudah nyaman
Perpisahan bukan hal yang menyenangkan,
Tapi tidak ada alasan jelas untuk tetap bertahan
Mengapa semua ketakutan itu semakin bertambah?

Alor
Sebuah pulau yang menjadi rumah bagiku selama 2 tahun
Budayanya, alamnya, manusianya, membuatku jatuh cinta
Di mana lagi akan ku temukan tempat seindah ini?
Di mana lagi akan ku temukan orang-orang ramah dengan senyuman manis seperti ini?
Di mana lagi akan ku temukan  rasa persaudaraan seperti ini?

Iyah, aku takut berada di Alor
Karena ku takut separuh hatiku tertinggal di sini

Dan ketakutanku menjadi kenyataan,
Separuh hatiku tertinggal di Alor

Susanna my Everything




Curly,
Desember 2019

Kamis, 25 April 2019

Melarikan Diri ke Pulau Seribu Lontar - Part 1

Pia Baine Nyasar ke Pantai Oeseli, Rote Ndao


“Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai ke Pulau Rote”


Pernah dengar lagu ini gak? Dulu saya sangat hapal lagu ini. Kalau gak salah lagu ini adalah lagu sebuah iklan kala itu. Berkat lagu ini saya tahu tentang Pulau Rote yang dulunya ku sebut Pulau Roti. Pulau yang pernah jadi salah satu pertanyaan di acara “Who Wants To Be A Millioner” dengan pertanyaan ‘Pulau apakah yang merupakan pulau paling selatan di Indonesia’.

Mungkin karena predikatnya yang merupakan pulau paling selatan Indonesia sehingga menjadikan Pulau Rote masuk dalam bucket list liburan ku. Apalagi sejak penempatan saya di Nusa Tenggara Timur membuat harapan ku semakin tinggi untuk ke tempat ini (soalnya budget ke Rote bisa lebih di tekan kalo masih 1 provinsi, hehe). Setelah jadi wacana selama berbulan-bulan sejak tahun lalu, akhirnya wacana itu berubah menjadi kenyataan di pertengahan April 2019 ini.

Di trip kali ini saya berangkat dari tempat tugas di Alor, salah satu Pulau yang juga berada dalam wilayah di Nusa Tenggara Timur. Memanfaatkan long weekend dengan budget yang memungkinkan, saya berangkat ke Rote. Banyak pilihan transportasi dari Alor-Rote, diantaranya pesawat atau kapal. Kedua moda transportasi itu transit dulu di Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Karena kali ini saya travelling-nya sendiri, jadi pesawat adalah pilihan terbaik bagi saya, soalnya sebelumnya belum pernah naik kapal sendiri dengan rute baru. Perjalanan Alor-Kupang selama 1 jam, transit 5 jam lalu dilanjutkan rute Kupang-Rote hanya sekitar 20 menit. Pokoknya nanggung kalau mau tidur, waktunya sangat singkat. Pesawat Kupang-Rote hanya 1 kali penerbangan saja, yaitu jam 3 sore jadi sebaiknya kalau mau naik pesawat, pastikan siang hari sudah harus tiba di Kupang. 

Kalau ingin budget lebih murah lebih baik menggunakan kapal, walaupun waktunya agak lama. Tapi perbedaan waktunya tidak terlalu signifikan. Transportasi laut dengan rute Kupang-Rote menggunakan kapal cepat hanya sekitar  ± 2 jam perjalanan dengan biaya sekitar 120 ribu, sedangkan kalau mau menggunakan kapal lambat harus menempuh perjalanan sekitar ± 4 jam dengan harga yang lebih murah lagi (keunggulan kapal lambat adalah bisa membawa kendaraan dari atau ke Kupang). Kapal cepat beroperasi 2 kali sehari dan kapal lambat 1 kali sehari. Gampang mah kalau mau ke Rote, banyak akses, tinggal mengumpulkan niat saja. 


Bandara D.C. Saudale, Kab. Rote Ndao

Saya tiba di Bandara D.C. Saudale di Rote pukul 03.30 WITA dengan disambut pemandangan jejeran pohon lontar di sekitar bandara. Hal yang menarik selama penerbangan adalah banyak turis asing yang bersama saya dalam perjalanan menuju Rote kali ini. Turis yang membawa alat surving mereka. Ternyata Rote terkenal sampai ke mancanegara dengan lautnya yang bagus untuk surfing. Selama ini saya tidak pernah melihat bule sebanyak ini jika ke pulau lain di NTT yang pernah saya kunjungi (baru pulau Alor dan Pulau Timor sih yg pernah saya kunjungi sejauh ini, hehe).

Saya di jemput oleh Apong, teman yang bertugas di Rote. Dari Bandara kami menuju Ibukota Kabupaten Rote Ndao yaitu Ba’a. Tidak sampai 30 menit dari bandara menuju pusat kota. Jalanannya juga mulus. Singgah sebentar di pasar lalu kami lanjut ke Batutua, Rote Barat Daya, tempat saya akan menginap nantinya.



1.   BUKIT KOKOLO, ROTE BARAT DAYA
Bukit Kokolo, Rote Barat Daya

Perjalanan dari Ba’a menuju Batutua sebenarnya hanya sekitar 45 menit, tapi dalam perjalanan Apong mengajak saya ke sebuah bukit bernama Bukit Kokolo. Bukit ini memberikan pemandangan yang luar biasa. Sebelah Timur Laut adalah pemandangan padang rumput dan pohon lontar sejauh mata memandang dan sebelah barat daya menyuguhkan pemandangan laut lepas dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Dari jalan poros menuju bukit ini kita harus melewati jalanan kerikil selama sekitar 15 menit menggunakan motor.

View padang rumput dari Bukit Kokolo, Rote Barat Daya

Pohon Lontar dari Bukit Kokolo

 2. Menenangkan diri menghadap hadirat Tuhan di BUKIT DOA, ROTE BARAT DAYA
View dari Bukit Doa, Rote Barat Daya
Tidak jauh dari Kokolo, dalam perjalanan menuju Batutua, masih ada 1 bukit yang ternyata digunakan masyarakat sekitar untuk berdoa, namanya Bukit Doa. Di bukit doa ini terdapat sebuah bangunan kecil yang digunakan masyarakat untuk membaca alkitab dan berdoa. Pada saat saya ke sana ada seorang bapa yang sedang membaca kitab suci. Terdapat juga 3 salib berdiri di belakang bangunan tersebut. View yang disuguhkan di tempat ini kurang lebih sama dengan di Bukit Kokolo namun view laut terlihat lebih jelas dengan Pelabuhan Batutua yang menjorok jauh ke dalam laut.


Sekumpulan Domba Melewati jalan

View laut lepas dari Bukit Doa
Menenangkan juga berada di tempat ini, salah satu kondisi yang dibutuhkan untuk menyendiri untuk berbicara dengan Sang Pencipta.

3. PANTAI DERANITAN, ROTE BARAT DAYA


Lapangan LANAL, Rote Barat Daya
Kami semakin menurun menuju pesisir pantai, melewati perkampungan warga, dan tibalah di Desa Batutua. Desa pesisir pantai di Rote Barat Daya. Ternyata Apong masih mengajak saya ke salah satu pantai di sebelah timur dari Desa Batutua. Berkendara selama 15 menit, kami tiba di ujung jalan ini dengan disambut oleh plang bertuliskan “Selamat Datang di LANAL”. Ternyata LANAL adalah Pangkalan TNI-AL Kabupaten Rote. Tempatnya para tentara, jadi kami harus melapor dulu sama komandan yang berjaga di pos penjagaan. Nama pantainya adalah Pantai Deranitan, sebuah pantai yang seperti tebing yang menjorok ke laut dengan pasir pantai putih melengkung di bawah tebingnya. Karena sudah sore jadi kami hanya menikmati matahari terbenam dari pantai ini. Tapi pemandangannya tetap kece.


Pantai Deranitan, Rote Barat Daya

Pantai Deranitan, Rote Barat Daya
Setelah itu baru kami kembali ke Desa Batutua untuk istirahat di mess NS Puskesmas Batutua. Di sana beberapa teman sudah menunggu.

******


4.   PANTAI OESELI, ROTE BARAT DAYA


Lanscape Pantai Oeseli, Rote Barat Daya
Keesokan harinya saya di ajak oleh semua tim NS Batutua menuju salah satu pantai terkenal di Rote, masih dalam wilayah Rote Barat Daya. Kali ini kami lebih rame karena jalannya ber-5. Ada Kak Tasya, Eky, Desi, Apong, dan saya. Kami berkendara ke arah barat menuju Pantai Oeseli. 45 menit perjalanan dari Batutua melewati setengah jalan mulus dan setengahnya lagi jalan berbatu dengan tanjakan dan turunannya, jadi harus hati-hati. Akhirnya kami tiba di Desa Oeseli yang saat itu sedang sepi karena sedang dilangsungkan kegiatan pemilu, jadi masyarakat pada sibuk di TPS.


Perahu terparkir 
Kami tiba di Pantai Oeseli sekitar jam setengah 12 siang. Iyah, udah siang banget, soalnya tunggu yang lain ikut pemilu dulu. Memasuki desa Oeseli kami disambut dengan pemandangan laut dengan perpaduan hijau dan biru yang sangat menarik, keren banget. Dia atas hijaunya air laut, terlihat kapal-kapal yang lagi parkir. Informasi dari teman-teman, ternyata kapal-kapal itu punya bule. Luar biasa yah, bule investasinya udah sampai ke Rote yang bagi orang Indonesia adalah salah satu daerah terpencil.


Perahu tradisitonal dan Kapal 
Menyusuri jalanan sepanjang pinggir pantai di depan rumah warga, terlihat pemandangan pinggir pantai seperti biasanya. Pohon kelapa yang miring ke laut, pantai pasir putih yang sumpeh putih banget mengalahkan putihnya kulit cewek-cewek iklan PonGs, dan babi berkeliaran di mana-mana. Ehhh,, koq babi?


Pohon Kelapa Khas Kampung Pesisir

Dinding Pembatas Pantai
Iyah, jadi mau dimana pun di Rote, hewan akan hidup berdampingan dengan rukun sambil makan di mana mana hatinya senang. Tidak menutup kemungkinan di tempat wisata. Di satu sisi ada kambing  yang makan dengan tenang, di satu sisi ada babi yang membuat jejak kakinya di pantai yang basah oleh air laut, di satu sisi ada sapi yang dengan tentramnya menikmati rumput hijau di depan rumah . Yah, rukun yah.


Kambing menikmati Makan Siang
Back to Pantai Oeseli. Saat kami tiba, air laut sedang surut, tapi pantainya tetap keren. Di satu sisi kapal terparkir dengan tenang, di satu sisi pohon bakau berdiri dengan tegak. Komposisi yang sangat pas untuk di abadikan di kamera. Terik matahari yang menyengat tidak menyurutkan semangat untuk hunting foto, malah semakin mendukung keindahan tempat ini.


Hutann Bakau dari Kejauhan

Menikmati Pantai

JalanG di Pantai


5. TELAGA NIRWANA, ROTE BARAT DAYA

Dari Pantai Oeseli, ternyata kami akan menyeberang untuk melihat salah satu spot bernama Telaga Nirwana. Untuk menyeberang bisa menggunakan perahu motor yang disewakan warga sekitar ataupun bisa dengan berjalan kaki jika air sangat surut. Sayangnya saat itu air masih tinggi jadi kami tidak dapat berjalan kaki.
Perahu menuju Pantai sebelah
Kami menyewa 1 buah perahu. Karena saat itu sedang berlangsung pesta demokrasi jadi tidak banyak pengunjung dan juga masyarakat desa setempat sedang sibuk di TPS sehingga hanya sedikit yang menyewakan perahu. 


Adik-adik yang Mendorong perahu


Perjalanan Menyeberang
Untuk sampai di seberang, tidak membutuhkan waktu lama. Hanya sekitar 5 menit kami menyeberangi laut tersebut. Tapi selama 5 menit tersebut pemandangan laut yang di tawarkan tetap menghipnotis. Dari kejauhan terlihat karang tinggi di tengah laut seakan membentuk pintu masuk. 


Pemandangan Batu Karang dari Atas Perahu

Pegangan!!
Tiba di seberang kami terpaksa harus masuk ke dalam air karena perahu sudah tidak dapat sandar lebih masuk ke daratan, air sudah semakin surut. Yasudahlah, relakan saja celana basah. Kalo kata Kak Tasya, “Kalau main ke pantai memang harus basah.”


Yup! Dan salahnya adalah saya pakai sepatu saat itu, hehe, salah kostum banget yah. Jadinya harus nyeker dari perahu ke bibir pantai, padahal yang diinjak bukan pasir halus tapi karang berlumpur. Lumpurnya putih dong, tapi tetep aja kaki ngilu kena karang-karangnya. Gapapalah, dinikmati aja shayyy, walaupun agak meringis sedikit, hehehe.


Jalan Kaki Menuju Spot


Dari bibir pantai kita masih harus berjalan kaki sekitar 500 meter melalui tanjakan dan beberapa batu karang yang timbul di sepanjang perjalanan menuju spot Telaga Nirwana. Karena perjalanannya yang sedikit menguras tenaga, jadi pastikan untuk membawa air minum ke tempat ini, biar gak kehausan. Bawa tumblr air minum isi ulang sebaiknya, supaya tidak meninggalkan sampah.


Spot Foto Telaga Nirwana
Setelah berjalan kaki selama 5 menit, kami tiba di sebuah batu dengan tulisan “Telaga Nirwana” di atasnya. Sepertinya ini yang menjadi spot favorit pengunjung untuk dijadikan tempat berfoto. Ternyata memang pemandangan dari atas batu ini menuju telaga benar-benar bagus. Kita bisa melihat seluruh telaga dari atas batu ini. Tapi kita harus berhati-hati memanjat karang ini, karangnya tajam-tajam dan nenek bilang itu berbahaya… gak usah nyanyi juga sih.. 

Landscape Telaga Nirwana

Batu Tajam yang Dipijak
Air di Telaga Nirwana sangat jernih, terbukti dengan terlihatnya pasir putih di dasar telaga dan beberapa karangnya. Disamping itu, pohon bakau berbaris rapat di sekeliling telaga seperti paspampres yang sedang membuat barisan untuk melindungi presidennya (Analoginya gitu amat yah?). Hijaunya pohon bakau yang kontras dengan langit biru menambah eksotisnya telaga ini. Dari atas terlihat sangat menyejukkan. Kalau kalian suka berenang, pasti bakalan langsung ingin menyeburkan diri kedalam airnya yang jernih. Kalau saya sih gak minat berenang yah, soalnya gak bisa berenang, hahaha. Nasib. Jadi saya hanya mengambil gambar dan diambil gambarnya, ehh.

 
Berfoto dengan Latar Belakang Telaga Nirwana

The Team

Dari Pantai Oeseli, kami rencana menuju Pantai Nemberala, namun sebelumnya kami menikmati dulu air kelapa muda hasil petikan adik-adik di Desa Oeseli. Fresh from the oven. Segar sekali! Memang yah, menikmati kelapa di siang bolong, langsung dari pohonnya sambil menikmati pantai itu ‘juwarakk!’


6.   PANTAI NEMBERALA, ROTE BARAT

Pantai Nemberala adalah salah satu pantai yang terkenal di Rote dengan tempat seluncurnya dan tempat menikmati sunset yang sempurna. For your information, Bapak Jokowi saat berkunjung ke Rote juga menyempatkan diri ke pantai ini loh. Pantai Nemberala berada di Desa Delha, Rote Barat. Dari Oeseli kami berkendara selama kurang lebih 30 menit. Akses ke Pantai ini tergolong sangat mulus loh dibandingkan pantai lain yang saya kunjungi, apa mungkin karena lebih sering dikunjungi wisatawan mancanegara apa gimana yah? Gak ngerti juga.

Memasuki wilayah pantai Nemberala, suasana Bali terasa sekali di sini. Di kiri kanan terlihat café dan toko yang menjual papan surfing. Semuanya rasanya Bali banget, sampai tiba-tiba seekor babi melintas di depan kami. Maka hancurlah imajinasiku tentang Bali. Ternyata aura Rotenya masih terasa yah, hehehe. Yah, seperti di tempat lainnya, hewan berkeliaran di pantai ini yang notabene paling banyak dikunjungi turis mancanegara.


Saat itu saya dan teman-teman tidak sempat menikmati sunset di Pantai Nemberala karena kami tiba terlalu cepat di Nemberala sehingga kami memutuskan untuk jalan-jalan sebentar ke Desa sebelah, ehtapi malah keterusan karena spot yang kami kunjungi juga menarik sekali, yaitu sebuah Villa di Desa Oenggaut.


7.   Menikmati Sunset dari Ketinggian DESA OENGGAUT

Lanscape dari Ketinggian Oenggaut
Mengabadikan


Enjoying Sunset


Kami yang awalnya berencana menikmati sunset di salah satu Pantai di Desa Oenggaut, Rote Barat, pada akhirnya berpindah ke salah satu Villa di Desa yang sama. Salah satu kenalan baru saya yang bertugas di Delha mendapatkan akses ke salah satu villa milik bule yang saat itu sedang di renovasi. Tidak ditanya 2 kali, kami mengambilkan kesempatan itu. Saya kurang tahu nama Villa nya, kita sebut saja Vila Oenggaut yah. Perjalanan dari Nemberala menuju Vila sekitar 15 menit dengan jalan yang mulai ‘robek’ dan berdebu. Di sepanjang jalan di Nemberala banyak penginapan yang unik. Ternyata sebagian besar penginapan tersebut adalah milik bule yang berinvestasi di tempat tersebut dengan harga yang mahal pula. Sayang juga sih, lokasi wisata milik warga Indonesia tapi investornya dari luar negeri. Begitu pula dengan Villa yang akan kami datangi ini.


Langit Menguning di Ujung Barat

Girls on Talk

Membiarkan Matahari Menghangatkan Wajahku

Di Villa Oenggaut yang didominasi oleh kayu dan bamboo berwarna coklat itu kita akan disajikan pemandangan pantai yang dan hutan yang berpadu dengan sempurna.Perpaduan antara hutan dengan pepohonan lontar di sebelah selatan menyatu dengan pemandangan pantai di sebelah utara sampai barat, di tambah matahari yang sebentar lagi tenggelam. Maka semakin eksotislah tempat ini. Tempat ini memang pas sekali untuk menikmati senja apalagi dengan secangkir kopi dan teman untuk bicara.


Mulai Menghilang

Silhouette

Menutup Matahari

Pertemanan Sehat

8. RESTAURANT NARROW, NEMBERALA


Buku Menu Restaurant Narrow

Tampak Depan Restaurant Narrow
Plang Nama Restaurant Narrow

Malam hari kami menikmati makan malam di salah satu restaurant Pantai Nemberala bernama Restauran Narrow. Restauran ini tidak terlalu besar, kesannya malah seperti café. Interiornya yang unik dan cozy membuat kita betah untuk menikmati makanan di dalamnya, apalagi jika ingin ngumpul santai bersama teman, tempat ini bisa menjadi salah satu pilihan. 

Gather Around with Friend in a cozy place

Interior Restaurant Narrow

Restaurant Narrow juga sangat memperhatikan kualitas makanan salah satunya dari segi rasa dan penyajian. Rasanya yang sesuai dengan harapan dan penyajian yang good looking semakin menambah nilai jual dari restaurant ini. Menu yang ditawarkan juga beragam mulai dari makanan local Indonesia, Western, Oriental, bahkan Appetizer dan Dessert juga ada di restaurant ini. 

Interior Unik

Restaurant ini juga ‘menjual’ attitude yang baik dari owner hingga karyawannya. Pemilik restaurant yang begitu ramah mengajak pengunjungnya ngobrol menjadikan nilai jual restaurant ini bertambah. Satu hal yang menonjol dari restaurant ini adalah kepeduliannya terhadap lingkungan terbukti mereka sudah memberlakukan pengurangan penggunaan plastic, contohnya sedotannya menggunakan yang berbahan stainle, jadi re-use.

Sedotan Stainless sebagai salah satu bentuk kepedulian lingkungan (less plastic)

Soal harga, restaurant ini memang makan ongkos. Kamu harus merogoh kocek lebih untuk dapat menikmati makanan di sini. Namun menurut saya harga itu seimbang dengan kualitas makanan dan pelayanan yang ditawarkan oleh restaurant ini. Tidak seperti tempat makan lainnya yang saya temukan utamanya di daerah NTT.

Owner restaurant beserta tamunya


Mungkin kalau kalian berkunjung ke Pantai Nemberala di Rote, sempatkan untuk masuk di restaurant ini, ownernya asik. Dijamin!

Sehari di Rote dan saya mengunjungi beberapa tempat luar biasa di Rote, masih banyak spot yang saya kunjungi di Rote selama 2 hari ke depan, tunggu postingan selanjutnya yah..

Selamat menikmati Wajah Indonesia melalui tulisan saya. 

Leave your comment below.

Curly
Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

My Blog List

Most Viewed

More Text

Popular Posts